Beomgyu tidak masuk sekolah.
Meja Beomgyu yang kosong dan hening terlihat begitu mengganggu bagi Taehyun. Beomgyu memang terlihat pucat, tapi dia anak yang sehat. Jarang sekali ia sakit sampai absen sekolah seperti ini. Itu yang membuat Taehyun khawatir. Telinganya tak bisa fokus menyerap penjelasan materi dari bibir keriput guru bahasa inggrisnya. Isi otaknya hanya Beomgyu, Beomgyu, Beomgyu, dan Beomgyu.
Sehari tanpa Beomgyu terasa amat sangat asing dan berbeda bagi Taehyun. Tak ada Beomgyu yang senang mengomel. Tak ada Beomgyu yang berjalan lambat sampai bisa disusul Taehyun ke gerbang sekolah. Ketiadaan Beomgyu membuatnya takut karena ia ingat bagaimana ekspresi wajah Beomgyu beberapa bulan lalu di taman kota Busan itu. Beomgyu meneleponnya untuk meminta dijemput pada pukul delapan malam, masih dengan seragam sekolah dan mantel tipisnya. Terlihat begitu lelah namun juga berpulang di saat yang bersamaan maniknya melihat Taehyun.
Ia tak pernah menyangka ekspresi wajah Beomgyu yang begitu letih, begitu lega, dan begitu tenang dapat membuatnya gemetar. Beomgyu terlihat seperti seseorang yang begitu putus asa akan keamanan dan kebahagiaan hingga sepercik cahaya redup saja telah membuatnya girang. Tidak ada yang normal dan baik-baik saja melihat seorang anak remaja yang berkeliaran di tengah musim dingin dengan pakaian setipis itu. Serta dengan wajah sebahagia itu ketika Taehyun datang, seolah ia menemukan penyelamatnya.
Taehyun tak tahu apa yang telah Beomgyu alami sebelumnya sampai-sampai Beomgyu menatapnya seolah Taehyun adalah seorang pahlawan. Padahal Taehyun hanyalah remaja bodoh yang tak dapat melakukan apapun. Beomgyu semenyedihkan itu untuk bergantung pada Taehyun yang sama lemahnya. Sama bodohnya. Sama sembrononya. Sama-sama remaja yang begitu banyak dihakimi.
Taehyun bersikeras pada waktu itu. Bibir Beomgyu mengelupas dan membiru. Tangannya pun terasa beku sehingga dengan semua tanda-tanda itu, Taehyun ingin membawanya pulang, sekali saja, dalam kehidupannya. Ia ingin Beomgyu pulang dan merasa aman dan hangat dan ia tidak akan kekurangan lagi. Taehyun hanya ingin membawanya kembali pada apartemen sempit sewaannya dan melihat Beomgyu mengisi perutnya lalu membiarkannya terlelap nyenyak sampai pagi.
Namun Beomgyu hanya berdiam selama beberapa jam di mobilnya. Kebersamaan itu terasa begitu singkat dan akhirnya, Beomgyu membuka pintu mobil Taehyun, berlalu dan lenyap.
Taehyun tak pernah menyangka melihat wajah Beomgyu yang begitu letih, begitu lega, dan begitu tenang dapat membuatnya gemetar.
Taehyun juga tak pernah mengira menatap punggung Beomgyu yang berlalu menjauh dapat menjadi momok mimpi buruknya.
//
Kekhawatiran Taehyun mungkin sampai ke tahap paranoid. Ia mulai berpikiran macam-macam tentang apa yang terjadi pada Beomgyu dan pada akhirnya kecemasannya membuncah sampai ke titik tertinggi. Sampai ia jadi nekat bolos seperti saat ini.
Tepat tengah hari, Taehyun menanggalkan seragamnya dan menyisakan kaus biru mudanya. Kemeja seragamnya tersuruk di antara ruang tas sekolahnya yang sempit. Seungkwan menatapnya penuh kekhawatiran dan juga harapan. Tangannya menggenggam erat tas Taehyun, yang akan diam-diam ia masukkan ke dalam loker Taehyun nanti saat jam makan siang. Taehyun memintanya untuk menelepon sekitar jam empat sore supaya Taehyun bisa kembali ke sekolah dan mengambil tasnya sebelum gerbang dikunci. Seungkwan menurut, berpesan agar Taehyun hati-hati dan kembali ke lantai atas.
Taehyun harus mengendap-endap pergi melalui gerbang belakang sekolah yang memang pengawasannya lebih kendur. Memastikan tak ada orang yang melihatnya dan menyelinap kabur secepat yang ia bisa. Ia menjauhi daerah sekolahnya dan satu-satunya tempat yang ia pikirkan adalah taman kota Busan tempat Beomgyu menunggunya waktu itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
shelter // taegyu
Fiksi Penggemartw // mental and physical abuse, depression, suicidal thoughts Tentang Beomgyu dan ayahnya yang separuh sinting, angan-angan mengenai kehidupan kota besar yang jauh dan Taehyun, satu-satunya tempat bernaung di antara carut marut yang bising.