Kau bukannya tak tega. Kau hanya takut untuk bersaing. Sometimes, word will never be not enough.
Akhirnya, Osaki Grace Eun kembali memijakkan langkahnya di depan kelas musik Savior. Gadis berperawakan sedang ini terus menatap papan marmer yang terpahat kata savior, menunjukkan betapa elegannya desain tempat tersebut.
Disini terasa asing, di rumah pun sama. Lantas kenapa dirinya harus menghindar jika dunia mulai menakutinya?
"Noona."
Grace menoleh, menemukan Jisung yang juga baru datang. "Eum."
"Kau kemana saja? Maaf, aku tak ikut menjengukmu. Tugas sekolahku semakin padat, sorry."
"Tidak masalah, Andy."
"Hehehe. Hm, kau akan mengambil gitar klasik?" Tanya Jisung yang menemukan tas gitar menggantung di punggung Grace. "Serius?"
"Mungkin saja."
"Heol, gadis keren! Tidak, bisa masuk ke dalam kelas ini pun kau sudah sangat keren."
"Ah, jangan seperti itu. Oh ya, kau masuk ke dalam kelas lebih dulu, aku akan ke studio untuk menyimpan gitarku."
"Sebelum itu aku ingin bertanya. Gitar yang kau bawa benar-benar milikmu?"
Grace mengangguk. "Pemberian ibuku beberapa tahun lalu."
"Hiii—berarti kau sudah sejak lama belajar musik?"
"Lumayan."
"Kau membuatku merasa semakin rendah diri disini."
"Ah lupakan, kau ada ada saja. Sana ke dalam kelas, aku ke studio dulu." Pinta Grace yang membuat Jisung mengangguk dan secara bersamaan beranjak dari depan kelas. Grace berjalan menuju studio yang terletak beberapa ruangan dari kelasnya, melewati kelas lain yang lebih riuh dan bersuasana normal.
"Ya Giselle! Kau membeli di gerai mana?!"
"Tanyakan pada anak kelas sebelah bernama Han."
"Oh ya Tuhan, kalian berisik sekali."
"Han! Karina memanggilmu."
"Bilang saja aku dan Hyunjin sedang berduel."
Kegaduhan yang sangat berbeda jauh dari kelas Grace.
Begitu tiba, Grace segera masuk dan menyimpan gitarnya. Belum sempat menghela nafas lega dengan tenang, suara menyeramkan muncul dari sudut studio.
Krak, krak!
Grace menemukan Lee Haechan, tengah melakukan sesuatu yang menimbulkan suara tulang remuk dari sana. Perlahan Grace melangkah mundur, takut jika saja lelaki itu menyadari keberadaannya.
Setengah langkah,
Satu langkah,
Dua langkah,
Dang!
Secara tak sengaja gadis ini menekan tuts piano yang tak tertutup seperti biasanya. Haechan menoleh, dan membuat atmosfer semakin tak terkendali. Ia memperlihatkan bagaimana wajahnya berubah, seperti mahkluk yang sangat tidak biasa atau tidak normal.
Mata, kulit, itu hampir sama dengan gejala yang Shotaro alami kemarin. Grace semakin resah luar biasa, ditambah lagi saat Haechan bangkit dan membuang sesuatu ke tempat sampah. Nafas Grace perlahan tak normal, berusaha bergerak secepat mungkin meski getaran tubuhnya sulit dikendalikan.
"Lee Haechan." Kata Grace. "Siapa kau sebenarnya?"
"Aku?" Haechan mendengkus. "Coba tebak saja. Aku rasa kau salah satu orang yang sadar akan sesuatu disini."
"Apa, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Darah, kebencian, malam, depresi, teror, pikiran, terpendam, aku salah satu dari mereka yang terkena kutukan ini. Apa—kau akan berlari keluar sana dan memberitahukan semua orang?"
Sedikit lagi Grace mencapai pintu studio. Langkahnya yang gemetar berusaha terus berpijak dengan benar, menjauhi Haechan sebisa mungkin untuk mampu kembali ke dalam kelasnya.
"Apa perlu aku bantu kau kembali, Osaki?"
Tepat setelahnya Grace berhasil menemukan gagang pintu. Gadis dengan marga Osaki-nya itu berlari tak karuan meninggalkan Haechan yang menatap sangat dingin atas kepergiannya. Grace terus berlari ketakutan dan membuka pintu kelasnya, secara tak sengaja menghalangi Mark yang baru saja datang juga membuat semua teman kelasnya menoleh dan menatap heran.
Ada apa dengan Grace?
Ia duduk di tempatnya, mencari-cari inhaler di dalam tas dengan tangan yang bergetar dan terus berdoa tanpa mengatakan apapun. Teman-temannya khawatir, membuat mereka berdiri dan Renjun menjadi orang pertama yang menarik tas Grace untuk mengeluarkan alat bantuan. Setelah menemukannya, Renjun membantu Grace dengan alat itu untuk bernafas dengan baik. Mereka yang lain semakin terkejut, lantaran si gadis satu-satunya ini adalah pengidap asma.
"Ya, Huang Renjun." Ucap Mark Lee. "Kenapa kau bisa tahu dia asma?"
"Karena takdirnya."
"Apa dia hanya berpura-pura?"
"Hyung, bukan saatnya untuk berpikiran seperti itu." Tegur Chenle. "Dia bisa saja kenapa-napa. Oh ayolah."
"Pelan-pelan, kau pasti bisa." Bisik Renjun. "Ya, hirup dengan baik—hembuskan. Tetap seperti itu."
"Apa telah terjadi sesuatu?" Tanya Jaemin.
Mark mengendikkan bahu. "Dia tiba-tiba berlari dari arah studio dan menghalangi jalan masuk. Kau mencurigaiku? Aku baru datang, brengsek."
"Calm down, bro."
"Eng—Renjun hyung cukup baik untuk ini."
"Ibuku meninggal karena asma, tidak mungkin aku membiarkannya."
Mereka terhenyak, mendengarkan betapa santainya Renjun mengatakan hal tadi. Oh baiklah, sepertinya hal ini cukup sensitif bagi mereka.
"Lee Haechan belum datang?" Sergah Jeno membuat mereka menoleh, mencari keberadaan si anak baru tersebut.
"Sepertinya dia masih di studio." Kata Jisung. "Tadi aku melihatnya masuk sebelum noona, berarti sekarang—"
Dang.
Something goes wrong here, fellas.
"Kau bersama dengan dia, Grace? Apa dia melakukan sesuatu terhadapmu?"
"Apa dia memukulmu?"
"Pemuda bodoh, kau tak lihat dia sedang kesulitan? Diamlah."
"Jangan paksa dia menjawab."
Secara bertepatan pintu kelas kembali terbuka, membuat mereka menoleh dan menemukan Lee Haechan yang masuk dengan wajah innocent itu. Mereka tak ingin menanyakan apa-apa pada Haechan meski curiga, yang berujung hanya terdiam hingga Haechan mendekat dan bertanya, "ada apa?"
Grace menghindari tatapan matanya yang secara langsung disadari oleh Renjun. Tak ada yang keluar dari mulut Grace. Hanya diam tidak berkutik, tidak menyalahkan siapa-siapa.
Ketujuh lelaki ini mengelilingi Grace, dengan tatapan yang berbeda, serta isi pikiran yang berbeda.
Salah satu dari mereka—selain Haechan—mengukir senyum sumringah.
Jadi, siapa si pendusta yang ada di antara mereka?
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CLASS OF EVIL ✓
FanfictionDirimu tidak pernah tahu apa sebenarnya yang telah-sedang-dan-akan terjadi di dalam kelas mengerikan ini. 2021.