“Akhirnya beres juga.”
Aku berucap kegirangan. Semua bungkusan makanan sudah masuk ke keresek dan siap diantarkan. Walau lelah, kami pun berbagi tugas mengantarkan ke rumah tetangga di sekitar. Awalnya aku menyarankan pada Ibu untuk mengundang saja mereka ke rumah daripada harus mengunjungi satu per satu.
“Sesekali kita yang ngunjungin rumah mereka. Ayah dan Ibu jarang bercengkrama sama tetangga karena sibuk kerja, sedangkan kamu sama Ahmad jarang keluar buat ngobrol sama tetangga.”
Aku hanya menganggukkan kepala saja saat mendengarnya. Mungkin Ibu benar, kami jarang sekali menyapa tetangga. Faktor teknologi yang saat ini sedang berkembang adalah penyebabnya. Dengan tetangga pun, aku lebih suka menelepon atau mengirim pesan jika membutuhkan sesuatu. Tentunya pada anak-anak mereka, bukan pada orang tuanya.
Pukul 10.00 semua makanan sudah diantarkan. Kami pun rebahan di ruang televisi dengan ditemani sinetron tentang rumah tangga yang rusak karena datangnya orang ketiga. Tontonan kesukaan ibu-ibu zaman sekarang. Namun, bagi kami tidak berlaku demikian, karena yang suka menonton itu adalah Kak Ahmad. Ya, Kak Ahmad, kakak satu-satunya yang kumiliki. Katanya supaya dapat inspirasi untuk tugas-tugasnya yang selalu datang. Padahal tidak ada hubungannya antara sinetron dengan jurusan yang dipilihnya, Jurusan Teknik Mesin. Ada-ada saja tingkah laku anehnya.
Saat sedang khusyuk melihat istri pertama yang difitnah, Ayah tiba-tiba berucap. Ucapan yang membuat kami semua terdiam untuk beberapa saat. Aku meminta Ayah mengulangi ucapannya tadi.
“Minggu depan, kita bakalan pindah ke tempat Ayah dipindahtugaskan.”
Aku mengorek telinga, untuk memastikan bahwa yang keluar dari mulut Ayah bukan salah pendengaran. Tunggu … kami mau pindah? Bagaimana dengan sekolahku? Rumah yang penuh kenangan ini akan diapakan? Banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan, tetapi rasa kaget masih menguasai pikiran.
“Pindah ke mana, Yah?”
Kesadaranku kembali saat mendengar pertanyaan Kak Ahmad. Aku memandang Ayah dengan sorot ingin tahu.
“Jakarta. Kita bakalan pindah ke Jakarta, ibu kota negara kita,” jawab Ayah sambil tersenyum gembira.
Jakarta? Ibu Kota Indonesia yang padat penduduk itu? Apa aku bisa betah di sana? Apa kehidupan di sana sama seperti di sini? Otakku mulai berkelana, mengingat hal-hal yang berhubungan dengan kota Jakarta. Tak banyak yang muncul, hanya gemerlap lampu-lampu malam yang menghiasi gelapnya nuansa malam.
Entahlah, ada rasa takenak yang muncul dalam hati saat kata Jakarta terpikirkan. Aku merasa akan ada kejadian yang membuatku tak akan pernah bisa melupakannya. Aku tak mau terlibat dalam masalah, sepertinya di sini lebih aman.
“Yah, aku di sini aja, ya. Nggak mau pindah,” rengekku sambil menatap Ayah penuh harap.
Ayah menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa dia tak setuju. Ibu sepertinya sudah tahu akan hal ini. Buktinya dia hanya diam saja tanpa banyak komentar seperti biasanya. Pikiranku langsung menghubungkan syukuran yang tadi Ibu katakan dan ucapan Ayah tentang kepindahan. Ah, sepertinya ini syukuran atas kepindahan kami, bukan karena Ayah diberi jabatan baru.
“Nggak bisa, Sayang. Rumah ini nanti mau dijual. Kamu mau tinggal di mana nanti coba,” jawab Ayah yang diikuti anggukan Kak Ahmad dan Ibu.
Aku tak mungkin bilang kalau punya firasat buruk tentang kota Jakarta. Selain itu, aku juga susah untuk beradaptasi di lingkungan baru. Akan butuh waktu lama untuk melakukannya. Padahal di sini aku sudah mempunyai banyak teman dan sahabat. Jika aku pergi, aku akan sendirian lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meaningful Revenge
Teen Fiction"Balas dendam yang paling bermakna adalah dengan memaafkannya." Ariana, itulah namaku, tanpa ada embel-embel Grande di belakangnya. Hidupku yang semula tenang berubah menjadi penuh ancaman. Kepindahan sekolahku ke Jakarta ternyata tak seindah rumah...