Eunhyuk menutup kepalanya dengan bantal ketika alarm berbunyi pukul setengah tujuh pagi. "Kita naik kereta yang lebih siang saja," dia mengerang.
Aku menghela nafas kasar. "Tidak. Semua sudah diatur. Lagipula kau kan bisa tidur di kereta," ujarku yang sudah berpakaian rapi.
Pria itu masih terdiam di atas ranjang sambil memejamkan matanya. Aku semakin naik darah. Akhirnya aku menyeret Eunhyuk dan mendorongnya ke dalam kamar mandi, kemudian menguncinya dari luar.
"Sialan kau!" Eunhyuk memakiku dengan nada tinggi.
Setelah lima belas menit, aku membuka pintu kamar mandi yang sempat aku kunci. Tidak lama kemudian Eunhyuk keluar mengenakan bathrobe. Pria itu berlalu begitu saja dan melanjutkan aktivitasnya tanpa memperdulikanku.
Kami meninggalkan hotel pukul tujuh lewat tiga puluh dan tiba di stasiun dua puluh menit setelahnya dengan menaiki taxi. Kereta menuju London berangkat pukul delapan pas, itu tandanya kami hanya perlu menunggu sepuluh menit saja.
Ketika kereta kami tiba, aku dan Eunhyuk langsung mencari bangku kosong sambil menyeret koper kami masing-masing. Dan saat kami sudah menemukannya, pria itu langsung duduk di sisi jendela.
"Bangunkan aku kalau sudah sampai London," ujarnya sambil bersandar pada jendela, lalu memejamkan mata.
Aku merapikan barang bawaan kami dan berniat untuk mencari gerbong makan. Kami tidak sempat sarapan di hotel, sehingga sekarang perutku sudah mengamuk meminta untuk diisi sesuatu.
Aku menelusuri gerbong demi gerbong, hingga akhirnya aku tiba di gerbong makan. Aku mengamati setiap menu yang ada di sana, sangat payah menurutku. Akhirnya aku hanya memesan sandwich dan teh hangat.
Kuletakkan makanan di nampan dan berniat kembali ke tempat dudukku. Namun, aku merasa bimbang ketika melihat salah satu meja kosong persis di sebelah jendela. Aku harus kembali ke Eunhyuk, tetapi pria itu sedang tidur, dan dia tidak peduli padaku. Akhirnya kuputuskan untuk duduk di meja itu dan menatap ke luar jendela yang menyajikan daerah pedesaan khas Inggris, hijau dan rapi, dibatasi pagar-pagar tanaman, dan hewan-hewan ternak yang berkeliaran.
"Kau pasti menderita belakangan ini."
Suara itu, aku mengenalnya. Masih terngiang dengan jelas setiap dialog yang ia ucapkan tadi malam. Aku mendongak, dan gadis itu ada di sana, menyunggingkan senyuman miringnya.
"Kenapa?" aku bertanya.
Gadis itu tidak menjawab. Dia berjalan ke konter dan memesan kopi. Setelah itu ia duduk di hadapanku tanpa meminta persetujuanku, walaupun aku sama sekali tidak masalah dengan itu.
"Kebanyakan orang Asia memakan nasi sebagai sarapannya. Namun, disini nasi adalah hal yang jarang," jelasnya.
"Hmm, dan sekarang menunya payah."
"Benar sekali. Maka dari itu aku membawa sarapan sendiri." Dia meraih tasnya dan mulai membuka bungkusan dari kertas pembungkus.
"Apa itu?" tanyaku.
Dia membuka bungkusan makanannya dan menunjukkannya padaku. "Wurst, ham, kase dan butter roll."
Aku mengangkat satu alisku. Aku tau ham dan juga butter roll, namun sisanya entahlah aku hanya pernah mendengarnya saja. "Wurst? Kase?" tanyaku.
"Hmm. Wurst itu sosis khas negara kami, Jerman. Kase adalah sebutan untuk keju dalam bahasa Jerman. Dan, silahkan makan. Aku bisa bicara sementara kau sarapan."
"Terima kasih. Aku lega kau bisa melakukan banyak hal sekaligus," candaku. Kemudian ia tertawa kecil.
"Siapa namamu?" tanya gadis itu sambil mengunyah sarapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
24 Hours
FanfictionSelama ini, Lee Donghae sangat yakin jika ia adalah pria baik-baik. Ia bahkan menerima tawaran ibunya yang memaksanya untuk tur keliling Eropa agar lepas dari penat karena pekerjaan yang selalu menumpuk. Di Eropa, ia bertemu dengan Ashlyna Jung yan...