4. Ica berduka, tapi tidak dengan suaminya.

3.1K 312 87
                                    

Bau obat-obatan dan disinfektan sungguh menyengat. Ica membuka pelan matanya dan merasa sangat silau dengan cahaya lampu yang terlalu terang. Tangannya yang tertancap jarum infus naik perlahan mengusap kening yang terasa berat.

"Alhamdulillah, lu udah sadar," suara lelaki di di sampingnya terdengar lega. Ica menoleh dan mendapati adik iparnya tengah duduk di kursi samping brangkarnya.

"Aku di mana, Mal?" tanya Ica lirih.

"Di rumah sakit," jawab Kamal singkat. Jantungnya lebih cepat berdetak dari biasanya. Entahlah, seakan dirinya yang kini harus bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami Ica. Padahal ada suami yang masih sehat dan banyak uang. Hanya saja memang tampak tidak mempunyai otak dalam memperlakukan istrinya.

"Mal, di mana Mas Alex?" Ica masih belum sadar, jika saat ini perutnya sudah rata.

"Mmm ... pergi beli obat," jawab Kamal berbohong. Kakak satu ayahnya itu tadi mengatakan ada meeting yang tak bisa ditinggal.

"Memangnya di apotik rumah sakit tidak ada?" tanya wanita itu lagi dengan wajah teramat sedih.

"Gue gak ngerti deh." Kamal mengangkat bahunya. Lelaki itu berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Padahal jantungnya serasa mau lepas saat ini. Kakinya bergerak gelisah, dengan ekor mata melirik Ica.

Tangan yang tidak tertancap jarum infus, kini naik ke atas perutnya. Matanya terbuka lebar dengan nafas memburu. Selimut itu ia buka kasar, membuat Kamal menatap kakak iparnya dan langsung berdiri mendekati wanita itu.

"Kenapa perutku rata Kamal?" tanyanya dengan suara parau dan bergetar.

"Mmm ... itu ...." Kamal tak sanggup untuk mengatakan hal buruk pada wanita lemah di depannya ini. Mulutnya ingin berucap, tetapi hatinya mengatakan tidak.

"Apakah dia sudah lahir, Mal? Aku mau melihat bayiku, Kamal," ujar Ica dengan air mata berlinang. Isi kepalanya terus saja menstumulus kabar baik perihal perutnya yang kempes.

"Ca, maaf banget. Duh, bayi kamu tidak bisa selamat dan sudah dikuburkan."

Duuuaarr!!

Wanita itu terdiam bagai patung. Air matanya tak berhenti mengalir dengan jantung yang terasa amat sakit saat ini. Benarkan bayinya sudah tidak ada? Masih tanpa mengeluarkan kata-kata, wanita itu kembali meraba perutnya yang rata dan ada bekas jahitan di sana.

"Ca, yang kuat ya," ujar Kamal yang bingung sendiri. Harusnya ada Alex di sini yang menenangkan istri dan menghiburnya. Bukannya malah ditinggal bekerja seperti ini. Wanita itu tidak menjawab. Pandangannya kosong, menatap ke langit-langit kamar perawatan.

Dua orang perawat tengah berkeliling ke pasien lainnya di ruangan yang sama dengan Ica. Ia baru tahu, jika saat ini kamar yang ia tempati bukannya privasi, melainkan kamar yang terisi banyak brangkar. Mungkin saja kelas tiga.

Suaminya bukanlah karyawan biasa, tetapi manager sebuah hotel, merangkap guru lukis. Tabungannya tentulah takkan berkurang banyak, saat membayarkan sedikit saja untuk kamar perawatan istrinya.

"Maaf, Mas. Apa istrinya sudah buang angin?" tanya perawat pada Kamal. Tentu saja Kamal berwajah salah tingkah. Sudah berapa kali orang salah menebaknya sebagai suami dari Ica.

"Saya iparnya, Sus. Suaminya sedang keluar sebentar," jawab Kamal memberi tahu. Kakinya mundur beberapa langkah, agar para perawat dapat memeriksa Ica lebih leluasa. Perawat tersenyum paham, lalu mulai memeriksa tensi darah pasien.

"Mbak sudah buang angin?" tanya suster langsung pada Ica.

"Sudah," jawab Ica singkat dengan suara bergetar.

"Kuat dan sabar ya, Mbak. Bayi yang meninggal insya Allah akan menjadi tabungan kedua orang tuanya di akhirat kelak," ujar seorang perawat yang tampak lebih berumur, sambil tersenyum pada Ica. Tak ada sahutan lagi yang keluar dari bibir Ica. Wanita itu memilih menutup rapat mulutnya, sambil merasakan sesak yang membuatnya ingin mati saja.

Memikirkannya, hati wanita itu semakin sakit.  Hingga langit gelap, Ica tak mau makan apapun. Suaminya juga belum juga kembali dari siang. Kamal tak tahu harus bagaimana, karena sedari wanita itu tersadar dan mengetahui bayinya tidak terselamatkan, Ica sama sekali tak mengeluarkan suara. Matanya tertutup, tetapi air bening terus saja mengalir di sana.

Tak ada seorang ibu yang siap kehilangan anak, apalagi bayi itu belum sempat ia lihat wajahnya. Hanya bisa merasakan tendangan lincah di dalam perut yang kini sudah tidak ada lagi. Wanita terlihat sedih dan tertekan. Tiada siapapun yang menangkannya, termasuk suami dan juga kedua orang tuanya. Kehidupan pernikahan seperti apa yang dijalankan Ica dengan abangnya?

Ica cantik dan pintar. Terlihat dari keluarga terpandang, tetapi kenapa masih disia-siakan suaminya?

"Mama ...," gumamnya dengan mata terpejam.

"Mama ...," gumamnya lagi.

Kamal begitu sedih melihat wanita seperti ini. Kenapa tak ada keluarganya yang datang menjenguk? Apakah mereka tidak tahu? Ataukah Alex yang belum mengabari kedua mertuanya? Kamal mendekat ragu, di tepuk-tepuknya pelan pundak wanita itu, seakan memberi dukungan dan kekuatan.

"Gue minta nomor telepon orang tua lu. Mungkin Mas Alex lupa ngabarin mereka, sehingga belum ada yang ke sini," ujar Kamal sembari mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Ica bergeming, tak ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya selain gumaman memanggil mama tadi.

Kamal menghela napas. Ia kembali duduk di kursi dengan wajah bosan. Lekas ia memencet kontak Alex untuk menanyakan Alex ada di mana dan kapan akan ke rumah sakit. Namun sayang, sampai sekarang juga tidak diangkat.

"Laki lu sarap kayaknya, Ca. Istri keguguran bukannya ditunggui, malah ngayap gak balik-balik," umpat Kamal dengan wajah masam.

"Pensiun aja sudah jadi laki kalau begini. Dinikahi untuk dicueki dan dizolimi, dasar semprul! Anak siapa sih itu orang?" umpat Kamal dengan kesal.

"Menyesal gue punya sodara otaknya di ubin. Tampang doang tampan, duit banyak, tapi gak bersyukur. Nanti juga kena balasannya si Alex, Ca, lu yang sabar ya, yang kuat. Lu baru aja kehilangan bayi, gue tahu itu gak mudah, tapi Allah masih menyelamatkan lu, itu tandanya Allah pasti punya rencana lebih indah untuk lu, Ca. Biarin si Alex begitu kelakuannya, Allah gak tidur. Duh, gemes gue sama kakak sendiri, pengen gue jitak kepalanya pake obor!"

Ica akhirnya membuka mata. Ia menoleh pada Kamal yang kini tengah menunduk salah tingkah. Ica tahu, mungkin Kamal merasa tak enak dengan umpatan yang baru saja ia ucapkan untuk Alex.

"Dia memasukiku tanpa ampun malam itu, Mal. Padahal aku sedang sakit. Alex pembunuh anakku. Dialah pelakunya," ujar Ica pedih. Bahunya kembali bergetar hebat. Merasakan jahit bekas cesar dan sakit mendapati suami yang zolim padanya.

"Kenapa cuma anakku saja yang Allah ambil? Kenapa tidak aku juga ikut bersama anakku? Hidup di dunia ini begitu keras, Mal. Aku hanya ingin bahagia, tapi sepertinya tidak ada kebahagiaan di dunia ini untukku."

***
~Bersambung~

Lama-lama Jadi SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang