Chapter 4

178 18 0
                                    

“Boleh gak sih, sekali aja. Gua ngelawan dan menolak keinginan, Ayah? Gua capek, coy, di kendaliin mulu!” – Langit


Sore ini, Langit pulang tepat pukul 4 sore dari sekolah. Biasanya, Langit akan langsung ke tempat les, dan menunggu di sana. Namun sekarang, rasanya Langit sangat malas untuk menunggu di sana. Jadilah Langit memutuskan untuk pulang, dan beristirahat di rumah. Toh, les nya juga di mulai pukul 6 sore, masih ada waktu bagi Langit istirahat sebentar. Untuk tidur misalnya.

Tok tok tok

Sangat Langit masih bergelut dengan selimut tebalnya, suara pintu di ketuk pun memaksa kesadaran Langit untuk kembali. Sehingga Langit dengan mata merahnya berjalan membuka pintu.

“Mas, baru bangun?” itu Bi Siti. Satu-satunya pekerja di rumah ini yang bertahan paling lama.

Bi Siti bekerja pada Danu sejak awal Danu menikah dengan Ratu. Hingga saat ini, ketika Ratu telah tiada dan Langit tumbuh dewasa, bi Siti masih bertahan di sini.

Langit tersenyum pada bi Siti, lantas mengangguk singkat “Iya, Bi. Langit ngantuk banget. Tapi sekarang udah segeran, kok.”

“Yaudah, mas Langit mandi, ya. Udah mau jam 5. Nanti telat lesnya.” Bi Siti mengelus lengan Langit dengan lembut, seakan menyalurkan energi yang mungkin Langit butuhkan. “Oh iya, bibi tadi bikin brownies kering. Mas mau?” dengan semangat Langit mengangguk.

“Yaudah, nanti bibi wadahin ya. Simpen di kamar mas Langit. Buat temen belajar.” Lagi, Langit hanya merespon dengan anggukan, dan senyum bi Siti pun semakin terlihat “Mandi gih. Keburu telat beneran nanti.”

“Iya, Bi. Langit siap-siap sekarang.”

Cup

Langit mencium pipi bi Siti yang mulai menandakan usianya tak lagi mudah. Langit menatap dalam mata sayu bi Siti. “Makasih ya, Bi. Langit sayang banget sama Bibi.”

Setelahnya, Langit memutuskan untuk segera bersiap-siap.

***

Tepat pukul 11 malam, Langit baru sampai di rumah. Setelah menghabiskan waktunya di tempat les. Danu memang tidak pernah main-main dengan ucapannya, perkara jam les Langit yang di tambah, Danu benar-benar melakukannya.

Langit memasuki kamarnya dengan langkah gontai. Dia sangat lelah sekarang. Dia ingin segera tidur. Hingga tanpa mengganti seragamnya, Langit langsung merebahkan dirinya di atas kasur.

Tok tok tok

Suara pintu terbuka, setelah di ketuk membuat Langit menunda tidurnya. Di lihatnya sang Ayah yang berjalan mendekat dengan pakaian kantor yang masih melekat pada tubuh tegapnya.

“Ganti baju dulu. Baru tidur!” Danu duduk di tepi ranjang Langit, dengan mengelus surai Langit singkat.

“Langit ngantuk banget, Yah.” Jawab Langit lirih.

“Ganti dulu. Kamu habis dari luar, jorok banget!” Langit hanya mengangguk pasrah. Dia malas, mendengar ceramah dadakan sang ayah.

“Ayah kenapa kesini? Ada perlu sama Langit?” Langit menatap Danu dengan intens. Ya, Danu memang jarang menemui Langit, kecuali ada hal-hal penting. Dan mendadak, Langit merasakan sesuatu akan terjadi.

“Tadi bu Inge nelfon Ayah. Katanya ada lomba Sains Nasional. Yang menang, bakal dapat beasiswa Kedkteran di Universitas Indonesia. Jadi, Ayah mau kamu ikut lomba itu!” Langit membolakan matanya. Apa lagi ini!

“Enggak. Langit gak mau! Langit gak mau jadi Dokter!” Langit menatap iba sang Ayah “Ayah, tolong. Sekali ini aja. Langit punya cita-cita sendiri! Biarin Langit nentuin cita-cita Langit sendiri, Yah.”

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang