"Dek, bangun. Udah sampai, nih.” Suara Ibu dan guncangannya di badanku membuat mataku perlahan terbuka.
Aku keluar dari mobil dengan sempoyongan. Mataku langsung disapa dengan pemandangan sebuah rumah bertingkat dua bercat kuning. Mulutku menganga, kagum dengan rumah mewah di hadapanku ini.
“Bu, ini rumah kita?” tanyaku, takpercaya.
Ucapanku dibalas anggukan Ibu. Pantas saja Ibu bersemangat untuk pindah. Sepertinya rumah ini adalah penyebabnya. Aku langsung berjalan memasuki pintu rumah yang sudah terbuka lebar, karena para tukang yang sedang mengangkut barang-barang dari rumah kami yang dulu. Mulutku tak henti-hentinya berdecak melihat arsitektur rumah yang mewah ini. Aku baru sadar ternyata keluargaku sekaya ini. Padahal saat di rumah yang lama, aku selalu membersihkan rumah sendirian. Jika tahu sekaya ini, aku pasti mempekerjakan pembantu saja.
“Biasa aja kali liatnya, Dek. Kaya orang yang nggak pernah liat rumah mewah,” ejek Kak Ahmad.
Aku tak terlalu memedulikan ucapannya dan lanjut berkeliling, melihat-lihat isi dari rumah yang akan kutempati hingga nanti. Sepertinya firasatku melenceng. Buktinya rumah ini lebih bagus dibandingkan rumah yang dulu.
Rumahku ini berada di sebuah kompleks perumahan yang cukup terkenal, kata orang-orang yang tak sengaja kudengar. Namun, aku hanya memikirkan kamar yang akan kupakai tidur.“Bu, kamarku di lantai dua, kan?” ucapku, sedikit berharap.
Ibu menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ruangan yang berada di dekat pintu. Aku menghampiri ruangan itu dan membuka pintunya. Ruangan itu menghadap langsung ke taman di samping rumah.
“Bu, aku pengen di lantai dua,” rengekku sambil memegang tangan Ibu.
“Lah, bukannya kamu suka liat yang hijau-hijau gitu?”
Aku menepuk kening. Bagaimana bisa Ibu tak tahu kesukaan anaknya sendiri?
“Oh, salah, ya?” ringisnya.
Aku menampilkan ekspresi datar. Ibu mungkin lupa karena sibuk mengurus pekerjaannya. Ibu meminta maaf dan memperbolehkanku untuk mencari sendiri kamar yang ingin ditempati. Tentu saja aku langsung bersemangat.
Aku menaiki tangga yang berada tepat di tengah-tengah rumah sejajar dengan pintu. Aku merasa seperti seorang putri di sebuah kerajaan. Supaya lebih berkesan, aku melangkah secara perlahan menapaki anak tangga satu per satu. Ekspresi sombong, tangan yang memegang rok seperti takut terinjak.
“Lagi halu jadi putri, ya?” ejek Kak Ahmad dari atas tangga.
Ternyata dia sudah lebih dulu memilih ruangan di lantai dua. Aku menghentikan aktingku dan berlari ke arah Kak Ahmad dengan cepat, lalu menjitak kepalanya saat dia berbalik.
“Azab bagi orang yang suka mengejek adiknya,” ucapku dengan santai.
“Mulai berani, ya, lo? Sini, biar gue kasih tahu azab yang sebenarnya.”
Kak Ahmad menghampiriku dengan wajahnya yang dibuat menyeramkan. Aku berlari masuk ke ruangan terdekat dan mengunci pintunya dari dalam. Jantungku berdetak dengan cepat karena tiba-tiba berlari. Kak Ahmad mengetuk-ngetuk pintu dari luar dengan keras. Aku tahu dia hanya bercanda saja dan sebentar lagi akan berhenti. Aku melihat ke sekeliling ruangan ini. Belum ada barang-barang yang dimasukkan ke sini, pertanda bahwa ruangan ini belum ada yang menyentuh.
“Dek! Ini kamar Kakak. Cari kamar lalu aja!” teriak Kak Ahmad dari luar.
“Buat aku aja. Di sini banyak kecoa, loh.” Aku berusaha membuat Kak Ahmad memilih kamar lain. Ruangan ini seakan punya magnet yang membuat betah. Kuhampiri jendela kamar yang tertutup gorden tipis.
“Wah, ini baru keren banget,” ucapku kagum.
Coba bayangkan, saat kamu membuka mata lalu disuguhkan pemandangan langit biru dan rumah-rumah berjejer rapi di bawahnya. Indah, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Meaningful Revenge
Teen Fiction"Balas dendam yang paling bermakna adalah dengan memaafkannya." Ariana, itulah namaku, tanpa ada embel-embel Grande di belakangnya. Hidupku yang semula tenang berubah menjadi penuh ancaman. Kepindahan sekolahku ke Jakarta ternyata tak seindah rumah...