9. Kenang-kenangan untuk Alex

2.3K 296 209
                                    

Ica telah sadar dari pingsannya. Namun, ia memilih tetap menutup mata. Rasa sakit jahitan bekas cesar yang kembali menganga, membuatnya tak cukup bertenaga untuk mengeluarkan kata-kata. Kesedihan jelas terlihat di raut wajah putih pucat miliknya. Kamal dan Bu Rani hanya bisa memandang Ica dengan iba. Ruang perawatan kelas tiga, terpaksa mereka  berikan pada Ica. Itu pun dari hasil menjual kalung peninggalan suami Bu Rani, yang merupakan ayah Alex juga.

"Ca, makan ya, Nak?" ujar Bu Rani sangat pelan. Suaranya pun bergetar menahan sedih. Tak ada sahutan yang keluar dari bibir kakak iparnya Kamal itu. Membuka matanya pun enggan.

Bu Rani meletakkan piring kembali di atas meja samping brangkar. Ia berdiri dari duduknya, lalu menarik tangan Kamal untuk keluar dari sana.

"Ada apa, Bu?" tanya Kamal keheranan.

"Kamu pulang ke rumah Alex. Cari ponsel Ica dan juga bawa beberapa helai bajunya. Sekalian baju kita juga. Kita udah diusir Alex. Jangan sampai, lelaki itu kembali ke rumah dan mengambil ponsel istrinya dan juga melemparkan baju-baju kita," ujar Bu Rani dengan cukup serius. Kamal pun mengangguk, membenarkan ucapan ibunya.

"Nanti di ponsel Ica, kamu cari nomor orang tuanya. Biasanya ditulis mama atau ibu, atau mami. Kamu telepon dan suruh aja ke rumah sakit. Ica harus kembali pada orang tuanya, sebelum nyawanya dalam bahaya," tambah Bu Rani lagi.

"Emangnya Ibu tahu, kenapa orang tua Ica gak pernah kelihatan?" tanya Kamal yang memang sudah lama ia ingin tanyakan pada ibunya.

"Ica diusir dari rumah, karena nekat menikah dengan Alex. Bujangan yang sudah memiliki anak padahal belum menikah."

"Oh, gitu." Kamal mengangguk paham. Pantas saja sesakit apapun Ica, wanita itu tak pernah memberitahu keadaannya pada orang tuanya. Ternyata dia merasa sia-sia dengan keputusan yang pernah ia ambil.

"Dah, jangan bengong! Cepat sana ambil barang. Ini kuncinya." Bu Rani menyerahkan kunci rumah pada Kamal.

Dengan naik ojek online, Kamal kembali ke rumah. Benar saja, rumah masih sepi. Tak mungkin abangnya itu langsung kembali ke rumah setelah membuat nyawa istrinya dalam bahaya. Kamal memutar anak kunci, lalu masuk ke dalam rumah. Kakinya lebih dulu berbelok ke arah kiri, tempat di mana ponsel Ica berada. Kamar itu masih berantakan, noda darah di kasur, membuat Kamal menelan ludah. Bulu tangannya pun ikut berdiri.

Lekas ia membuang pandangan, sambil mencari keberadaan ponsel kakak iparnya itu. Ternyata ada di nakas meja rias, berdekatan dengan tas make up. Ponsel yang dalam keadaan mati, ia masukkan ke dalam saku depan celana jeansnya. Lalu ia membuka lemari untuk mengambil asal pakaian Ica, serta meraup pakaian dalam yang berserakan di laci khusus pakaian dalam. Semua ia masukkan ke dalam tas jinjing berukuran sedang milik Ica.

Setelah selesai mengeksekusi barang milik kakak iparnya. Kini Kamal menuju kamar yang ditiduri olehnya dan juga ibunya. Semua pakaian ia masukkan ke dalam tas jinjing besar. Sepatu, sandal, mukena, sajadah. Semua benda di kamarnya kini sudah kosong.

Kaki Kamal kini beralih ke dapur. Beras lima kilo yang masih belum dibuka, ia masukkan ke dalam tas koper. Begitu juga dengan belasan bungkus mie instan kuah dan goreng. Ia juga memasukkan minyak, gula, teh, kopi, camilan, susu kental manis, dan semua bahan makanan di dapur ia masukkan ke dalam koper dan sebagian ke dalam ranselnya. Telur ayam negeri satu kilo masih utuh pun, ia masukkan juga ke dalam ranselnya.

"Duh, coba gue kuat bawa gas. Udah gue embat juga itu gas berikut kompornya," gumamnya saat melewati dua stok gas kecil berwarna hijau yang masih belum dipakai.

Tiba-tiba saja, ada ide nakal muncul di otaknya. Sembari menunggu taksi online tiba, Kamal kembali masuk ke kamar Alex, lalu buang air kecil di tengah-tengah kamar. Kuat ia menutup mulut, agar tawanya tak meluncur bebas. Kamal puas, saat air seninya ternyata banyak juga. Kakinya masuk ke dalam kamar mandi milik Alex, lalu membersihkannya di sana.

Tiba-tiba saja Kamal merasakan mulas pada perutnya. Bukannya duduk di kloset kamar mandi, Kamal malah berjongkok di tengah-tengah kamar Alex.  Setelah beres, Kamal pun masuk kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Rasain lu! Masuk rumah gue tinggalim kenang-kenangan, ha ha ha ...."

Puas menjarah rumah Alex, dan meninggalkan kenang-kenangan di kamar abangnya. Ia kembali mengunci rumah, lalu masuk ke dalam taksi online dengan yang sudah ada di depan pagar dengan perasaan puas.

Dirabanya saku celana, lalu mengeluarkan ponsel Ica dari dalam sana. Ia coba tekan lama, tombol di sisi kanan ponsel, hingga tak lama kemudian ponsel pun menyala. Menunggu beberapa detik, akhirnya layar utama tampil di sana. Foto Ica dengan tiga orang temannya saat tengah di kantin kampus.

"Manis sekali senyumnya," puji Kamal dalam hati.

Kamal menggeser layar, lalu tersenyum penuh kelegaan. Karena ponsel Ica tidak dikunci. Dengan mudah ia mengakses nomor telepon yang ingin ia cari. Begitu banyak nama di kontak ponsel, sehingga Kamal beberapa kali harus mengulang perlahan.

Mama

Mata Kamal melebar senang. Walau sedikit gugup, ia tetap berusaha tenang dengan mengatur embusan napasnya, sembari memencet tombol panggil pada kontak mama.

"Hallo, assalamualaykum. Tumben kamu telpon? Masih ingat kamu punya orang tua?"

Kamal kembali menelan ludah. Apakah ini bukan ibu kandungnya Ica? Kenapa ketus sekali.

["Wa'alaykumussalam, Bu. Ini, saya mau memberi tahu, bahwa Ica ada di Rumah Sakit Husada."]

["Apa? Jangan bercanda kamu?" ]

["Benar, Bu. Saya mohon ibu ke sana ya, segera! Kondisi Ica benar-benar tidak baik. Dokter Rudi yang akan menjelaskannya pada Ibu nanti. Saya Kamal, Bu. Iparnya Ica."]

Tut
Tut
Tut

Sambungan telepon terputus. Kamal bernapas lega, saat semua tugas telah ia lalukan. Sekarang, ia harus siap pasang badan, jika orang tua Ica malah menghajarnya, karena ia adalah adik Alex.

Setengah jam di dalam taksi, Kamal pun sampai di lobi rumah sakit. Semua barang ia turunkan dibantu oleh salah satu petugas keamanan.

"Dek, ini bukan terminal. Ini rumah sakit. Barangnya banyak banget. Emang mau mudik? Adek salah tempat," ujar petugas keamanan yang kebingungan. Kamal mati-matian menahan tawanya, sambil menurunkan sangat hati-hati ranselnya yang berisi telur ayam satu kilo.

"Dek, kalau mudik dari sini, dibawanya pake ambulan Dek, emang mau?" ujar petugas itu lagi, hingga Kamal tak tahan menahan tawa.

"Ha ha ha ... saya bukan mau ke terminal, Mas. Kakak saya sakit di atas. Ini Pakaiannya semua," terang Kamal sembari menggeser dua tas jinjing, satu koper, dan satu ransel miliknya.

"Emang sakit apaan, sampai setahun dirawatnya?" petugas itu memandang heran ada banyak tas yang dibawa oleh pengunjung pasien.

"Ha ha ha ... ya Allah, kocak pisan ini satpam. Bukan mau dirawat tahunan, Mas. Susah saya jelasinnya. Saya minta tolong ini titip di pinggir sini boleh gak?"

"Maaf, Mas. Saya satpam rumah sakit, bukan petugas penitipan barang di mal," jawab petugas yang bernama Imron dengan polosnya.

"Mas satpam Imron, masih mau umur panjang, atau mau langsung dicabut nyawanya hari ini?" tantang Kamal dengan gemas. Habis sudah kesabarannya meladeni satpam lucu tetapi mengesalkan.

"Wah ... emang Mas, managernya malaikat pencabut nyawa?"

"Duh, gue yang mati duluan kayaknya nih."

****
Sabar ya, Mal 🤣🤣🤣🤣

****Sabar ya, Mal 🤣🤣🤣🤣

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 28, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lama-lama Jadi SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang