Bab 3

7 6 0
                                    

Bel tanda istirahat baru saja berbunyi. Pak Doni menyudahi pelajaran dengan tugas sebagai tambahan. Kami kompak berseru kecewa dan sedikit ribut. Beliau lalu memukul papan tulis dengan tangannya supaya kami diam. Seketika kelas langsung hening.

“Kalian ini harus diberi latihan supaya paham. Tanpa ditanya pun Bapak tau kalian pasti belum paham. Kalau latihan gini, Bapak yakin kalian pasti bakal berusaha memahami materi yang udah Bapak kasih. Bapak gini juga karena sayang sama kalian, Bapak nggak mau kalian jadi orang yang bodoh dan dihina orang,” tuturnya dengan nada yang sedikit tinggi.

Aku tak tahu apa yang dirasakan oleh teman-temanku yang lainnya dan tak ingin tahu. Namun, Aku dapat merasakan ketulusan dalam setiap ucapan Pak Dodi, walaupun beliau berkata dengan nada yang sedikit tinggi.

“Ya sudah, kalian kerjakan tugasnya. Pertemuan selanjutnya kita bahas sama-sama. Assalamu’alaikum,” pamit Pak Dodi, kemudian meninggalkan kelasku.
Kelas yang semula sepi, ramai kembali. Ada yang pindah ke pojokan dan menggelar tikar di sana, ada yang langsung mengerjakan tugas yang tadi diberikan, ada pula yang sudah pergi entah ke mana. Kemungkinan paling besar mereka akan pergi mencari makanan.

Aku mengajak Rani pergi ke kantin untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Sepertinya sarapan roti tadi pagi tidak cukup untuk membuatku kenyang. Kalau saja Ibu tidak buru-buru pergi, aku pasti masih bisa sarapan nasi seperti biasa.

“Eh, udah liat berita yang tentang kasus bully itu belum?” tanyaku pada Rani.

Aku dan Rani sering membahas hal-hal yang sedang menjadi topik pembicaraan yang hangat di media. Kali ini kasus bullying yang aku tonton tadi pagi sepertinya akan menjadi tokoh utama.

“Udah. Nggak nyangka aja gue, ya. Mereka itu pengen jadi artis jalur hujatan kayaknya. Bangga banget bisa ngebully orang,” cerocosnya.

“Nah, iya, apalagi mereka sengaja videoin gitu. Buat apa coba? Kenang-kenangan?”

“Buat jatuhin diri sendirilah. Buktinya sekarang mereka ketangkep sama polisi.”

“Bener juga, sih. Eh, buruan! Nanti kantinnya keburu penuh.”

Aku sedikit mempercepat langkah, sedangkan Rani masih santai-santai saja berjalan di belakangku. Cacing di perutku sepertinya sedang berdemo. Suara perut keroncongan terdengar sedikit nyaring. Untungnya di sekitarku tidak ada orang. Efek pelajaran tadi sungguh menguras otak dan tenaga. Siapa lagi kalau bukan matematika, si pembuat onar pikiran dengan segala urusan yang harus jelas jalan ceritanya. Mengapa bisa seperti itu? Rumusnya bagaimana? X sama Y berapa? Dan, berjuta pertanyaan yang membuatku ingin mengganti isi kepala. Beruntung Pak Dodi tidak terlalu galak, beliau masih bisa kami ajak bercanda saat belajar.

Jarak antara kantin dan kelasku cukup jauh, walau tidak sejauh Kutub Utara dan Kutub Selatan. Kantin sekolah ini berada di dekat lapangan utama, lapangan tempat segala kegiatan dilaksanakan. Dari mulai upacara, olahraga, bahkan lomba.

“Ck, ayo buruan, Rin!”

“Sabar napa. Buru-buru amat, sih!”

Sepertinya dia tak tahu perutku sudah berbunyi tadi. Bisa saja aku pergi sendiri dan tak menunggunya, tetapi saat lewat koridor pinggir lapangan terlalu banyak orang. Aku tak berani lewat sendirian, banyak siswa yang suka nongkrong di sana. Aku lebih memilih menahan lapar daripada harus lewat lapangan sendirian.

“Eh, lu ada video lengkapnya, nggak?” tanya Rina saat langkahnya sudah sejajar denganku.

“Yang bully itu? Nggak. Gue Cuma liat di TV aja tadi pagi.”

“Pasti diblur, kan?”

Aku mengangguk. Mana mungkin video seperti itu tidak diburamkan, apalagi ada adegan kekerasan di dalamnya.

“Gue ada yang versi bagusnya. Mau liat, nggak?” tawarnya sambil menggoyangkan ponsel di depan wajahku.

Tentu saja aku tidak menolak. Aku selalu malas harus mencari sendiri video seperti itu. Beruntungnya Rani selalu peka dan selalu menyediakan bukti tentang apa saja yang kami bicarakan.

“Nanti abis makan gue mau liat, ya.”
“Oke.”

Meaningful RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang