Stratford-upon-Avon adalah sebuah kota yang terletak di Sungai Avon, sebelah selatan Warwickshire, Inggris. Kota ini adalah kota penuh budaya karena terkenal sebagai kota kelahiran William Shakespeare, seorang sastrawan terbesar Inggris yang karyanya telah diterjemahkan di hampir semua bahasa hidup di dunia dan dipentaskan di panggung lebih daripada semua penulis sandiwara yang lain.
Ini adalah kota persinggahan terakhir kami sebelum kembali ke London untuk menghadiri sebuah acara. Aku dan Lee Hyukjae, orang yang dikirim ibuku untuk menemaniku berkeliling Eropa. Pria kurus itu adalah sahabatku, aku biasa memanggilnya Eunhyuk. Kami sudah akrab sejak duduk di bangku sekolah dasar.
"Astaga. Aku tidak pernah mengira Inggris akan sepanas ini," ucap Eunhyuk sambil mengipasi dahi dan lehernya yang berkeringat. "Pukul berapa sih mereka akan membuka pintu sialan itu?"
"Mungkin saja mulai pukul tujuh," jawabku. Aku melirik Rolex Daytona milikku, sebuah arloji berbingkai emas yang kubeli sendiri dengan harga tiga puluh tujuh ribu dolar Amerika. "Sekarang sudah setengah tujuh."
Kalian tidak usah bingung mengapa aku bisa membeli arloji semahal itu. Baiklah, akan kujelaskan. Aku adalah seorang pengusaha muda yang bisa dibilang lumayan sukses di Korea. Perusahaanku bernama Lee Overseas, bergerak di bidang pengiriman barang lintas negara.
"Kupikir orang-orang Inggris ini seharusnya belajar dari orang-orang Italia yang langsung mengerubung saja daripada membuat barisan sepanjang ini," ujar Eunhyuk mengomentari antrean panjang yang ada di depannya. "Ngomong-ngomong soal Italia, rasanya seperti satu tahun yang lalu kita mengunjungi Roma."
Ya, Eunhyuk benar. Roma terasa seperti satu tahun, padahal kami ada di sana enam hari yang lalu. Seluruh benua Eropa mendadak berubah menjadi kelebatan-kelebatan bandara, kereta, bus dan bangunan tua bagiku.
Eunhyuk semakin membuatku sakit kuping dengan ocehannya mengenai betapa panasnya cuaca hari ini. Aku menengadah. Matahari memang masih begitu terik, ditemani awan yang berlarian melintasi langit. Aku senang melihat gumpalan-gumpalan awan yang melesat begitu cepat, tidak ada yang menghalangi.
Sekarang adalah bulan Agustus. Musim panas di Inggris. Oleh karena itu, tidak heran jika cuaca akan sepanas ini dan matahari terbenam lebih lama.
"Bebaskan Shakespeare!"
Aku mendongak ketika melihat belasan orang bergerak di sepanjang antrean sambil menyerahkan beberapa brosur yang berwarna mencolok. Mereka semua sangat tinggi, kurus dan terlihat berbeda. Namun, tentunya tidak semencolok kami yang bermata sipit dan memiliki kulit mulus tanpa bintik-bintik hitam di wajah.
"Lihatlah!" Eunhyuk meraih selembar brosur dan membacanya perlahan.
"Apa isinya?" tanyaku penasaran.
Pria itu kemudian mengumpat beberapa kali setiap melihat kata yang tidak ia mengerti. Aku terkekeh pelan. Aku paham betul kemampuan bahasa Inggrisnya yang payah itu.
"Sialan. Aku tidak mengerti mengapa mereka menulis dengan bahasa yang sangat sulit kupahami." umpat Eunhyuk.
Aku meraih brosur yang dipegang Eunhyuk dan membacanya perlahan. Kemudian, kulihat seorang gadis yang tidak lebih tinggi dariku menghampiri kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
24 Hours
FanfictionSelama ini, Lee Donghae sangat yakin jika ia adalah pria baik-baik. Ia bahkan menerima tawaran ibunya yang memaksanya untuk tur keliling Eropa agar lepas dari penat karena pekerjaan yang selalu menumpuk. Di Eropa, ia bertemu dengan Ashlyna Jung yan...