PART 4

18 11 0
                                    


       Pagi ini terasa sunyi, hanya ada pemandangan ibu yang berjalan mondar-mandir membawa piring kotor ke belakang. Mungkin Ayah dan Daisy sudah berangkat terlebih dulu. Pagi ini, aku memang bangun sedikit lebih siang.
Salahkan saja adikku yang kemarin malam memintaku menceritakan dongeng sebelum tidur untuknya.

       “Pagi, Bu ....” sapaku pada Ibu yang masih sibuk dengan kegiatannya. Aku duduk dan mulai mengoleskan selai di atas rotiku. “Maaf, aku bangun sedikit siang. Apa Ayah dan Daisy sudah berangkat?”

       “Ya, mereka berangkat pagi-pagi sekali. Ayah mengantar pesanan Paman Bob, karena dia harus berangkat ke ibu kota siang ini. Sedangkan Daisy, katanya ada kelas pagi sampai sore. Jadi, mungkin akan pulan pulang terlambat,” jawab ibu tanpa meninggalkan pekerjaannya.

       Tidak ada obrolan lain yang kami lakukan. Ibu kembali membereskan sisa sarapan pagiku, dan aku mulai bersiap pergi ke gudang untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah menumpuk.

       “Ibu, aku berangkat!” seruku. Terpaksa aku berteriak saat berpamitan dengannya, karena aku harus buru-buru berangkat jika tak ingin lembur hingga larut malam.

***
  
       Aku sampai di rumah setelah hari cukup larut. Pekerjaan yang menumpuk membuatku terlambat untuk pulang. Dahiku mengernyit saat mendapati rumah masih terang benderang. Aku jadi bertanya-tanya kenapa lampu rumah masih menyala? Tidak mungkin mereka menungguku pulang, bukan? Setiap kali aku pulang larut juga biasanya mereka sudah tidur lebih dulu.

       “Aku, pulang!” seruku masuk rumah, membuat semua orang melihat ke arahku. Ada Ayah, Ibu, dan beberapa tetangga berkumpul di dalam rumah. “Ada apa ini? Mengapa semua berkumpul selarut ini?” tanyaku beruntun. Raut wajah mereka terlihat cemas, terlebih ibuku sudah bersiap menumpahkan air matanya.

       “Daisy ... Daisy hilang,” isak tangis Ibu mulai terdengar.

       “Apa maksud Ibu dengan Daisy hilang?” Air matanya mengalir deras di pipi.

       “Anak itu belum pulang sejak berpamitan tadi pagi. Ibu sangat cemas, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan adikmu?” ucapnya semakin terisak. Ayah mencoba menenangkan Ibu dalam dekapannya.

       “Tenanglah! Tidak akan terjadi sesuatu pada Daisy. Kami akan mencarinya dan akan segera membawanya pulang,” janji Ayah pada Ibu.
Aku masih terdiam mencerna ucapan mereka. Daisy hilang? Bagaimana bisa?

       “Carnel, jaga ibumu! Ayah bersama para tetangga akan mencari Daisy sekarang,” pinta Ayah padaku, lalu bergegas keluar rumah bersama para tetanggaku.

       “Tunggu, Ayah!” cegahku, “Carnel, ikut.”

       “Tidak perlu, cukup jaga ibumu di rumah, Carnel,” ucap Ayah tak ingin dibantah.
Akhirnya, aku hanya bisa pasrah menunggu kabar Ayah dan yang lainnya. Namun, aku teringat satu hal, tentang percakapanku dengan Daisy tadi malam. Tidak mungkin dia ... ah, harusnya aku tahu seperti apa Daisy dengan tingkah nekatnya itu. Aku yakin dia pergi ke sana.

       “Sepertinya aku tahu ke mana Daisy pergi,” ujarku.

       “Apa maksudnya dengan kamu tahu tahu ke mana Daisy pergi, Carnel?” tanya Ayah bingung. Aku yakin setelah ini Ayah akan marah saat tahu tentang apa yang kubicarakan bersama Daisy kemarin malam.

       Aku berdeham sebentar sebelum menjawab pertanyaan Ayah, hanya sedikit menenangkan jantungku yang berdetak kencang ketakutan.

       “Itu ... kemarin malam Daisy mendatangi ke kamar, bertanya tentang hutan terlarang,” cicitku. Aku semakin menunduk saat merasakan amarah Ayah mulai menguar.

       “Jadi, mungkin ....” Tanpa berkata lagi Ayah meninggalkan rumah berserta para rombongan. Kukira Ayah tahu apa maksudku tanpa aku memperjelasnya.

***

THE ONYXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang