✒Friendzone

246 28 1
                                    

“Bodoh!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Bodoh!”

Laki-laki itu meringis. Menyesal rasanya berlari dengan penuh semangat ke bangunan coklat di seberang rumahnya, jika hardikan seperti ini yang ia dapatkan. 

“Harga diri lo kemana, Waranggana?!” 

Waranggana Aksa atau biasa disapa Angga itu berusaha menguatkan kedua telinga mendengar jerit kemarahan dari tetangga tercintanya.

Angga menatap wajah perempuan yang tengah diselimuti emosi itu, “Kelana, coba pikirin posisi gue dulu! Kalau gue nolak, harga diri gue lebih dipertanyakan!” pria itu ikut terbawa emosi. 

Tetangga tercinta yang Angga maksud adalah Kelana, lengkapnya Kelana Widuri. Ana -begitu sapaannya- dianggap sebagai hasil dari perjalanan mencari batu permata yang indah oleh kedua orangtuanya. Ana semahal dan seberharga itu bagi mereka. 

“Sinting!” Ana mengumpat, “Jadi lo bawain sampah-sampah tu cewek?” 

“Baju, An. Bukan sampah.”

“Bodo amat!” 

Ana menghembuskan napasnya kesal, berusaha meredam semburan amarah dari dalam dirinya, “Dia pulang sama Hardian, dan lo yang bawain barang-barang dia?” tanyanya memastikan. 

Anggukan dari Angga membuat bahu Ana menurun lemas. Ia tak pernah tahu, jika Angga bisa sebodoh ini saat mencintai seseorang. Beraninya perempuan itu memperlakukan Angga dengan tidak berharganya. Jika memang perempuan itu tak menyimpan rasa apapun, tolong jangan memberi temannya harapan. 

Waranggana Aksa tak pantas diperlakukan demikian. Dimanfaatkan perasaannya, dijadikan pesuruh hanya karena cinta, dan tak terselip kata terima kasih atau apresiasi kecil atas usaha sahabatnya itu. 

“Mungkin Sinta nggak mau pulang sama gue karena gue bawa motor. Jadinya dia ikut Hardian biar gak kepanasan,” 

Penjelasan Angga membuat darah Ana mendidih lagi, “Harusnya dia bawa sendiri barangnya kalau dia naik mobil!” 

Ana mendekat ke arah Angga yang duduk di ujung ranjangnya, “Dia cuma mau buat lo keliatan bego! Dia cuma mau buat lo sakit hati! Dia cuma mau nunjukin ke orang-orang, kalau Angga yang sempurna ini...” Jari telunjuk Ana menunjuk wajah Angga, “... Bisa bertekuk lutut sama dia!”

Kepala laki-laki itu tertunduk, “Gue cinta dia, An,” ucapnya lirih dengan sirat sendu.

“Logika lo kemana sih?” tanya Ana dengan nada putus asa sambil mendudukkan diri di samping laki-laki itu. 

Selang beberapa menit, isak tangis dari Ana terdengar. Angga panik, Ana bukan tipe orang yang mudah menangis. Perempuan itu terlampau keras dalam mengendalikan perasaan sedih yang ia miliki.

“Besok gue mau labrak si Sinta! Lo nggak boleh larang!” ucap Ana disela isak tangisnya dan dibalas Angga dengan anggukan. 

Rengkuhan Angga berikan kepada Ana, ia mendekap perempuan itu erat. Perasaannya menghangat, Ana ternyata mampu memahami emosi yang ia miliki dengan sedemikian dalamnya. 

Makin lama tangis itu terasa semakin menyendu. “Ana, kok lo sedih banget? 'kan gue yang dibabuin,” ujar Angga merasa bersalah.

Perempuan itu tak menjawab, suara tangisnya kian menyayat hati. Tak ada yang tahu bahwa Ana sedang kebingungan.

Ia bimbang.

Kelana tak tahu harus iba dengan siapa, dengan Angga atau dengan dirinya sendiri. Ia juga tak tahu, alasan apa yang mendominasi tiap bulir bening yang jatuh dari pelupuk matanya.

Ana terjebak dan tak berdaya oleh perasaannya sendiri. Dia tersesat hingga tak tahu harus menangisi kisah Angga atau menangisi nasibnya yang mencintai seorang pria, namun pria itu mencintai perempuan lain.

Ana dan Angga ada di siklus sakit yang sama. Cinta mereka sama-sama bertepuk sebelas tangan.

Angga yang mencintai Sinta, dan Ana yang mencintai Angga dalam setiap diamnya.

••••••••••••••••••

From Love To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang