"Ren.. ren... rene!!!"
"Hah! A-apaan sih Lun? Lo ngagetin gue aja!".
Irene hampir saja tersedak siomay karena sahabat karibnya itu.
"Ya habis lo sih, cantik cantik masa ngelamunan kayak kebo. Lo merhatiin siapa sih?", mata Luna memicing menatap ke arah objek yang diperhatikan Irene daritadi. "Gengnya Vando? Ngapain lo merhatiin mereka? Mau nyiram jus jeruk lo ke Vando?"
Irene terkesiap.
'Anjir tau ajanih si Luna'
"Nggaklah! Gue emang musuhan sama dia Lun tapi yakali gue nyiram dia pake jus jeruk disini, bisa - bisa gue disangka orang gila", ucap Irene berusaha tenang. "Gue juga tau ren, lo napa sih? Pms ya? Pantesan".
"Hm.. ", Irene diam. Menghabiskan siomaynya sambil sesekali melirik ke arah meja pojok kanan di kantin. Meja itu ramai, padahal hanya ada 3 cowok yang duduk di sana. Salah satunya seorang yang akhir akhir ini menjadi 'favorit' Irene. Objek 'favorit' untuk diamati.
Irene tak berkedip. Revando Alfarizi atau biasa disebut Vando. Vando adalah pemain basket andalan SMA Airlangga, teman sekelasnya sekaligus musuhnya. Ejekan dan bullyan selalu mendominasi mereka berdua jika saat bersama.
Merasa diperhatikan, Vando menoleh, balik menatap, matanya bertemu dengan mata Irene. Irene buru - buru memalingkan mukanya.
"E-eh lun, balik ke kelas yuk! Bentar lagi pelajaran bu Ratmi kan! Gue gamau telat, nanti bisa - bisa disuruh ngerjain soal matematika lagi". Irene beranjak dari kursinya.
"Tapi lo belum ngehabisin siomay lo tuh, yakin?", Luna menaikkan alisnya sebelah. Irene mengangguk, "Iya, gue lagi ga mood makan, yuk ah buruan". Irene menarik Luna, mereka berdua bergegas keluar dari kantin. Oh sial, geng Vando juga mau kembali ke kelas.
"Eh tuh si vando, sama anak buahnya juga", Irene tak mempedulikan Luna.
Vando berjalan diapit dua sahabat sekaligus anak buahnya, Reza dan Kiki. Vando melambatkan langkahnya begitu melihat Irene dan Luna berjalan tak jauh darinya.
"Napa lo bos?"
"Kalian ke kelas duluan aja, za, ki". Reza dan Kiki menurut, meninggalkan Vando yang berjalan mendekat ke Irene dan Luna.
"Wah ren, dia kesini tuh", ucap Luna. Irene membatin 'anjir pasti dia mau ngomongin yang tadi nihh'. Irene menundukkan kepalanya, Luna menatapnya heran, "Lo napa ren?"
Irene tak menyahut.
"Oi rambut jabrik".
Mampus!
"Pasti kalian berdua bakal ribut deh, gue cabut dulu ya ren, bye hihi".
"Yah! Luna kok malah pergi sih!". Irene menatap nanar sahabatnya yang sudah menjauh itu, pasti si Luna sengaja tuh.
"Woi jabrik, gue ngomong sama lu nih". Vando mengibas - ngibaskan tangannya ke depan wajah Irene. Irene berbalik, menghadap Vando.
'Biasa aja ren, anggap aja lo gangerti apa apa', batin Irene.
"Apasih lo?".
"Nyolot amat sih. Ngapain lo tadi liatin gue di kantin?".
YATUHAN!
Irene harus tetap stay cool. "O-Oh itu tadi gue ga sengaja liat lo, tadi ada upil nempel di dahi lo makanya gue lihatin terus!". Irene memang tidak pandai berbohong, dan kebohongannya barusan benar - benar tidak masuk akal. Seketika itu juga Vando tertawa keras.
"Yaelah bego banget sih lo, ngaku aja lo, lo terpesona sama gue kan? Makanya ngeliatin gue kayak gitu!", sombong Vando melipat kedua tangannya di dada. Vando tersenyum lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable
Teen FictionAku benci takdir. Kenapa? Karena dia tidak akan pernah membuat aku dan kamu menjadi 'kita'. Setiap orang mempunyai jalan ceritanya sendiri yang sudah tersusun rapi. Namun, tidak semuanya memiliki akhir yang bahagia. Mungkin aku salah satu yang me...