Rasa Benci Bagai Api yang Bisa Melahap Saudaramu

1 0 0
                                    

"Benci, satu rasa yang bisa memusnahkan dirimu sendiri dan menyakiti saudaramu."

***

Aku bingung melihat dua manusia paruh baya yang saling adu argumen. Suara mereka memantul di dalam gubuk, di tengah hutan, suara alam tak lagi terdengar. Seperti kebun kami? Kulihat kedua adikku duduk di sudut ruangan, aku mendekati dan berusaha menutup telinga mereka agar tidak mendengar kalimat yang belum pantas mereka dengar. Wajah polos keduanya membuatku sedih, sorot mata mereka seolah bertanya padaku; mengapa orang tua kita bertengkar?

"Kredit 100 juta kenapa sisa 15 juta? Lari ke mana uang sebanyak itu, Mas? Usaha kita nggak berkembang, uangnya mati semua nggak diputar jadi uang lagi. Kamu mikir nggak sih, Mas? Kebutuhan sehari-hari kita semakin besar!"

"Sudahlah, jangan bicarakan masalah ini di depan anak-anak. Kita masih bisa usaha untuk melunasi hutang kita."

Ini semua pasti karena aku. Papa meminjam uang di bank karena aku ingin masuk perguruan tinggi terbaik di kota. Semua uang itu banyak di keluarkan untuk membayar biaya kuliah dan hidupku. Aku, akulah yang seharusnya di salahkan.

Samar-samar kudengar langkah kaki beberapa orang, semakin dekat jantungku semakin berdebar, ruangan terasa pengap, aku merasa sedang terancam. Suara-suara sinis mulai terdengar. Siapa mereka? Mengapa mereka membenci kami?

Brak!

Brak!

Pintu di dobrak dari luar, roboh. Mama yang sedang marah-marah pun terdiam. Papa beranjak dari tempat duduknya dengan cekatan mengambil parang di dapur. Kulihat orang tuaku panik, apalagi saat tiga orang pria berbadan kekar masuk ke dalam gubuk kami dengan parang tajam di tangan dan tawa mengejek di wajah sangar mereka. Wajah kedua orang tuaku pias. Kedua adikku memelukku erat.

Aku tidak mengerti apa yang akan terjadi, tapi aku yakin ini berbahaya. Aku tidak mengenali wajah orang-orang berperangai jahat ini, tapi perasaanku mengatakan mereka bukanlah orang asing dan mereka membenci papa. Dengan sigap aku berusaha keluar dari gubuk untuk mencari pertolongan, belum mencapai pintu tanganku ditahan oleh salah satu orang jahat itu. Aku berontak namun terhenti oleh teriakan mama. Kulihat mama menangis histeris dan papa sudah tergeletak di lantai dengan darah yang terus keluar dari lehernya. Kedua adikku di tahan dengan parang di leher mereka.

"Tolong jangan sakiti kami. Apa salah kami?!" teriakku pada salah satu orang jahat yang aku yakini adalah bosnya. Tubuhku gemetar, tapi aku berusaha berdiri tegak dan menatap mata orang jahat itu dengan marah.

"Aku benci ayahmu, Nak. Dia sombong. Pilihanmu sekarang hanya dua. Melihat orang tua dan adikmu mati di depan matamu atau pergi mencari pertolongan? Sayangnya ayah tercintamu telah tewas lebih dulu, Nak," ucap lelaki itu sambil terbahak.

Aku pun berlari ke luar gubuk, kudapati orang-orang di luar gubuk memegang obor, mereka tertawa melihatku. Aku tidak peduli dengan mereka yang sudah pasti adalah komplotan sang penjahat. Aku terus berlari sambil menangis. Ya Allah, mengapa ini terjadi? Aku sungguh tidak mengerti.

Hari sudah gelap, tapi setiap langkahku diterangi oleh cahaya. Kususuri jalan setapak yang membawaku ke perkampungan. Tidak butuh waktu lama aku pun sampai. Kulihat beberapa orang yang kukenal sedang berjalan santai. Aku menghampiri mereka untuk meminta bantuan tetapi mereka seakan tidak melihat kehadiranku.

"Om, tolong ikut saya ke kebun. Ada orang jahat yang menyerang keluarga saya. Tolong bantu keluarga saya!" Tidak ada tanggapan yang aku dapatkan. Mereka benar-benar tidak melihatku meskipun aku berteriak sekuat tenaga. Ada apa dengan diriku?

Setelah merasa usahaku sia-sia, aku pun berlari kembali ke kebun untuk melihat nasib keluargaku. Namun, yang kudapati gubuk kami sudah terbakar dan tidak ada satu orang pun di sana. Sepi. Uap panas api yang membakar gubuk ikut membakar hidupku.

"Papa! Mama! Dek!" teriakku.

Ada apa ini? Mengapa semua ini harus terjadi? Mengapa aku melihat semua ini? Aku sungguh tak mengerti.

***

"Nak, bangun sudah subuh." Suara Papa berhasil membangunkan aku dari tidur yang rasanya panjang.

"Mimpi buruk ya, Nak? Papa denger kamu nangis terus manggil-manggil Papa dan mama. Mimpi apa, hm?"

"J–jadi cuma mimpi?" Aku memeluk Papa erat. Mimpinya seperti nyata, aku takut mimpi itu akan benar-benar terjadi. Aku pun menceritakan isi mimpiku pada Papa dengan air mata yang terus bercucuran dan keringat yang membuat badanku terasa lengket.

"Mimpi itu hanya bunga tidur, Nak. Jangan takut. Mimpi itu bisa jadi pertanda baik. Alhamdulillah kamu lihat sendiri 'kan usaha kita semakin bagus, Papa juga alhamdulillah lolos jadi pegawai negeri. Tinggal kamu ini yang harus usaha untuk dapat gelar sarjanamu."

"T–tapi aku masih takut, Pa."

"Tidak apa-apa, Nak. Mimpi itu bisa jadi karena rasa iri orang-orang terhadap keluarga kita. Kamu tahu sendiri 'kan banyak orang yang benci dengan keberhasilan Papa padahal Papa nggak pernah menyinggung mereka. Harus kuat, Nak. Harus kuat mental untuk tetap bertahan hidup. Lupakan mimpi itu, sudah subuh ini, bangun mandi terus salat dan berdoa pada Allah agar selalu menjaga keluarga kita."

"Iya, Pa. Pokoknya Papa harus selalu hati-hati ya, Pa. Aku akan selalu berdoa untuk Papa dan mama." Aku pun melepas pelukanku sembari mengusap sisa-sisa air mata.

"Mimpi itu bisa jadi teguran buat papamu juga, Nak. Papa kalau ngomong sama orang suka berlebihan, itu yang bisa menimbulkan rasa benci dan iri di hati orang yang mendengar," celetuk mama yang sejak tadi ikut mendengar ceritaku. Sedangkan papa terdiam—merenung.

Aku tersenyum melihat keduanya saling menasihati, bukan bertengkar seperti dalam mimpiku. Mama benar. Rasa benci yang timbul dalam diri seseorang bisa menyakiti orang lain dalam wujud mimpi buruk atau penyakit 'ain. Rasa benci juga bisa kembali menyakiti diri sendiri dalam wujud timbulnya beberapa penyakit, seperti stres sampai depresi melihat keberhasilan orang yang dibenci. Sepertinya salat subuh akan lebih ampuh mengusir rasa cemasku. Aku tidak boleh tertipu oleh setan. Setelah membersihkan badan, kami salat subuh berjamaah dan mulai beraktivitas seperti biasa tanpa cemas dengan mimpi buruk itu.

Sejatinya manusia diciptakan dalam keadaan bersih dari dosa. Namun, setan selalu menggoda setiap manusia untuk melanggar perintah Sang Pencipta. Sebagai manusia yang punya iman di dada, semoga kita selalu menjadi orang yang baik dan tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang bisa membahayakan diri kita sendiri dan orang lain.

Mimpi bukan sekadar bunga tidur. Mimpi yang baik datangnya dari Allah SWT. Sementara mimpi buruk datangnya dari setan. Bersyukurlah jika mimpi itu baik dan berlindunglah kepada Allah jika mengalami mimpi buruk. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT dari segala tipu daya setan yang terkutuk.

TAMAT

Sri Yuniarti H. Dapili

Aksara KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang