3. Stalking

8 2 0
                                    

Pagi ini aku bangun tidur pukul 06.15 padahal biasanya bangun pukul 6.30, apalagi semalam aku tidur larut.

Aku menguap lalu menggeliat, merasa enggan bangun dari kasur. Sebab begitulah aku, terlalu malas untuk bangun dan meninggalkan kasur hanya karena aku harus sekolah.

Dengan ogah-ogahan, aku beranjak bangun, mencepol rambutku asal. Baru kusadari sedari tadi Mauren tidak membangunkanku, padahal biasanya dia yang selalu membangunkanku setiap pukul 05.10. Terlalu pagi memang, tapi katanya biar siap-siap lebih awal dan bisa bersantai sebelum berangkat.

Saat aku membuka pintu kamarku, kamar Mauren yang berhadapan dengan kamarku pintunya masih tertutup rapat. Apa Mauren masih tidur?

Kulangkahkan kaki menuju pintu bercat pink muda itu, lalu menekan gagang pintu ke bawah dan mendorongnya. Terbuka, pintunya tidak dikunci, Mauren jarang mengunci pintu.

Dan lihat, gadis berpiyama hitam yang sangat kontras dengan kulit bersihnya itu masih memejamkan mata dengan posisi tubuh terduduk di kursi belajar, kepalanya menyamping, tertutupi oleh beberapa helaian rambutmya. Buku-buku terbuka dan bolpoin masih berada di dalam genggaman tangan Mauren. Apa Mauren tertidur ketika mengerjakan tugas tadi malam sepulang dari kamarku?

Gadis itu terlalu rajin.

Tanganku hinggap di pundaknya guna membangunkan karena arah jarum jam sekarang menunjukkan pukul 06.20, tapi niatku terhenti ketika ide cemerlang melintas di pikiran.

Mauren belum pernah absen sekolah, dia selalu rajin sekolah meski badannya agak tidak enak, atau bahkan sakit sekalipun— meski kadang berakhir di UKS. Dan hari ini papa berencana pulang, aku ingin tahu bagaimana reaksi papa saat melihat anak kesayangannya bangun siang dan bolos sekolah.

Aku ingin tahu bagaimana di sekolah Mauren alpha, murid yang mendapat peringkat pararel ketiga akhirnya bisa tidak masuk kelas juga setelah selalu dibangga-banggakan oleh guru dan keluarga di rumah.

Ponsel gadis itu menyala, ada pesan. Dari lockscreennya terbaca pesan dari mama.

Mama udah di bandara. Maaf, Mama gak sempet bangunin kamu karena buru-buru. Oya, jangan lupa bangunin adikmu.

Aku tersenyum senang. Ternyata mama sudah di bandara menjemput papa. Dan Mauren belum bangun. Aku berjalan mengendap-endap dan keluar dari kamar Mauren seusai menutup pintu kamarnya kembali. Lalu aku bersiap-siap untuk ke sekolah tanpa sarapan, karena aku memang jarang mengisi perut di jam-jam seperti ini.

Awalnya ingin aku masakan Mauren nasi goreng buat sarapan, atau menyiapkan roti isi cokelat lantaran gadis itu suka pingsan kalau tidak mengisi perutnya di pagi hari. Tapi sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi. Aku akan terlambat jika menyiapkan itu semua.

Taxi yang kupesan sudah berada di depan gerbang rumah, dengan perasaan senang aku masuk ke dalam dan menatap balkon kamar Mauren ketika mobil yang kutumpangi sudah mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah.

******

"Emang lo gak tau kenapa kak Mauren bisa gak masuk sekolah?" Maya bertanya ketika teman Mauren baru saja pergi dengan gondok setelah berpapasan di koridor dan menanyakan kepadaku kenapa Mauren absen tanpa ada surat, dan aku hanya membalasnya dengan gelengan kepala yang artinya tidak tahu.

"Tau lah."

Satu alis Maya naik. "Terus, kenapa lo bilang—"

Aku menghela napas, lantas menceritakan semuanya dengan rinci kejadian tadi pagi kepada Maya.

"Lo gak kasian sama kakak lo?" Aku memutar bola mata malas, Maya bertanya seakan-akan aku ini jahat melakukan itu.

Memang ada sedikit rasa iba, tapi hanya dengan cara ini aku bisa membalasnya. Membalas rasa iriku kepada Mauren karena murid-murid di sekolah juga guru-guru selalu membandingkan-bandingkan aku dan Mauren yang jelas-jelas berbeda dalam hal apapun. Termasuk sikap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ArrebatarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang