Stay

1.7K 169 188
                                    

"Hwa!!"

Yang dipanggil hampir jatuh bebas dari kursinya. Dilihatnya tindak-tanduk San bagai kucing garong di warung makan, siap menerkam ikan goreng dengan garang.

"Kamu tidak senang, ya?" Katanya sok galak, "hari ini uang saku kita turun! Uang saku!!"

Peduli amat dengan uang saku, itu bukan gaji sungguhan. Hanya sedikit nominal untuk memastikan bakal pegawai tetap tidak mati kelaparan selama pelatih—

"Uang saku katamu?"

"Iya!"

Seonghwa bangkit dan keluar dari ruang konferensi. Ini saatnya membuktikan bahwa kontrak yang ia tandatangani bukan kontrak perbudakan. Kalau tidak buat apa keluarganya berbangga-bangga ke penjuru pelosok bahwa dirinya berhasil lolos seleksi jadi calon bankir di ibukota? Buat apa ia pergi jauh-jauh, barang sepenuh hati ingin lupa rasanya masakan biyung, kalau tidak ada nasib yang bisa diperbaiki?

Batinnya sedikit lega ketika melihat angka yang tertera di layar biru. Sesuai janji.

"Kerasukan setan apa kamu Hwa ..."

Yunho muncul dari balik punggungnya, berkacak pinggang, geleng-geleng kepala keheranan.

"Baru beberapa hari yang lalu kamu mengaku akhirnya bisa mabuk setelah bertahun-tahun jadi teladan kebanggaan Bapakmu," dahinya mengernyit, "kini seharian kamu tidak bisa diajak bicara kecuali soal uang? Duh ..."

"Kamu sendiri yang bilang," Seonghwa berjalan melaluinya, "proses seleksi alam kita masih panjang. Gotta use everything to cope."

"Ya paham, sih, tapi ..." Yunho mendecak sebelum menyusul langkah kawannya.

.

.

-.-.-

.

.

Langkah kakinya menjauhi etalase toko yang nyaris tutup. Ia tidak yakin dengan apa yang ia lakukan, atau mengapa ia memutuskan untuk membayar isi bungkusan yang masih dingin itu pada akhirnya, tetapi masih belum lama waktu berlalu semenjak tekadnya membulat untuk hanya mengikuti instingnya mulai saat ini.

Hidup hanya sekali, singkat pula. Bodoh benar kalau disesali.

Begitu pikirnya seraya menaiki tangga menuju unitnya di hunian bertingkat itu.

Di lantai teratas, bohlam tua kembali jadi satu-satunya penyambut kedatangan. Cahayanya menerang dan meredup, setengah mati menjalankan peran sebagai satu-satunya penerangan untuk anak-anak tangga, kotak pos di tepi lorong, pupil matanya yang turut melebar dan menyempit ...

Seonghwa menghela napas panjang.

Seandainya Paman sedikit lebih kaya, pasti membeli bohlam baru tak akan jadi soal. Atau mengganti kotak pos dengan yang tidak berkarat selot kuncinya. Atau opsi yang paling solutif untuk sakit kepala berkala yang membuatnya ingin bolos pelatihan dan mencari pengobatan alternatif ke mana pun itu: sewa petugas keamanan agar tidak ada orang brengsek keluar-masuk bangunan ini lagi.

Namun kembali pada praduganya sejak awal. Orang tua itu tahu. Perkara orang-orang macam apa yang datang dan menyewa kamar padanya. Mungkin ia juga sudah sampai pada tahap pasrah bahwa nominal yang mereka bayarkan setiap bulan tidak akan pernah cukup untuk mengganti bohlam di lantai lima.

Ada orang-orang yang memang terlahir untuk hanya merasakan kesulitan di sepanjang hidupnya.

Tadi pagi sebelum berangkat, ia melihat Paman di lorong. Menggantung plastik berisi makanan di daun pintu Kamar 501. Keduanya hanya bertatap canggung. Lalu pemilik hunian itu mengangguk pelan seraya menuruni tangga terlebih dahulu.

Room 501 | SeongJoong  🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang