Bab 1

22 10 5
                                    

“Tiga pelaku perundungan pada siswa berinisial AN telah ditetapkan sebagai tersangka. Pihak kepolisian ….”

Aku berdecak. Pagi ini, kasus perundungan atau yang biasa dikenal bullying kembali menjadi kabar yang pertama kali kulihat di televisi. Kadang aku bingung, apa sebenarnya yang didapatkan dari melakukan hal itu? Bukannya malah akan membuat masa depan suram? Bisa saja mereka dilaporkan pada pihak yang berwenang, dipenjara atau bahkan didenda.

Aku makin terkejut saat di televisi memutar video amatir yang sengaja direkam salah satu teman pelaku. Mereka memukul, bahkan menendang si korban bully itu. Mulutku menganga, tak menyangka mereka berani melakukan hal keji seperti itu, bahkan sambil tertawa kesenangan.

“Mereka pasti udah gila. Otaknya disimpan di mana, sih? Terus juga kenapa yang dibully diam aja?!” Aku berucap gemas.

“Dia takut sama mereka.”
Tiba-tiba sebuah suara menyahuti ucapanku tadi. Kulihat ke belakang tubuhku, Kak Ahmad–orang yang tadi bicara–sedang berjalan menghampiriku, kemudian duduk di sampingku dengan tenang. Tangannya mencomot sepotong roti yang tersaji di piring, lantas menggulung dan memakannya dalam satu suapan. Aku menatapnya sambil melongo. Heran dengan kelakuan anak sulung keluarga ini.

“Kenapa harus takut? Kan, kita membela diri. Terus juga otak si pembully itu sebenarnya disimpan di mana, sih? Nggak mikir apa bakal jadi masalah?” timpalku setelah sadar dari rasa heran.

“Lu nggak bakal paham juga kalau dijelasin.”

“Jelasin gimana?” tanyaku, penasaran.

Kak Ahmad menghela napasnya. Dia menatapku dan berkata, “Perasaan orang yang dibully dan yang ngebully.”

Aku mengernyitkan kening. Otakku sedang berusaha mencerna kalimat yang terucap dari bibir tipisnya itu.
“Kenapa harus mikirin perasaan orang yang ngebully juga? Mereka, kan, jahat.”
“Nggak selamanya orang jahat itu bener-bener jahat. Ada alasan yang bikin dia berubah. Kayak lu misalnya. Udah bagus jadi anak cewek yang pendiem, malah jadi kembaran radio,” ejeknya.

Aku yang tidak terima disebut kembaran radio mendelik sinis. Kak Ahmad malah tertawa saat melihatku. Dasar kakak yang tidak berperikeadikan. Lihat saja nanti kalau aku jadi pendiam. Dia pasti akan uring-uringan.

Setelah sarapan yang hanya roti habis, aku bangkit dari sofa dan menyimpan piring bekasnya ke tempat cuci piring. Kurapikan baju juga rok yang sedikit berantakan. Aku kembali lagi ke ruang televisi untuk menghampiri Kak Ahmad sekaligus mengambil tasku.

“Aku berangkat sekolah dulu,” pamitku sambil menyodorkan tangan.

Namun, Kak Ahmad sepertinya salah mengira. Aku sedang meminta uang, tetapi dia malah menjabat tanganku layaknya orang yang setuju bekerja sama. Ekspresiku berubah datar. Sekali lagi, Kak Ahmad malah cengengesan.

“Aku minta ongkos, bukan jabat tangan,” dengkusku.

“Minta sama Mama sana. Masih punya orang tua, kok, minta ke Kakak.”

“Mamah udah pergi kerja. Ih, cepetan minta uang.”

Sekarang giliran Kak Ahmad yang mendengkus. Dia merogoh saku celananya dan melemparkan uang itu ke wajahku tanpa melihat nominal yang tertera. Dia lalu kabur sambil tertawa terbahak-bahak. Aku mengelus-elus dadaku, berusaha untuk sabar menghadapi tingkah kekanakannya itu.

Umurku dan Kak Ahmad tidak terpaut jauh, hanya berbeda tiga tahun. Saat ini dia masih menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta dekat rumah. Jika aku sekarang tujuh belas tahun, berarti Kak Ahmad sudah dua puluh tahun. Sudahlah. Aku tak perlu memikirkan Kak Ahmad. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 06.45, aku tak boleh kesiangan datang ke sekolah.
Aku keluar rumah dengan terburu-buru. Pukul segini, angkot yang lewat ke rumahku hanya sedikit. Itu pun harus menunggu beberapa menit. Beruntung, saat aku keluar dari rumah, angkot sudah terlihat melaju datang padaku. Aku berlari ke pinggir jalan dan melambaikan tangan kanan sambil berkata, “Mang, stop!”

Jangan heran dengan kelakuanku, ini adalah didikan dari Kak Ahmad. Sebenarnya aku bisa meminta Kak Ahmad untuk mengantarku, tetapi pasti akan lama. Dia harus selalu berpenampilan rapi jika keluar rumah. Berbeda sekali denganku yang tidak terlalu peduli pada hal itu.
Angkot sudah berhenti di depanku, aku langsung membuka pintu depan mobil itu dan duduk di sebelah sopir. Aku tak pernah suka duduk di bagian belakang, sumpek. Apalagi jika ditambah asap rokok dan bau badan. Rasanya lebih baik terlambat daripada masuk ke sana.

“Dek! Uangnya jangan yang itu, balikkin lagi sini!”

Kak Ahmad berteriak dari pintu rumah sambil mengatur napasnya yang tidak beraturan. Kemungkinan besar dia berlari dari kamarnya saat sadar telah memberiku uang berwarna merah.

“Nggak bisa. Yang sudah diberi, haram dibalikin,” balasku, lalu menjulurkan lidah.
Buru-buru aku meminta sopir untuk melajukan angkot, biarlah Kak Ahmad meratapi  nasibnya. Angkot pun berjalan pergi meninggalkan Kak Ahmad yang misuh-misuh sendiri. Aku tersenyum bahagia dan duduk dengan nyaman. Menikmati keindahan pemandangan di jalan yang tersaji, sesekali mengobrol dengan sopir angkot di sampingku.

Meaningful RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang