Check In

3.4K 225 147
                                    

"Tempat barumu enak?"

Tanpa menoleh ia sudah tahu siapa yang bertanya. Choi San, duduk seenaknya di atas buffet seolah-olah ia tidak akan langsung diberhentikan jika supervisor mereka melihat. Mulutnya masih mengunyah sisa snack rapat yang memang sengaja mereka kumpulkan untuk dibawa pulang dan dipanaskan lagi—hina betul, tetapi semua orang di gedung ini juga pasti melalui fase hidup yang serupa saat masih di posisi mereka.

Ada jeda sebelum ia akhirnya menjawab, mata masih fokus menerka-nerka mana di antara makanan berminyak itu yang masih layak dicerna perut.

"Lumayan," jawabnya singkat, "tidak banyak pilihan, jadi aku terima-terima saja."

"Dapat harga bagus?"

"Hm."

"Bekas orang gantung diri?"

"Jaga mulutmu."

San cekikikan sambil melompat dari meja, berlindung dari lemparan snack box di balik punggung trainee lain yang lebih tinggi.

"Sabar, Hwa," pria tinggi itu—Yunho—tersenyum, "kita masih harus melalui seleksi alam yang panjang setelah ini, lucu kalau kita sendiri yang malah menyingkirkan satu sama lain."

"Bukankah itu tujuannya?" Jawab Hwa dingin. "Yang paling kerasan akan lanjut, yang tidak silakan masukkan lamaran ke tempat lain?"

"Percayalah. Aku pernah berada dalam situasi di mana semua orang saling menusuk. Tidak ada yang berakhir bagus," ujar Yunho. "Mari saling menolong saja untuk saat ini."

Bisa berkata demikian pun, Seonghwa yakin Yunho juga tidak mau berada pada posisi mereka sekarang. Pegawai kontrak, bisa diusir kapan saja selama probasi, unlimited training works sampai HR memutuskan mereka layak untuk bergabung ke pusat. Bukannya angkuh, tetapi hidup Seonghwa bahkan jauh lebih enak sebelum ini. Jika bukan karena garis finish dengan piala terbesar hanya untuk pelari dengan track yang paling berlubang ...

... atau apapun istilah setan yang tadi mereka gunakan sebagai dasar untuk memperlakukan trainee dengan semena-mena, Seonghwa pasti sudah angkat kaki dari sini.

"Kalian sendiri bagaimana?" Tanya Seonghwa mengganti topik, "sudah dapat tempat bermalam selama pelatihan yang entah sampai kapan ini?"

"Tempat kerja lamaku tidak jauh dari sini, jadi aku melanjutkan sewa rumah," balas Yunho, "bibi yang baik, tidak keberatan aku membawa San ke sana."

"Wah, jadi selama ini kamu numpang tinggal secara cuma-cuma?" Seonghwa terbelalak.

"Enak saja gratis," gerutu San, "aku bayar pakai tubuh."

"Sayang."

"Oops, TMI. Tapi setidaknya aku belum bilang padanya kalau Jeong Yunho yang besar hati dan bijaksana bisa jadi binatang buas kalau lampu sudah dimatikan—oh, tidak, aku baru saja bilang?"

Mereka membiarkan San berlari ke pintu belakang sambil tertawa-tawa. Seonghwa bahkan tidak tega point out betapa merahnya muka Yunho saat ini.

"Menurutmu itu cukup sampai besok pagi?" Tanya Yunho setelah angin kecanggungan berlalu, "kami biasa membeli masakan bibi, tetapi bagaimana dengan tempatmu?"

"Jaga-jaga kalau telat beli sarapan," kata Seonghwa seraya menutup ranselnya, "duluan."

Ia membalas lambaian Yunho dengan sekenanya sebelum keluar dari pintu belakang yang sama.

.

.

-.-.-

.

Room 501 | SeongJoong  🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang