Seharusnya rindu itu diawali dengan sebuah pertemuan, dipisahkan dengan jarak, kemudian di akhiri kembali dengan pertemuan yang membahagiakan. Namun, apakah itu berlaku untuk semua orang? Seharusnya begitu, jika tak ada yang namanya perpisahan dan kebohongan.
Sore hari yang begitu indah, mungkin untuk sebagian orang akan menikmati senja di pantai bersama pasangannya masing-masing. Namun, tidak dengan diriku yang terperangkap rindu di sebuah kamar berukuran kecil dan sederhana, duduk termenung di atas ranjang king size. Pandanganku kosong menatap sebuah cincin cantik yang kini bertengger di tangan kananku, dan tersenyum getir mendengar lagu berjudul 'Rinai Hujan' yang berasal dari ponselku. aku teringat kembali akan seorang lelaki sang pemberi cincin ditanganku saat ini. Lelaki yang memberikan banyak kenangan manis dalam hidupku, kenyamanan, cinta, sayang, keegoisan, dan rindu yang disebabkan oleh jarak.
Jarak yang entah mengapa terasa sangat jauh, menyisakan kerinduan yang terasa sesak di dalam dada. Komunikasi yang terputus kini menambah jarak semakin jauh saja, kecurigaan dan rasa takut kehilangan mulai menghantui. Kehangatan yang kini tidak lagi ku rasakan namun begitu ku rindukan.
Namanya Nando, cinta pertamaku dimasa SMA. Nando adalah penyemangat untukku datang ke sekolah pagi-pagi hanya untuk bertemu dengannya. Waktu istirahat dan jam kosong kuhabiskan dengannya, tak jarang pula malam hari ia bertamu dirumahku, sehingga seluruh penghuni sekolah menyebut kami sweet couple dan membuat mereka iri terhadap keharmonisan kami.
Bukan hanya kebahagiaan yang kami rasakan, namun pertengkaran sering terjadi akibat aku yang selalu memulainya. Bagaimana tidak? Aku mengetahui ada pacar Nando selain diriku dan lebih parahnya lagi, statusku adalah pacar kedua. Mungkin bahasa kasarnya adalah 'perebut pacar orang', aku mengetahui itu saat hubungan kami sudah memasuki 6 bulan. Sakit? Yah, itu sakit. Bagaikan tersambar petir di siang bolong, betapa hebatnya dia membohongiku dalam kurun waktu setengah tahun. Mungkin aku yang terlalu bodoh hingga buta pada kenyataan.
***
Sore hari sebelum keberangkatanku untuk kuliah, aku sempatkan bertemu dengannya. Kami menyusuri pantai sambil berbincang ditemani oleh warna jingga terang di sebelah barat, suara ombak dan angin sepoi-sepoi yang menambah indahnya sore itu. Hubungan kami waktu itu sudah putus, dia meminta untuk kembali tapi aku menolaknya. Akhirnya hubungan kami tak jelas arah, Nando menganggapku sebagai pacarnya namun aku menganggapnya hanya teman. Pada akhirnya, aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri jika aku masih mencintainya. Tak ada yang berubah selama kita putus, kami tetap bersama setiap hari di sekolah seperti biasanya sehingga orang lain menganggap kami masih menjalin hubungan.
"Apa kamu akan melepaskanku begitu saja dan lebih memilih Sita?" tanyaku pada Nando yang kini berjalan disampingku dan menggenggam erat tanganku seakan tak mau lepas.
"Maaf Ra, sampai saat ini aku belum bisa memilih. Rasa sayangku pada kalian berdua sama besarnya, aku tidak bisa memilih salah satu dari kalian." Nando menatapku dengan serius.
"Ya udah, aku yang bakalan pergi. Aku sadar kok, aku adalah orang baru yang harus mengalah dalam hubungan ini dan aku memang egois, karena ingin memiliki kamu. Aku akan pergi agar kamu tidak bingung lagi untuk memilih." Aku tersenyum padanya dan menyembunyikan rasa sesak dalam dada.
"Kamu bukan orang baru bagiku, kamu adalah perempuan tersabar yang aku punya. Kamu yang selalu menemani hari-hariku saat terpuruk, menemaniku saat penyakitku kambuh disaat orang lain acuh, aku sayang kamu. Jadi, jangan pernah berpikir untuk pergi atau berhenti." Nando menghentikan langkahnya dan menarikku dalam pelukannya.
"Aku yang salah Ra, bukan kamu. Aku yang egois, ingin memiliki dua orang sekaligus tanpa menyadari hal itu akan menyakitimu. Jadi, berhentilah merasa bersalah." Nando memelukku erat, tangannya mengelus kepalaku. Aku sangat suka dengan perlakuannya yang lembut. Setetes air jatuh di pipiku, aku mendongak dan memastikan apakah di sore hari yang cerah ini hujan akan turun? Sedetik kemudian aku tersenyum, ternyata itu bukan hujan melainkan air mata pria jangkung yang kini memelukku erat.
"aku bingung sama kamu Nando, kadang aku merasa hanya jadi pelampiasan kamu. Saat bersamanya kamu jarang menghubungiku dan tak peduli denganku yang menahan rasa cemburu. Disaat kamu bersamaku, dalam pikiran kamu ada dia. Aku tau kamu punya cewek lain sedangkan cewek itu gak tau kalau kamu punya aku. Aku merasa sangat jahat sama Sita dan kecewa sama kamu." Sore itu aku jujur dengan apa yang aku rasakan.
"Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Nando tiba-tiba setelah mencium keningku lama.
"Mana mau aku nikah sama cowok playboy kaya kamu!" Aku terkekeh geli melihat wajah kesalnya.
"Aku serius Naura." Ia kembali menarikku dalam pelukannya, "Aku juga serius Fernando." Ucapku berlari meninggalkan dirinya.
"Aku yakin kamu tidak akan pernah melupakanku, gadis nakal!" teriaknya yang kini mengejarku.
"Ih, kepedean!" kami saling mengejar dan tertawa bahagia menikmati indahnya sore itu.
***
Ah, sudahlah sepertinya hanya aku yang merindukannya saat ini. Aku teringat perbincangan kami terakhir lewat telfon, ia juga sangat merindukanku. Kami berbincang cukup panjang waktu itu, namun di akhir pembicaraan kami ada kalimat yang begitu menyayat hatiku.
"Ra, aku izin mau nikah." Suara dari seberang sana membuat dadaku sesak seketika. Suara yang begitu aku rindukan saat ini dengan kata yang tak ingin ku dengar.
"Kenapa harus izin ke aku? Itu hak kamu mau menikah sama siapa, bukan urusan aku." Aku berusaha terdengar baik-baik saja.
"Aku boleh nanya sesuatu sama kamu, Ra? Ini pertanyaan terakhir dariku,"
"Boleh, mau nanya apa?"
"Apa kamu mau menerima seorang Duda jadi pendamping hidup kamu?"
"Hahaha ... mana mau aku nikah sama Duda, kaya gak ada cowok lain. Kalau ada Duda yang mau ngelamar bakal aku bilangin, Tunggu Aku Janda Dulu." Aku tertawa geli.
"Serius Ra! Jangan ketawa."
"Maksudnya? Aku gak ngerti, kok nanya gitu? Dan kenapa tadi kamu telfon mama ku buat ngelarang aku pacaran dengan cowok manapun?"
"Aku sakit, Ra! Aku gak mau kehilangan kamu, aku sayang kamu. Aku nyesel."
"Gak usah sesali Nando, mungkin kita memang gak jodoh. Aku tau kamu orang yang bertanggung jawab, nikahi dia secepatnya. Jangan lari dari masalah kamu, aku gak apa-apa selama kamu bahagia."
"Ra, aku akan selalu sayang dan ingat kamu. Aku senang denger kamu tertawa, semoga kamu masih mau berteman denganku."
Ini yang ke sekian kalinya aku menangis untuk lelaki yang sama, semua kebersamaan dengannya hanya bisa aku kenang sendiri. Sampai saat ini belum ada sosok lelaki lain yang menggantikan Nando dihatiku. Sulit rasanya membuka hati untuk orang lain, hal itu hanya akan menyakiti orang lain saja karena aku hanya mencintai Nando.
Aku dan Nando menjadi teman baik, kami mencoba hilangkan rasa satu sama lain dan mengubur dalam-dalam impian kami untuk menciptakan keluarga kecil bahagia hingga akhir hayat yang mungkin akan kami wujudkan dengan pasangan kami masing-masing. Sadar diri, itulah yang kami terapkan saat ini. Kami akan bertemu kembali, tapi bukan sebagai sepasang kekasih yang ingin melepas rindu. Namun, sebagai dua orang teman lama.
Kini aku mencoba bangkit dari ke terpurukan dan menunggu dia yang telah Allah siapkan untukku entah kapan dia akan datang ke rumah, meminta izin pada Ayah untuk menjaga dan merawatku sepenuh hati.
The End
Sri Yuniarti H.D
Banggai Kepulauan, 13 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Kenangan
Short Story⚠️FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA Lapak ini memuat cerpen-cerpen yang pernah aku tulis dan sebagian sudah di bukukan. Terima kasih buat kalian yang bersedia mampir. Happy Reading😊 Sri Yuniarti H.D