Chapter 9

128 15 1
                                    

Susasana antara Cakra dan Langit terasa semakin canggung. Hal ini berawal ketika Langit terbangun dari tidur lelahnya dan mendapati Cakra berada di sebelahnya. Memeluk tubuhnya erat seakan Langit akan menghilang jika Cakra melepasnya.

Langit ingat, ketika semalam Cakra datang dan memeluknya. Langit sadar, dan Langit menikmati hangat dekapan Cakra. Tapi, Langit malu mengakui itu. Langit mati-matian membiasakan diri tanpa seorang pun disisinya, dan tiba-tiba Cakra kembali dan memaksa berada disisinya. Sungguh, Langit butuh Cakra. Tapi Langit tidak siap, untuk menjadi bayangan Cakra.

"Mau kemana?" Langkah Langit terhenti, kala suara Cakra menyapa ruang dengarnya.

"Keluar!"

"Bisa gak, temenin Abang di rumah?"

Langit tersenyum getir. Abang? Panggilan yang dulu menjadi candu bagi Langit. Yang setiap saat selalu Langit sebutkan. Rasanya, sudah sangat lama Langit tidak mengatakan itu. Dan kini, hatinya tersengat hanya dengan panggilan itu.

"Dek...."

"Stop! Tolong. Jangan hancurin pertahanan yang mati-matian Gua bangun! Jangan seret Gua, balik ke titik lemah itu! Jangan meluk Gua, kalau akhirnya Lu tikam! Tolong!"

Langit pergi. Mengabaikan Cakra yang terus meneriaki namanya. Memanggilnya. Langit lelah. Seakan takdir tak ada bosannya bermain dengan perasaannya.

Langit

Suasana dalam ruangan yang cukup luas ini terasa begitu menyesakkan. Ada marah yang tak bisa di ucapkan. Ada kecewa yang tak bisa di sembunyikan.

Kini, ada Cakra dan Danu yang duduk berhadapan. Dengan Cakra yang berusaha tidak meledak-ledak, sedangkan Danu terlihat begitu acuh.

"Ayah, tolong jelaskan! Apa yang Ayah lakukan? Kenapa Langit sangat membenci, Cakra?" sejak 30 menit lalu, hanya pertanyaan ini yang terus Cakra ajukan.

Tidak, Cakra tidak buta! Ia tahu, ada yang salah dengan ayah dan adiknya.

"Tidak ada"

"Ayah...."

"Ayah hanya menjadikan dia anak yang berguna! Anak yang bisa mempertanggungjawabkan dirinya sendiri nanti!" Danu menatap tajam Cakra. "Berhenti bertanya, dan keluarlah! Ayah banyak pekerjaan."

"Tidak! Cakra tidak akan keluar, sebelum Ayah menjelaskan, bagaimana Langit hidup selama ini?!" Cakra terus mendesak. Sungguh, Cakra hanya ingin meluruskan segalanya. Cakra hanya ingin, Langitnya kembali seperti dulu. Adiknya kembali seperti dulu!

"Cakra!" Nada suara Danu meningkat.

"Ayah, kehidupan seperti apa yang ayah kasih ke Langit? Kenapa dia menjadi seperti ini? Kenapa Langit jadi menjauh? Kenapa, Ayah? KENAPA?!" Hancur sudah pertahanan yang sejak tadi Langit buat. Tangisnya pecah bersamaan dengan sesak yang tak juga menghilang.

Cakra hanya butuh jawaban. Cakra hanya ingin tahu, kenapa adiknya seperti ini. Tapi, kenapa Danu tidak menjawabnya? Seakan, pertanyaan yang Cakra berikan, itu sangat sulit menemukan jawabannya.

Danu berdiri, menghampiri Cakra yang kini terisak. Dicengkramnya pundak si sulung.

"Dengar, Ayah! Kamu sendiri yang menciptakan situasi ini! Kamu ingat, ketika Ayah dulu mau memasukkanmu ke sekolah kedokteran terbaik di dunia ini, tapi kamu menolak? Bersikeras dengan pilihan kamu, dan meminta ayah memberikan itu semua ke Langit?" Danu menajamkan matanya "Dan sekarang, inilah buah pilihan kamu! Kamu memilih kuliah di Turki dengan jurusan yang kamu inginkan, dan membiarkan Langit menikmati semua fasilitas ayah kan? Dan ini! Ini yang ayah berikan ke Langit. Semua fasilitas terbaik, dan dia harus menjadi dokter! Seperti apa yang Ayah inginkan!"

"Ayah egois! Ayah memperlakukan Langit sepeti robot! Bukan seperti seorang anak! Ayah cuma mentingin ambisi ayah. Dan mengorbankan anak Ayah! Ayah adalah yang terburuk dari semua yang terburuk!"

Plak

Bruk

Sebuah tamparan keras Cakra dapatkan. Hinga membuat tubuhnya terhuyung dan jatuh membentur lantai dengan kepala membentur meja.

"Dengar Ayah baik-baik! Apa yang sudah ayah putuskan, tidak akan seorang pun yang bisa merubah itu! Sekali pun kamu, anak kesayangan Ayah!"

"Ayah! Tolong berhenti. Kembalikan kehidupan Langit!" Cakra masih terus berbicara. Mengabaikan darah yang mengalir dari pelipisnya. Mengabaikan rasa sakit pada tubuhnya akibat benturan.

"Diam Cakra, diam!" murka Danu "Diam, sebelum Ayah benar-benar memukulimu!"

"Lakukan! Lakukan apa pun, asal kembalikan kehidupan Langit!" teriak Cakra. "Ayah, Cakra mengalah. Cakra menjauh, membiayai kehidupan Cakra sendiri, jauh dari Ayah. Agar ayah bisa fokus ke Langit! Bukan malah membuat Langit menderita, Yah! Sangkar emas yang Ayah buat, justru akan membunuh Langit perlahan!"

Danu berang, hingga ia lepas kendali. Dan memukuli Cakra membabi buta. Menendang tubuh ringkih Cakra, hingga Cakra meringis beberapa kali.

"Dengar baik-baik, Cakra! Ayah menyesal membanggakan kamu! Karena nyatanya, Ayah sangat menyayangi dan membanggakan Langit. Kamu tahu, kenapa? Karena hanya Langit yang bisa meraih mimpi ayah! Hanya Langit yang bisa menjadi dokter, sesuai dengan keinginan Ayah! Dan kamu? Kamu hanya anak yang gagal di mata ayah! Tidak sedikit pun, ayah merasa bangga dengan kamu!" maki Danu. "Kalau kamu berpikir, dengan kamu kuliah beasiswa dan menanggung hidup kamu sendiri di Turki bisa membuat ayah bangga, kamu salah! Salah besar, Cakra! Karena itu, bukan hal yang perlu di banggakan!"

Cakra bungkam. Sesakit ini? Ketika semua usahamu, sama sekali tidak di akui dan di apresiasi. Ahh, benar. Cakra tidak seharusnya tersanjung dengan pujian-pujian Ayah selama ini. Ketika Ayah terus membanggakan dirinya di depan, Langit. Sebab nyatanya, di mata Ayah, hanya ada Langit. Bukan Cakra!

"Ya, ayah benar! Di mata ayah, memang hanya ada Langit! Tapi, apakah ada Ayah di mata Langit? Sedangkan bagi Langit, ayah hanya predator! Predator yang memakan semua mimpi-mimpi Langit!"

"Kurang ajar!"

"Ayah, berhenti!"

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang