Closer

474 27 12
                                    

"Jung, aku ingin ke Lourve." Aku mencoba berbicara akrab padanya.

"Sudah kuduga."

Aku mengernyitkan dahiku. "Apa?"

"Kau adalah lelaki membosankan yang rela menghabiskan waktu berhargamu dalam sebuah museum," jawab Ashlyna tak acuh.

Aku sedikit tidak terima tentang pendapatnya. Oh okay, kuakui jika itu memang benar. Aku membosankan, tidak heran hubungan percintaanku selalu kandas karena itu. Wanita-wanita itu selalu pergi meninggalkanku dan mencari pria yang lebih menarik.

Bukan. Bukan soal tampang. Kalau soal itu aku sangat percaya diri jika diriku jauh di atas rata-rata pria Asia kebanyakan, mataku tidak sipit dan aku punya double eyelids, hidungku mancung, bibirku memang tidak tebal tapi kuanggap itu masih dalam ukuran cukup dan garis rahangku cukup bagus.

"Aku anggap itu sebuah pujian. Jadi, berapa jauh Lourve dari sini?"

"Mungkin beberapa kilometer, tapi lebih cepat jika kita pakai sepeda. Di sini kita bisa meminjam sepeda gratis selama setengah jam, tetapi kita harus menguncinya lagi kalau tidak ingin dikenai biaya."

"Lalu, kita butuh kartu kredit untuk deposit?" Aku menebak. Aku sudah pernah mendengar program ini, aku membaca sejarah jika dulu Belanda sempat menyediakan sepeda putih gratis, siapa pun bisa memakainya dan ditinggalkan saja jika sudah selesai. Namun, program itu gagal karena jumlah sepeda yang terlalu sedikit dan banyak orang yang mencurinya. Dan sekarang ini banyak sekali program seperti itu di berbagai negara untuk mengatasi polusi dan menarik minat wisatawan.

"Tepat sekali."

Ashlyna menggesekkan kartunya pada keypad dan kemudian salah satu kunci sepeda terbuka. Aku mencoba melakukan hal yang sama, tapi Ashlyna menahanku.

"Kau tahu, ketika kau mengeluarkan seratus ribu won dari dompetmu untuk naik perahu itu, aku ingin sekali memakimu. Uang itu bisa kita gunakan untuk menyambung hidup nantinya." Ashlyna menghela nafas. "Simpan saja sisa uangmu, mana tahu berguna. Lagipula, kita hanya butuh satu sepeda."

"Hanya satu sepeda?"

Ashlyna mengangguk. "Dalam drama, bukankah biasanya sang pria membonceng wanitanya."

Aku memutar kedua bola mataku. "Ya Tuhan. Aku rasa kau harus berhenti menonton drama-drama itu," balasku. Aku menaiki sepeda dan meletakkan kakiku di salah satu pedal sambil menunggu Ashlyna mencapai posisi yang nyaman. "Sudah siap?" tanyaku memastikan.

"Ya."

Aku mengayuh sepedaku dan kurasakan tangan Ashlyna memelukku dari belakang dengan erat. Berkeliling Paris dengan sepeda tanpa menggunakan helm, rasanya agak-agak bunuh diri.

"Donghae," panggil Ashlyna ketika kami berhenti di perempatan jalan.

Aku menoleh ke belakang. "Ada apa?"

"Beritahu aku kalau kau melihat polisi. Aku akan turun. Sebenarnya ini tidak legal."

Aku mendelik. "APA?!" pekikku. Ini sinting. Kami akan tewas. Kenapa gadis itu baru memberitahuku sekarang? Melanggar aturan adalah hal yang sangat aku hindari dalam hidupku. Dan aku melakukannnya, demi memenuhi permintaan istri palsuku untuk berlakon bagaikan dalam drama Korea.

Aku tidak berpikir panjang lagi, kuayuhkan pedal berharap dapat mencapai Lourve secepat mungkin. Namun, tidak lama kemudian bunyi peluit nyaring terdengar dan sepeda dihentikan mendadak.

"Perjalanan usai," suara Ashlyna menyadarkanku.

Ashlyna turun begitu saja dan aku memutar sepedaku. Polisi muda itu mengejar kami, wajahnya merah padam. Ketika dia mengeluarkan buku kecilnya dan menunjuk-nunjuk kami berdua, aku semakin gelisah.

24 HoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang