"Bersyukurlah karena Tuhan memberikan kenangan, sehingga kita bisa belajar untuk lebih dewasa karenanya."
***Ada banyak kenangan yang dirasakan pada masa lalu, mulai dari sedih hingga bahagia. Untuk kenangan yang menyedihkan, mayoritas orang ingin segera melupakan dan tidak ingin mengingatnya lagi apalagi ingin mengulanginya. Sedangkan kenangan indah ingin terus diingat dan bahkan ingin diulang kembali. Apalagi jika kenangan tersebut dilalui bersama orang-orang terdekat dan tersayang. Opsi kedua adalah yang pas untuk aku saat ini, ingin mengulang kembali masa-masa indah bersama lelaki tua yang memiliki senyum indah tetapi itu tidak mungkin terjadi lagi.
Aku masih tak percaya menatap benda pipih di tangganku yang menyuguhkan pemandangan menyakitkan, air mata terus mengalir menyaksikan pengurusan jenazah lelaki tua yang kini tak berdaya lagi, ia adalah sang kakek yang sangat aku sayangi.
"Udah dek, jangan nangis terus. Ikhlasin kakek, doakan yang terbaik untuknya." Hebri, sepupuku terus menghibur tetapi tidak membuatku berhenti terisak.
Baru kemarin aku melihat kakek tersenyum manis saat video call denganku tetapi sekarang senyum manis itu telah sirna tergantikan oleh wajah pucat pasi yang kaku. Andai saja tempat kuliahku tidak jauh dari kampung, mungkin saat ini aku sudah berada di rumah dan bisa ada disamping kakek saat malaikat maut menjemputnya. Penyesalanku tidak sampai disitu saja, tetapi mengingat ucapan kakek saat aku berangkat untuk melanjutkan kuliah sangat membekas dan terasa sesak.
"Rani pamit ya kek, doakan Rani biar cepat selesai kuliah. Nanti kalau Rani wisuda, kakek Rani ajak ke sana juga," ucapku tersenyum pada kakek yang mengelus kepalaku.
"Nanti kamu masih lama dong pulang kampungnya," ujar kakek yang seakan tidak mau melepasku pergi.
"Rani udah mau selesai kuliahnya kok Pah, tinggal nyusun skripsi paling tahun ini udah bisa wisuda." Mama mencoba menenangkan kakek.
"Masih lama, nanti keburu kakek pergi," ucap kakek lirih dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Aku mengerti dengan ucapan kakek itu, bukannya berburuk sangka tapi kakek sudah tua renta, aku hanya takut belum sempat wisuda nanti kakek telah tiada dan prasangka itu terjadi sekarang. Kakek benar telah pergi meninggalkan dunia ini.
"Rani, udah dulu ya nak telfonnya. Kakek kamu sudah harus di sholatkan, setelah pemakaman baru telfon lagi." Suara papa kembali membuatku tersadar. Aku hanya mengangguk menjawab ucapan papa.
Saat ini berdoa untuk kakek adalah satu-satunya jalan terbaik sambil menunggu kabar dari papa, aku bimbang memilih untuk pulang kampung atau tetap melanjutkan urusanku di kampus yang sangat padat, hatiku tambah sesak saat mendengar kabar dari adikku bahwa mama juga sedang sakit karena kecapean mengurus kakek hingga begadang di malam hari.
Lama termenung, aku mengambil buku dan pulpen untuk menulis apa yang sedang aku rasakan saat ini. Aku memang sedikit alay, apapun yang aku rasakan akan ku tuangkan melalui tulisan. Puisiku telah usai, aku kembali membacanya dengan isakan tangis.
Aku memiliki seorang yang berharga
Lelaki tua yang tangguh
Sang pahlawan ibuku
Aku sangat menyayanginya.Senyumnya tetap indah
Walau tak hadir sederet gigi
Kulit yang telah keriput
Dan rambut memutih.Kali ini aku benci dengan jarak
Aku ingin memeluk tubuh kaku itu
Lagi-lagi kenyataan ini sangat pahit
Aku hanya bisa meratap dengan sebuah ponsel.Senyuman indah itu telah sirna
Wajah berseri itu telah pucat pasi
Lagi-lagi aku kehilangan
Aku ingin pulang.Begitulah isi puisi yang ku tulis, ada penyesalan dalam hatiku karena menolak permintaan mama beberapa hari yang lalu untuk pulang kampung karena kakek sedang sakit. Bukannya tidak mau menuruti permintaan mama tetapi urusan dikampus tidak bisa di tinggal dan aku pikir kakek hanya sakit demam seperti biasa.
Drrttt ... drrtt ... drttt ....
Dering suara ponsel membuat aku tersadar dari lamunanku, itu panggilan dari papa. Sepertinya pulang kampung adalah keputusan yang benar, meskipun tidak bisa melihat kakek lagi tapi aku harus tetap tegar untuk menerima takdir yang Allah berikan untukku saat ini. Aku pun meminta izin pada papa untuk pulang kampung dengan alasan ingin membantu mama yang sedang sakit untuk membuat acara dirumah yang sudah menjadi tradisi dikampung halamanku ketika ada keluarga yang meninggal.
Perjalanan panjang ku lewati tidak seperti biasanya yang senang ketika pulang kampung dan menikmati keindahan alam yang disuguhkan sang pencipta, kali ini benar-benar berbeda, pikiranku kalut, aku hanya banyak diam dan sesekali meneteskan air mata walaupun alunan musik yang disajikan oleh pak supir bukan lagu sedih.
Aku sampai tujuan jam 22:00, langkahku gontai memasuki pekarangan rumah, air mataku tak bisa ku tahan saat melihat orang ramai dan kain putih yang digantung di depan rumahku. Ini pertama kalinya aku menghadapi situasi seperti ini, orang-orang itu seakan menungguku pulang dan memberiku kekuatan untuk ikhlas. Aku pergi dari rumah dengan senyum penuh harap bisa mencapai kelulusanku dengan cepat dan bisa mengajak keluargaku untuk menghadiri acara wisuda termasuk mengajak kakek. Namun, takdir berkata lain. Aku kembali dengan tangis, sebelum waktu yang telah direncanakan dengan kehilangan seorang yang aku sayangi. Manusia hanya bisa berencana tetapi Tuhan yang mengatur segala kehidupan manusia, Tuhan lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya.
Aku mengucapkan salam seperti biasa untuk memasuki rumah dan mencari orang tuaku untuk menjabat tangan mereka, lidah ku kelu untuk bicara, kakiku semakin gemetar ketika mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an dari beberapa orang, tubuhku lemas seperti di hempas dengan susah payah aku mendekati mama yang sedang membaca Al-Qur'an sambil menangis, aku mencium pipi mama dan memeluknya erat untuk memberi kekuatan yang sebenarnya aku juga membutuhkannya.
Setelah sedikit tenang, mama mulai bercerita tentang ia yang kesusahan mengurus kakek saat sakit di hari-hari terakhirnya sampai kakek yang telah dijemput ajalnya. Aku bergeming mendengar cerita mama yang semakin membuat dadaku sesak, aku tak bisa berkata apapun, mulutku seakan terkunci, aku pun hanya bisa memeluk tubuh mama yang masih lemah.
Esok harinya aku berziarah ditemani papa dan om, aku memasuki area perkuburan dengan perasaan tak karuan. Aku ingin bertemu kakek bukan di tempat ini, lagi-lagi air mataku jatuh. Entah mengapa susah untuk ikhlas, mungkin rasa bersalahku yang terus menghantui dan aku sangat menyayangi kakek.
Gundukan tanah yang masih basah sudah terlihat, ingin rasanya aku berlari dan memeluk nisan yang bertuliskan nama kakek itu, tetapi berjalan saja hampir tak sanggup, aku menarik napas dalam untuk menguatkan hati. Ada perasaan tak tega jika menangis di makam kakek ketika muncul bayangan wajah kakek yang sedih ketika melihatku menangis. Aku pun segera menghapus air mata dan mendekati makam kakek dan tak lupa mengucapkan salam untuk sang kakek, salam yang tentunya berbeda dari kemarin. Gundukan tanah itu membuktikan bahwa aku tidak bisa lagi bertemu dengan kakek di dunia yang fana ini.
Inilah kehilangan yang sebenarnya, kehilangan senyum dan nasehat dari kakek untuk lebih sabar menghadapi cobaan dalam hidup ini. Sebagai sorang mukmin aku sangat meyakini, bahwa kasih sayang Allah dan keadilan-Nya tidak akan merugikan manusia. Bahkan setiap ujian yang dating menimpa kita akan tetap dihitung ibadah, bila kita ikhlas menerimanya dan Allah akan memberikan yang terbaik untuk kita sebagai balasan kesabaran kita.
Kini hanya tersimpan foto hasil screnshoot waktu aku video call dengan kakek, di foto itu kakek tersenyu manis, senyum indah yang selalu membekas. Kenangan ini bukan untuk dilupakan seperti kenangan dengan si dia melainkan akan selalu ku ingat, kenangan ini mengajarkan aku untuk lebih menghargai orang-orang tercinta di sekitarku, untuk lebih menyayangi mereka sehingga tidak ada penyesalan saat mereka pergi.
The End
Sri Yuniarti H.D
Banggai Kepulauan, 28 Februari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Kenangan
Short Story⚠️FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA Lapak ini memuat cerpen-cerpen yang pernah aku tulis dan sebagian sudah di bukukan. Terima kasih buat kalian yang bersedia mampir. Happy Reading😊 Sri Yuniarti H.D