Paris

372 18 0
                                    

Kereta berhenti, itu berarti kini kami telah sampai di tujuan. Paris. Paris yang menyambutku di luar Gare du Nord sama sekali tidak mirip dengan apa yang kulihat di film-film. Tidak ada menara Eiffel atau toko-toko mode bergaya di sini, atau mungkin belum. Di hadapanku hanya ada jalanan biasa yang dijejali bus dan taksi.

"Donghae, ada masalah penting yang harus kita bicarakan." Ashlyna menatapku dengan serius, seketika aku menjadi ragu untuk mendengarnya, takut bila itu adalah kejutan buruk.

"Ada apa?" tanyaku sambil berusaha tidak terdengar gelisah.

"Ini sudah jam makan siang dan kita hanya punya waktu satu hari. Jadi kita harus memikirkan ini dengan serius.Tapi sekarang aku sangat lapar hingga tidak bisa berpikir," jelas Ashlyna dramatis.

Aku menghela nafas dan tertawa pelan. Setidaknya ini bukan sebuah kejutan buruk. "Jangan berputar-putar jika hanya ingin mengajakku makan siang."

Ashlyna memamerkan deretan giginya kepadaku, ia nampak seperti seekor kucing yang sangat lucu. Kami melangkah menuju deretan restaurant yang buka di sepanjang jalan ini dan membaca tiap menu yang mereka pajang. Semua menggunakan bahasa Perancis dan beberapa terdengar asing di telingaku, namun Ashlyna selalu menerjemahkannya hingga aku benar-benar mengerti. Sepertinya dia sangat mengenal Paris. Oh dan jangan lupa setiap bahasa Perancis yang keluar dari mulut gadis itu entah kenapa terdengar sangat sexy hingga membuatku ingin mempelajarinya.

"Aku tidak punya banyak uang, kita mungkin akan lapar lagi nanti. Jadi, tidak apa-apa kan kalau kita berbagi?" tanya Ashlyna ketika kami duduk di sudut restaurant.

Pertanyaan Ashlyna membuatku terenyuh. Jujur saja aku merasa sangat tidak berguna setelah dia membayar tiket keretaku, ingin rasanya aku mengeluarkan uang yang kupunya. Tapi aku harus menyimpannya karena tidak ada uang receh di dompetku, masih berbentuk won karena belum sempat kutukar, dan itu juga akan membuat Ashlyna curiga jika aku adalah pria kaya.

"Bukan masalah, lagipula aku tidak terlalu lapar." Aku berbohong.

Akhirnya kami hanya memesan satu butter sandwich berisi daging ham dan satu apple pie, tidak lupa dengan segelas orange juice. Ketika makanan datang, aku dan dia makan bergantian hingga banyak pasang mata yang menatap ke arah kami. Ini pertama kalinya aku berbagi makanan dengan seorang wanita selain ibuku. Rasanya agak menyenangkan menurutku.

"Sebenarnya berapa bahasa yang kau kuasai?" tanyaku setelah kami selesai.

"Aku tidak ingat." Dia menjawab seperlunya. "Aku terlalu sering berkelana hingga benua ini bagaikan sebuah negara bagiku. Ketika aku mengunjungi suatu tempat, secara tidak sadar bahasaku berubah."

Aku hanya menanggapinya dengan anggukan. "Sudah berapa lama kau tidak pulang?"

"Setiap tahun aku selalu menetap selama tiga bulan di Berlin, dan setelah London rencanaku adalah pulang. Tapi angin membawaku kesini." Ashlyna bangkit dari duduknya. "Jangan buang-buang waktu. Berdirilah!"

***

Ketika kami meninggalkan restaurant, Ashlyna menanyakan jam kepadaku. Aku menatap arlojiku. Pukul tiga sore, dan kami baru akan memulai perjalanan kami.

"Apa yang ingin kau lakukan lebih dahulu?" tanya Ashlyna padaku.

Aku berpikir sejenak. Paris di mataku hanyalah tentang menara Eiffel, toko-toko mode bergaya di sepanjang jalan dan juga Seine. Dua hal yang kusebut di awal menurutku lebih pas jika dikunjungi di malam hari, dan Seine adalah jawaban yang paling logis. "Bagaimana dengan Seine?"

24 HoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang