"APA? LO PUTUS SAMA NOVAN?"
"Sst jangan keras - keras dong lun !", Irene melirik pengunjung cafe yang lain. Aman, untung saja tidak ada anak SMA Airlangga.
"Sori sori, anjir lo beneran udah end sama Novan?", Luna menunduk, berbisik di depan Irene.
"He'eh"
"Kok bisa sih ren?"
Irene memutar bola matanya, "Lo tau kan gue dulu jadian sama Novan bukan karena saling suka. Lagian dia sibuk mulu gaperna punya waktu buat gue".
Luna hanya ber-"Oh" ria saja menanggapi Irene. "Eh tapi sayang lho ren, si Novan kan lumayan ganteng.."
"Yaterus ?"
"Ya gapapa sih, buat gue ajaya dia?", cengiran lebar tercetak di wajah chinese Luna. Irene tampak bingung.
"Eh lun"
"What?"
Lidah Irene seketika kelu, "Ngg lo percaya gak sama filsofi benci jadi cinta..?"
Alis Luna naik sebelah, "Nggak juga sih, napa?". "Emm... Lun gue mau ngomong sesuatu..", apa dia harus memberitahu Luna?
"Apaan? Jangan bikin gue penasaran dong"
"Gue .. gue kayaknya suka sama Vando"
Beberapa detik serasa seperti semenit.
Luna melongo, berusaha mencerna pernyataan Irene.
"L-lo suka sama Vando? Revando Alvarizi?"
Irene mengangguk dengan slow motion, "I-iya"
Mata Luna membesar, "Gila! Lo suka sama musuh bebuyutan lo? Vando? Gila!!"
Irene nyengir, Luna memegang kedua tangannya.
"Kok bisa sih? Sejak kapan?"
"Ya gue juga gatau, kayaknya sih waktu gue liat dia tanding basket. Gue kayaknya kena pesona dia gitu, terus semenjak itu jantung gue berdebar aneh terus tiap deket sama dia Lun", cerocos Irene. Luna mengangguk mengangguk - angguk tanda mengerti.
Mereka berdua kembali terdiam.
"Emm.. Lun? Lo gapapa?." Irene memperhatikan Luna yang menunduk tampak berpikir.
"Lalu sekarang gimana? Lo berhenti musuhin dia?". Luna menatap serius. Irene geleng - geleng.
"Gue juga gatau"
"Yaudah lo pdkt aja ke dia, siapa tau dia juga punya perasaan yang sama ke lo"
Irene melongo. Pdkt? Kelihatannya bukan pilihan yang buruk...
**
"Eh kak, lebih cepet dikit napa? Gue bisa telat nih!"
"Berisik lo! macet banget nih, duhh"
Beginilah resiko tinggal di Ibukota, terlebih lagi Jakarta.
Terjebak macet sudah merupakan rutinitas. Tak terkecuali Jazz putih Irene yang selama 5 menit belum juga bergerak.
"Eh Dion, gimana kalau mobilnya lo bawa aja? Gue mau turun jalan kaki ajadeh", Irene menyambar tasnya. Seorang cowok yang juga duduk di kursi depan melongo melihatnya.
"Anjir, mana boleh anak smp bawa mobil, pea! Gue gamau ah, pokoknya kakak harus nganterin Dion sampe sekolah dalam keadaan sehat walafiat!", cerocos Dion-adik Irene- itu.
"Cerewet amat sih! Alah badan lo udah bongsor kayak anak SMA gitu", Irene melirik jam tangannya. Dan sumpah demi apa, dua menit lagi bel masuk!
"Pegangan lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable
Teen FictionAku benci takdir. Kenapa? Karena dia tidak akan pernah membuat aku dan kamu menjadi 'kita'. Setiap orang mempunyai jalan ceritanya sendiri yang sudah tersusun rapi. Namun, tidak semuanya memiliki akhir yang bahagia. Mungkin aku salah satu yang me...