Chapter 6

156 23 0
                                    

“Ada atau tidaknya dia, status saya di sini tetap sama; Asing!”

***

Pagi ini, suasana rumah mewah keluarga Dyaksa terlihat begitu sibuk. Banyak orang yang terlihat kesana kemari dengan segala pekerjaan yang harus mereka selesaikan. Langit, remaja yang sejak tadi menjadi penonton setia kesibukan itu, terlihat menatap dengan sayu. Ia tahu, apa yang akan terjadi di rumah ini, sehingga ia hanya tersenyum miris. Langit tahu pasti, siapa yang akan datang, sehingga rumah ini di hias sedemikian rupa, agar terlihat sangat mewah.

“Mas.” Seorang wanita paruh baya mendatangi Langit, memberikan seulas senyum dengan harap Langit baik-baik saja.

“Langit gapapa, Bi. Wajar kok, Ayah menyambut dia kaya gini. Dia kan kesayanga Ayah.” Langit tersenyum. Bagi sebagian orang, senyum Langit terlihat sangat manis. Tapi tidak bagi Bi Siti. Karena senyum itu, menyimpan ribuan luka yang tidak bisa Langit jelaskan. “Yaudah, Bi. Langit berangkat dulu.”

Langit berlalu begitu saja, mengabaikan tatapan iba Bi Siti yang kini matanya mulai berkaca-kaca. Bi Siti memang sangat menyayangi Langit, namun Bi Siti juga tidak bisa melakukan apa pun. Karena Bi Siti cukup paham dan mengerti, tentang posisinya di rumah ini.

***

Siang ini, suasana hati Langit tidak kunjung membaik. Banyak hal-hal yang memenuhi otaknya, sehingga tak sedikit pun Langit merasakan tenang hari ini. Sesekali, air mata akan mengalir dari mata indah Langit. Namun, hal itu tidak membuat Langit berniat untuk menghapusnya. Langit membiarkan angin menghapus air matanya. Ia membiarkan angin merengkuh tubuhnya. Disini, di atap seklah. Langit menghabiskan waktunya sejak tadi. Tidk ada Bayu mau pun Yuda di sisinya. Langit memang berpesan kepada keduanya, kalau saat ini, Langit benar-benar sedang ingin sendiri.

“Apa lagi sekarang? Apa gak cukup selama ini? Kenapa harus di beratkan lagi?”

Anggaplah, Langit lemah. Menghabiskan waktunyasejak pagi untuk menyendiri dan menangis. Meratapi nasib yang begitu menyedihkan. Langit, benar-benar rapuh saat ini. Tangisnya semakin terdengar, beratnya nafas mulai Langit rasakan. Ia teriak, namun sesak tak juga hilang. Hingga Langit menjatuhkan dirinya, dengan lutut sebagai tumpuan. Menyuarakan segala sesaknya lewat teriak, meski tak ada kelegaan yang Langit dapatkan, ia tetap melakukannya.

Grepp

Sebuah peluk Langit rasakan. Tanpa peduli, siapa yang memeluknya. Langit terus berteriak dan menangis. Sungguh, ia butuh pelukan. Ia butuh sandaran. Langit sedang tidak baik. Langit Putra Dyaksa, kini sedang dalam sisi gelapnya.

“Jangan gini, Ngit. Gua sakit liat lu kaya gini!” Sebuah suara berat menyapa indera dengar Langit. Langit bungkam, mencengkram erat tangn tersebut. berharap, sesaknya dapat mereda. Mengabaikan tangan yang mulai memerah sebab di cengkram terlalu erat, Langit justru menyerahkan semua beban tubuhnya kepada orang tersebut.

“Gua bingung. Gua takut. Gua marah. Gua kecewa. Gua .. Gua bingung!” Langit meracau. Entah apa yang Langit bicarakan, yang pasti. saat ini Langit sangat kacau.

Tanpa banyak bicara, rang tersebut masih merangkul Langit. Dengan sesekali di usapnya dengan lembut kepala Langit. Berharap, dengan cara itu, Langit tenang.

“Lu gak sendiri. Ada kita. Kita bahagia, kalau liat lu bahagia. Begitu pun sebaliknya. Jangan takut, pundak kita masih kuat untuk lu jadiin sandaran. Kita gak akan bergeser sesenti pun dari lu, jadi lu jangan takut kalau kita akan bikin lu jatuh.” Sosok itu, Bayu. Menjadikan tubuhnya untuk menjadi sandaran Langit. Menyiapkan peluknya untuk menenangkan Langit. Bayu sangat menyayangi Langit. Karena baik Bayu mau pun Yuda paham, bahwa Langit butuh membutuhkan mereka.

Sedangkan Yuda sendiri, memilih berdiri di belakang keduanya. Meredam tangisnya agar Langit tak mendengarnya. Memang, sejak tadi ada Bayu dan Yuda di sana. Mereka tetap mengawasi Langit tanpa niat mengganggunya.

Selagi Bayu menenangkan Langit, Yuda memilih untuk pergi membeli minum untuk mereka bertiga. Untuk kali ini, Yuda membiarkan Bayu menempati posisinya untuk menenangkan Langit. Karena Yuda merasa, Langit dan Bayu butuh waktu bersama untuk menyelesaikan permasalahan mereka beberapa waktu lalu.

***

Pukul 15.00 Langit tiba di rumah. Dia tahu, bahwa Danu sudah pulang. Namuntidak ingin ambil pusing, Langit masuk dan hendak ke kamar. Namun, langkahnya terhenti oleh suara Danu.

“Kakakmu pulang, kenapa tidak kamu sapa?”

“Langit capek, nanti saja!” Langit berlalu, mengabaikan Danu yang terus memanggil namanya. Mengabaikan sosok laki-laki yang sangat mirip dengannya.

“Biarin Langt istirahat, Yah. Nanti aku aja yang nyamperin kamarnya.”

***

Langit malam yang begitu indah, seakan menjadi saksi bagaimana asingnya kedua remaja yang sangat mirip ini. Sejak sejam yang lalu, tidak ada yang membuka suara. Mereka terlihat sibuk dengan dunianya masing-masing.

Tak

Di bantingnya dengan kasar pena yang Langit pegang. Lalu menghadap ke pria yang ada di belakangnya.

“Kenapa harus balik?”

“Gua kangen sama lu!”

“Kangen? Setelah Lu memposisikan gua di posisi menyedihkan, terus lu tiba-tiba balik dan bilang kangen? Sumpah, otak lu gak guna!”

“Sorry.”

“Gak guna! Hidup gua hancur gara-gara Lu. Gua jadi robotnya Ayah gara-gara Lu!” Setetes air mata Langit kembali mengalir tanpa di minta. Ia menatap nanar, sosok yang sangat mirip dengan Langit.

“Kapan lu balik?” Langit bertanya dengan suara paraunya.

“Balik? Balik kemana? Rumah gua di sini!” Sosok itu menghampiri Langit. “Gua gak akan ninggalin lu lagi!”

Bullshit! Denger gua baik-baik. Gak ada lu, hidup gua udah menderita. Dan sekarang, lu ada di sini.” Langit tersenyum remeh “Makasih, udah nambah penderitaan hidup gua, Lintang Cakra Dyaksa!”

“Langit! Gua Cuma pengen nembus kesalahan gua yang lalu. Please, kasih gua kesempatan!”

“Kesempatan? Sumpah, lu egois banget! Setelah lu bikin gua jadi robot Ayah, sekarang lu minta kesempatan? Kasih tau gua, apa yang mau lu perbaiki? Apa yang mau lu lakuin? APA!”

Langit bangkit, lalu meninggalkan kamar. Mengabaikan Cakra yang terus memanggilnya.

***

Malam ini, meja makan di rumah ini terisi. Yang biasanya, hanya ada Langit, kini ada Danu dan juga Cakra.

“Ayah bangga sama kamu, Cakra!”

Entah, sudah berapa kali Danu mengucapkan itu di depan Langit. Sesak? Pasti. tapi, Langit bisa apa? Toh, seharusnya Langit sudah biasa. Karena memang, sejak dulu hanya Cakra yang terlihat di mata Danu. Sedangkan Langit? Dia ada. Namun tak terlihat. Terlebih, itu di mata Danu.

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang