Part 1

1.4K 75 6
                                    

Dinginnya air tak ia hiraukan mengguyur tubuhnya begitu shower kamar mandi ia nyalakan di pagi buta ini. Membasuh tubuh setidaknya dapat melunturkan dosa yang baru saja ia buat, menurutnya begitu, walaupun di mata Tuhan tidak. Selang beberapa menit, kegiatannya membasuh tubuh ia hentikan begitu suara pintu kamar mandi ada yang mengetuk di luar sana. Secepat mungkin ia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan kimono mandinya, tak lupa handuk kecil melilit di kepalanya.

"Are you okay?"

Dia mengangguk, tak banyak bicara. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya. Tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perut ratanya. Dia cukup terkejut.

"Kalau seandainya ada satu nyawa yang nantinya hidup di dalam sana, aku mohon, pertahankan dia. Aku berharap banyak, Chika"

Dia, Yessica Tamara siallagan, memejamkan matanya begitu tangan laki-laki itu mengelus perut ratanya. Tangan laki-laki itu memang hangat, tapi, ketika mengingat dosa besar yang ia lakukan dengan laki-laki itu kini malah terasa menghantuinya.

"Kalau aku tidak menginginkannya bagaimana? Kamu mau apa?"

Alis laki-laki itu mengerut, dia terdiam cukup lama, lalu tangannya terangkat menyentuh pipi lembut gadisnya, Chika.

"Aku berharap ada Vito kecil atau Chika kecil. Entah itu satu atau dua. Entah itu perempuan atau laki-laki, aku menginginkannya." 

Chika melepaskan tangan laki-laki itu dari pipinya, di tatapnya mata itu, begitu dalam. "Kita berbeda, Vito narendra! Ingat itu!"

"Lalu? Kita bisa kok menjalani pernikahan dengan perbedaan. Banyak, kok, pasangan di luar sana yang menikah dengan perbedaan bahkan sampai tua"

Chika terkekeh, di usapnya dahinya lembut. "Dan banyak juga pasangan beda agama di luar sana yang rumah tangganya tidak bertahan lama"

Vito terdiam.

"Aku gak ngerti kenapa kita bisa senekat ini. Pernikahan itu bukan untuk main-main. Aku cuma takut salah mengambil langkah"

Di bawanya Chika ke dalam pelukannya, jangan tanyakan seberapa besar cintanya pada seorang Yessica Tamara Siallagan. Vito Narendra sungguh mencintainya.

"Aku sungguh sama kamu, Chik. Kamu harus yakin. Setidaknya-- jika benar nanti dia hadir, mana tau orangtua kita luluh. Mereka akan menerima hubungan kita."

Chika menghela napasnya, dia mengurai pelukan hangat Vito. "Baik, tapi, jika aku menginginkan dia mengikuti keyakinanku bagaimana? Kamu bersedia?"

Senyum Vito seketika memudar, ia menghela napasnya pelan, sedikit pasrah. "Tapi-- bagaimana pun dia itu anakku. Dia hadir karenaku, Chika"

"Sama halnya denganku, Vit. Aku ibunya, aku yang nantinya akan melahirkannya. Aku yang nantinya berjuang membawanya lahir ke dunia ini. Lalu, apa salahnya jika dia mengikuti keyakinan aku, ibunya? Orang yang berjuang untuknya. Come on, Vit, jangan egois!"

Secangkir kopi yang tadi ia pesan kini sudah benar-benar berubah seperti air putih, bening, kepulan asapnya sudah habis membaur dengan udara di sekitar. Dia lupa, lupa dengan kopi bahkan surat perjanjian kontrak di mejanya belum ia tanda tangani. Waktunya setengah jam di habiskan hanya untuk menyelam masa lalu. Rasanya seorang Yessica Tamara Siallagan tidak akan pernah bisa meninggalkan masa lalu. Tidak akan pernah bisa, catatan itu.

"Mba, Chika, di tunggu pak Gracio di ruangannya."

Paham Chika buyar saat salah seorang staff rumah produksi ternama itu menghampirinya. Memberitahu bahwa dia sedang di tunggu oleh sang produser di ruangannya. Chika membuang napasnya terlebih dahulu, dia tidak mau terlihat kaku di depan sang produser.

Baru Chika hendak beranjak dari duduknya, ponselnya kini berdering. Menampilkan nama laki-laki yang tadi sempat Chika tugaskan sesuatu.

"Hallo"

"Hallo, Chik, lu dimana?"

"Di kantor, ketemu pak Gracio, kenapa?"

"Nih si Marsha gak mau pulang. Dia maunya lu yang jemput katanya."

Terdengar helaan napas, bahkan laki-laki di seberang sana juga bisa mendengrnya. "Lu tungguin aja dia disana, nanti gue nyusul kalau kerjaan gue udah beres, thanks"

....

Jalanan siang ibu kota Jakarta memang tidak pernah hilang dari suasana macet. Panas yang membakar kulit, polusi udara yang jauh dari kata bersih, benar-benar keadaan yang membuat dada sesak napas. Di tambah lagi keadaan dalam mobil yang juga panas akibat wanita dewasa yang mengomeli seorang gadis kecil yang hanya menundukan kepalanya. Tidak benar-benar mengomeli, hanya kata-kata wanita dewasa itu menusuk hati gadis kecilnya.

"Saya 'kan sudah bilang jangan pernah suruh saya yang menjemputmu. Ada Om Aran yang bisa menjemput. Kenapa tiba-tiba harus saya yang kamu minta jemput?"

"Aku cuma mau orang-orang tau aku punya Mama."

Chika menepikan mobilnya, matanya terhunus pada gadis kecil di sebelahnya itu. Tatapannya dingin, selalu begitu. Jauh dari kata hangat.

"Kamu bodoh? Kamu ingin menghancurkan karir saya? Yessica Tamara Siallagan memiliki seorang anak? Begitu? Kamu mau orang-orang tau rahasia saya? Lalu karir saya hancur, pamor saya di dunia entertain anjlok karena gosip itu. Itu 'kan yang kamu mau, Marsha?"

"Ma, bukan gitu... "

"Lalu apa?"

"Marsha lenathea, kamu hanya cukup diam. Anggap saja kamu tidak mengenal seorang Yessica Tamara Siallagan di luar sana. Kamu hidup karena saya. Kalau karir saya hancur, kamu juga yang rugi. Paham?!"

....

"Duar..."

"Eh, bikin kaget aja. Kenapa?" Vito mengelus rambut putrinya begitu sayang, dia sama sekali tidak keberatan memangku anaknya yang kini tak lagi kecil, bahkan sebentar lagi beranjak menjadi remaja cantik. "Kok belum tidur?"

"Nggak ngantuk. Papa ngapain disini? Udah berapa bungkus rokok yang Papa habisin lagi malam ini?" tanya putrinya yang seakan menginterogasi.

"Baru juga satu bungkus, Ashel"

Adzana Shaliha Narendra, gadis 10 tahun itu mendorong bahu kurus ayahnya. "Jangan cium-cium Acel kalau Papa masih ngerokok. Acel gak suka"

Vito menghela napasnya, Ashel selalu seperti itu, tidak menyukai dirinya ini yang merokok. Dengan terpaksa Vito meletakan batang rokoknya di pinggiran asbak yang baru setengah di sesapnya.

"Sekarang Papa tanya, kenapa kamu belum tidur? Besok sekolah, lho"

"Belum ngantuk, Papa!" Ashel mencubit perut rata Ayahnya, perut ayahnya tidak buncit, tidak sixpack seperti roti sobek, perut Vito biasa saja.

"Jangan di cubit dong, sakit tau"

Ringisan Vito tak Ashel hiraukan, ia memilih menyandarkan tubuhnya di bahu Vito. Walaupun dada Vito bukan sender-able, tapi tetap dada Vito selalu terasa hangat, nyaman, rasanya tentram aja gitu. Hanya Vito yang selalu menjadi tempat ternyamannya selama ini. Belum ada yang lain, mungkin ada-- tapi, Ashel belum merasakannya. Orang itu terlalu jauh untuk Ashel gapai.

"Pa, tadi di sekolah Acel ada orang yang nawarin Acel ikut casting untuk iklan gitu." Elusan tangan Vito di kepala Ashel terhenti, "Tapi Acel tolak"

Vito menghela napasnya lega, ia membalikan tubuh Ashel agar ia bisa melihat wajah putrinya. "Baguslah. Jangan pernah mau ikut-ikut begituan. Papa gak setuju"

"Kenapa? Kenapa gak boleh? Kayanya seru deh, Pa"

"Jangan Adzana Shaliha Narendra! Dengerin Papa, jadi public figure itu gak gampang, ribet"

"Masak sih? Tapi kata Chalista temen aku, casting itu seru"

"Udah, udah, tugas kamu itu belajar, Ashel. Gak ada casting castingan." Vito mendorong pelan tubuh Ashel agar bangkit dari pangkuannya. "Udah maghrib, kita sholat dulu"



...

Hai, hai

Masih pemula nih aku, kritik dan sarannya selalu di tunggu ya.

If I Could Turn Back TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang