end

336 46 10
                                    

Seungcheol berdiri, menatap mata Taehyun yang sama besar dengan dirinya. Mata Seungcheol penuh kemilau karena berkaca-kaca, pelupuk matanya digenangi air mata. Sedangkan mata Taehyun penuh kemilau karena ia adalah anak yang penuh tekad. Sedikit ironis dan menyakitkan melihat mereka.

Seungcheol masih separuh menangis, tapi ia meraih Taehyun ke dalam rengkuhnya. Menepuk punggungnya beberapa kali, pelukan mereka singkat dan canggung. Namun Taehyun seolah mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Seungcheol, 'tolong jaga Beomgyu baik-baik'.

Taehyun membalas pelukannya dengan dekapan erat di bahu, Seungcheol menahan tangisnya lebih kuat lagi. Napasnya mulai berantakan, ketika ia mundur dari pelukan Taehyun dan menatap adiknya, Choi Beomgyu, yang kini sudah tujuh belas. Tujuh belas tahun dan ia telah bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.

"Aku akan membantumu membayar biaya hidup Beomgyu selama ia tinggal di rumahmu. Sama sekali tak masalah karena selama ini aku juga yang membiayainya sehari-hari," ujar Seungcheol, menatap Taehyun hangat penuh rasa terima kasih.

"Terima kasih."

Suara Seungcheol begitu lemah dan terdengar dapat runtuh kapan saja, namun Taehyun dapat mendengar ketulusan di antara retak suaranya. Membuat Taehyun tersenyum dan dalam hati berjanji menjaga Beomgyu di sisinya baik-baik.

Seungcheol memutar badannya, menghadap Beomgyu. Yang tubuhnya sudah beranjak tinggi, dengan bahunya yang masih mungil dan kulitnya yang bersih. Yang matanya berlinang air tatkala menatap pada Seungcheol.

Telapaknya menelusup pada belakang kepala Beomgyu, meraih anak itu mendekat. Rengekan Beomgyu terdengar lebih lantang dan lepas ketika ia berada dalam dekapan Seungcheol. Seperti anak kecil di dalam rengkuhan kakaknya. Taehyun bsia melihat itu. Melihat bagaimana mereka mencoba bertahan di tengah carut marut dunia yang kadang kala terlalu melelahkan, berdua. Tanpa ayah. Tanpa ibu. Tanpa siapa-siapa. Berdua. Begitu terpisah dan berjarak.

Beomgyu hanya mengangguk seraya mengusap air matanya ketika Seungcheol berbicara padanya dengan suara pelan, kemudian Seungcheol memintanya menjaga Beomgyu selama berada di apartemen Taehyun. Beomgyu masih memutar kepalanya ke belakang berkali-kali ketika ia beranjak kembali bersama Taehyun. Seperti tak rela meninggalkan kakaknya.

"Jadi, bagaimana?"

"Aku minta pada Seungcheol-hyung untuk tetap menemuiku setiap minggunya." ujar Beomgyu dengan suara sengau. "Taehyun, bagiku sulit untuk tidak pindah bersama Seungcheol ke Seoul. Tapi akan jauh lebih sedih kalau aku pergi meninggalkan Busan."

"Jika aku pergi ke Seoul, aku tidak bisa kembali ke Busan lagi."

Taehyun diam, mendengarkan kata-kata Beomgyu dengan atentif.

"Aku tidak mau itu terjadi."

"Iya," akhirnya Taehyun membalas. "Terima kasih sudah bertahan di sini."

"Taehyun alasan terbesarku ingin bertahan di sini."

Entah karena Beomgyu sedang emosional atau itu cercah emosinya yang sudah ditahan lama, Taehyun tidak tahu, tapi jujur saja ia kaku saat hendak menanggapi pernyataan jujur Beomgyu.

"Terima kasih,"

"Seungcheol-hyung akan mengoper buku-buku dan pakaianku kesini." tukasnya. "Eum, barangku juga tak terlalu banyak. Buku juga tidak terlalu banyak. Aku, aku tidak akan merepotkan Taehyun."

"Space kosong di rak bukuku masih banyak. Tidak usah khawatir." Taehyun menenangkan, bersamaan dengan tangannya yang menggenggam tangan Beomgyu. "Ayo pulang."

Di sepersekon itulah, Beomgyu belajar mengenai definisi kata pulang yang sesungguhnya. Tak sekadar tempat berteduh, namun tempatnya untuk kembali. Untuk bernaung. Tempat untuk mencari perlindungan. Semua itu ada pada remaja yang berjalan seiringan dengannya.

Satu tangan meraup pakaian-pakaian Beomgyu yang terlipat rapi, diletakkan dalam lemari. Tuan dari tangan itu memasukkan pakaian dengan cara yang sangat serampangan, tak peduli apakah pakaian Beomgyu akan kusut atau apa. Yang ia tahu hanyalah memasukkan semua keperluan Beomgyu ke dalam koper besar. Lalu berangkat keluar dari sarang monster itu. Menjemput Beomgyu dan kebebasannya.

"Anak itu sudah lepas dari jeratanmu." diujarkan sarat akan angkara dan kecewa yang berlipat-lipat tanpa ingin luruh. "Beomgyu akan menjemput kebahagiaannya. Kalau kau hanya akan menjadi penghalangnya, lebih baik kau mati saja."

Pria paruh baya yang duduk di balik bantal sofa geming. Tak merespon selama beberapa saat.

"Dia akan pergi?"

"Ya, setelah bertahun-tahun berada di sini, dia akan bahagia. Akan baik-baik saja. Akan mengecap masa remajanya yang normal." Napas memburu setelah kalimat itu diucapkan. "Karena itu, jangan kau berani mencarinya."

"Jangan kau berani mengusiknya. Jangan kau berani melukainya," Ia tersedak oleh napasnya sendiri karena terlalu marah.

"Kalau kau berani mencarinya, aku bersumpah akan menghabisimu."

"Aku bukan anak sulungmu yang bisa kau pukuli dan menangis di sudut ruangan. Aku bukan anak sulungmu lagi. Beomgyu bukan anak bungsumu lagi."

Pria paruh baya itu masih geming. Mungkin tenggelam akan kesendirian dan kekosongannya, menelan gelagak kehilangan dan kehinaan, buah pahit yang harus ia telan paksa. Setelah apa yang ia lakukan bertahun-tahun.

"Jangan berani ganggu Beomgyu lagi." Koper diangkat, beranjak pada pintu rumah.

"Kau adalah ayah yang paling buruk," si sulung mengatakannya dengan air mata yang ditahan di pelupuk mata. "Kau ayah terburuk di dunia. Kau bahkan tak layak disebut ayah."

"Seungcheol," orang yang tak layak dipanggil ayah itu menyahut, membuat si sulung semakin rapuh mendengar itu kali pertama ayahnya memanggilnya tanpa hinaan atau kata-kata kasar.

"Aku tak akan melukainya lagi." ucapnya setelah terpaku beberapa lama.

"Sudah sepantasnya kau begitu." Ayah tak tahu. Ayah selalu tak tahu betapa banyak emosi dan air mata yang harus ditahan Seungcheol ketika ia mengucapkan hal-hal jahat pada ayahnya sendiri, musuhnya sendiri, sosok yang tak seharusnya  membuatnya merasa seperti ini. Ayah tak tahu betapa besar tekanan yang Seungcheol rasakan untuk membiarkannya sendiri. Ayahnya selalu begitu egois, namun sebesar apapun Seungcheol membencinya, pada akhirnya akan sulit bagi Seungcheol untuk berhenti mencintainya.

"Aku benci padamu,"

Pintu rumah ditutup. Benci diutarakan dipenuhi getir dan luka. Seungcheol menangis selama ia membawa koper itu keluar dari rumah lamanya. Rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan buruk namun juga tempat yang masih sangat familiar dan dekat padanya.

Seungcheol menginjak salju-salju yang menumpuk di bawah kakinya. Kemudian semakin menjauh dari rumah. Jauh, jauh, lalu lenyap dari mata ayah yang menatapnya dari jendela dengan sayu.

Seungcheol sudah memutuskan untuk berhenti berduka. Melihat Beomgyu tersenyum dengan pipi kemerahan ketika Taehyun mengikatkan tali sepatunya yang lepas, di tengah musim dingin, di sebelah mobil Seungcheol yang hendak akan mengantar mereka semua ke tempat berpulang.

Pada akhirnya, semua baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.

Beomgyu berusia tujuh belas tahun ketika ia telah menemukan alasannya untuk bertahan. Seungcheol berusia dua puluh lima tahun ketika ia menemukan alasannya untuk bahagia.







akhirnya setelah perjalanan yang tidak begitu lama ini, SHELTER resmi selesaii yeeiii!! sejujurnya emang nulis cerita ini sempet bikin aku mandek beberapa kali karena jatohnya aku ngelanjutin draft lama. udah lupa sama feel dan emosinya. makanya maaf updatenya sempet lama banget u.u

setelah SHELTER selesai, statusku di akun ini akan berubah jadi hiatus permanen, aku nggak bakal nulis cerita di lapak ini lagi. terima kasih atas komen, vote, dan sudah baca ya teman-teman. see you when i see you!! <3

pls leave vote and comments, i appreciate them so much 🥰

shelter // taegyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang