Tangis pecah mengiringi tempat persemayaman terakhir seorang pemuda bernama Park Jisung. Tak begitu banyak yang menghadirinya, mengingat ini adalah hari kesekian setelah peristiwa gerhana yang menimbulkan korban jiwa termasuk pemuda dengan senyuman lugunya ini. Bukan sanak keluarga, namun para teman sekelas Saviornya-lah yang menjadi sangat terpukul di antara para tamu lainnya.
Terutama seorang gadis dengan wajahnya yang masih berair, beserta seorang lelaki dengan marga Zhong-nya menangis tersedu mengasihi segala takdir dengan semua rasa bersalahnya.
Memang benar, kehilangan adalah cara utama agar orang bisa menghargai.
Kenapa ia harus pergi karena berkorban, kenapa ia harus berakhir dengan menjadi korban?
Menyaksikan hal itu, Osaki Eun atau yang lebih umum dikenal dengan sebutan Grace sudah tak kokoh dengan semua tangisan, menemukan kenyataan dan kehilangan yang akan terjadi selama-lamanya.
Rumah duka yang bersebelah langsung dengan Gedung megah Le Reve membuat gadis Osaki ini bangkit, diam-diam keluar dari gedung tersebut guna melangkah menuju gedung sebelah.
Satu tangannya menggenggam setangkai bunga anyelir bersama langkahnya yang terseret, mengundang perhatian beberapa orang yang sempat melihat keadaan memprihatinkannya. Renjun, Jeno, Mark serta Jaemin yang menyadari kepergiannya ikut melangkah tanpa niatan untuk menghentikan. Hingga tak berapa lama mereka pun tiba tepat di belakang gedung tersebut, menatap hamparan tanah yang masih cukup berpasir.
Grace berjalan menghampiri sebuah pohon, lantas berjongkok lalu menggali dengan tangan kosong. Huang Renjun lekas membantu meski tak paham dengan tujuan utamanya. Jeno yang ingin menegur segera dihentikan oleh Mark, memintanya untuk menunggu sedikit lagi. Tak lama berselang, Grace mengeluarkan sebuah memori DVR atau blackbox car yang sebelumnya disembunyikan dan merupakan kepinyaan Park Jisung.
Ia menguburnya, mengubur sedalam mungkin objek yang semestinya menjadi saksi atas sebuah pertanggung jawaban. Namun sudah tak ada harapan lagi, sang anak pun telah menyusul sang ibu.
Grace kembali menarik tanah untuk menutupnya, membuat pemuda-pemuda yang berada di sekitarnya bingung dengan perasaan masing-masing. Setelah tanah benar-benar rata, Renjun membantu Grace bangkit kemudian mengamati tanah lagi dan lagi. Mereka seperti mengenang segalanya bahkan saat kesan itu tak begitu baik.
"Aku akan pergi ke kelas." Kata Jaemin secara mendadak mengakibatkan teman-temannya menoleh. "Aku perlu mengenang saat-saat membahagiakan itu."
It's sad but it's true.
Pernyataan lelaki Abraham ini tak bisa disalahkan karena bisa saja ia benar-benar ingin kembali pada kebahagiaan itu. Tubuhnya berbalik dan melangkah masuk ke dalam gedung membuat mereka yang lain masih sama, saling mengikuti. Chenle pun ikut hadir dengan raut menyedihkan itu di depan gedung.
Tanpa sepatah dua kata, Grace mengulurkan tangannya agar Chenle bisa yakin dengan ini. Mereka perlu kenangan menyenangkan yang kini tinggal 'kenangan'. Melihat hal itu Chenle menyambut tangan Grace dengan baik, berjalan bersama memasuki gedung penuh tekanan dan trauma. Sebenarnya tempat ini baru saja disterilkan usai kejadian mengerikan tempo hari. Terasa masih kosong, hanya ada beberapa petugas yang berjaga dan memeriksa kondisi. Beberapa percikan darah masih belum bersih, mengingat betapa luas dan besarnya gedung ini pasti memerlukan beberapa waktu lagi agar benar-benar menghapus sisa-sisa gerhana.
Beberapa menit berselang, para manusia dengan pakaian serba hitamnya ini tiba di lantai 15, tempat dimana mereka mulai menyadari kegelapan pada saat itu. Jeno menjadi orang pertama yang keluar dari dalam lift, disusul yang lainnya yang kemudian berjalan menuju studio.
Berantakan, sangat berantakan.
Menanggalkan bekas perjuangan mereka melawan mentor, monster vampir pertama yang membawa segenap ancaman. Jendela yang pecah akibat serangan kelelawar, tak lupa banyaknya lembaran foto hasil kemenangan mereka yang masih menempel di dinding studio.
Bibir Grace bergetar, menemui selembar gambar dirinya bersama Jisung.
"Jadi kau benar-benar pergi huh?"
Trauma, keterpurukan, itu tak kunjung hilang. Sudah beberapa waktu berlalu namun rasanya masih ada.
Foto yang menunjukkan kebahagiaan mereka, tawaan Lee Haechan dengan gitar klasik miliknya, senyuman Jisung yang lain, semuanya begitu mencekik batin!
Tak.
Jaemin Abraham meletakkan thropy hasil kompetisi yang sempat diambilnya dari lemari kelas. Ditaruhnya di tengah-tengah meja dan berdampingan dengan foto-foto usai kompetisi. Grace menambahkan setangkai anyelir yang dibawanya sedari tadi, menambah kesan kehilangan dari semua yang tersisa disini. Mark ikut menyimpan ID card milik Jisung dan Haechan, menjadi orang yang merasakan hal yang sama dengan Chenle.
Tak ada yang menyangka jika persaingan meraih posisi dalam akademi bergengsi itu akan berujung kehilangan. Beberapa usaha terasa sia-sia karena ketiadaan yang tak diharapkan.
"Tenang disana, sahabat kami." Ujar Mark Lee mewakili semua anggota. "Senyumanmu akan selalu bersama kami. Perjuangan, pengorbanan dan deritamu akan menjadi bagian dari hidup kami. Maafkan kami. Beristirahatlah dalam ketenangan tanpa akhir."
Grace menunduk, bersama dengan jemari Huang Renjun yang meraih pergelangannya. Mereka berkabung dalam duka, merelakan kepergian tragis kedua rekannya.
How are you holding up in these rough and trying times?
Pergerakan Jaemin yang sedikit lambat menarik perhatian Grace. Tangannya meletakkan foto Grace di tengah-tengah kenangan mereka, cukup untuk menimbulkan tanda tanya di kepalanya.
"Ada apa?" Tanya Grace.
Jaemin tersenyum. "Tidak, hanya—" ia terdengar mengambil jeda sejenak. "Hanya karena kau satu-satunya."
Mulanya Grace paham dengan maksud itu, membuatnya kembali menunduk dalam diam.
Namun tiba-tiba dirinya menyadari sesuatu.
"Selamat datang di kelas ini, aku harap kau bisa berbaur dengan baik bersama kami. Karena kau satu-satunya."
Kata lelaki misterius yang menghampirinya di hari pertamanya menjadi murid kelas Savior, bersama dengan buku catatan berkalimat tak biasa dan seperti peringatan.
Jantung Grace berdegup tak menentu, kembali dihadapkan pertanyaan yang cukup enggan ia lontarkan. Di tengah-tengah para lelaki itu, matanya beralih untuk kembali menatap Jaemin, yang juga secara tak sengaja menatapnya dan menyunggingkan senyuman kecil.
Jadi, kau menyadarinya?
All my friends are heathens, take it slow.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CLASS OF EVIL ✓
FanfictionDirimu tidak pernah tahu apa sebenarnya yang telah-sedang-dan-akan terjadi di dalam kelas mengerikan ini. 2021.