Part 17

581 65 22
                                    

"Obat apa ini?" mata Chika terbuka lebar saat melihat obat yang membuatnya bertahan akhir-akhir ini.

"Jawab gue, Chik! Jangan diem. Gue butuh jawaban lo" tanya Aran bertubi-tubi. Bahkan mata merahnya tak henti menyoroti Chika yang masih bergeming dalam duduknya.

"I-itu obat biasa. Udah siniin" Chika mencoba meraih botol kecil itu, namun sayang dengan cepat Aran menyembunyikan obat itu di balik punggungnya.

"Chik, jujur sama gue. Apa sih susahnya jujur?"

"Ran, itu cuma obat biasa. Please lah"

"Obat biasa? Ini bukan obat biasa, Chik. Pagi tadi gue ke apotek, gue tanya sama petugas apoteker di sana, dan jawabannya..." bibir Aran seketika kaku untuk melanjutkannya, lidahnya kelu.

"Ja-di... Lo udah tahu?" kini ganti Chika yang bertanya. Perlu diketahui jantungnya berdebar karena mengetahui ada satu orang lagi lagi yang sudah mengetahui rahasianya.

"Kenapa gak cerita ke gue sih, Chik? Kenapa, ha?!" tanya Aran jengah. Mata merahnya nyaris mengeluarkan buliran bening. Deru napasnya tak teratur seiring gemuruh di dadanya yang teromabk-ambik. Marah dan krcewa menjadi satu di sana.

"Jawab gue, Chika! Kenapa gak ngomong masalah sebesar ini?! Kenapa lo simpen sendiri, ha?"

"Untuk apa?! Supaya lo kasihan sama gue?!"

"Tapi gue sahabat lo, Chika. Gue juga berhak tahu, Chik. Bukan baru tahu sendiri kayak gini! Ini nyakitin gue banget, Chik"
Aran mengusap wajahnya dengan gusar. Demi apapun himpitan di dadanya saat ini semakin sesak saja. Bahkan untuk menelan salivanya saja rasanya susah setengah mati.
"Apa gue gak pantes untuk tahu? Iya, gue gak pantes?" rentetan kata-kata itu Aran keluarkan tepat di depan wajah Chika.

"Aran, lo jangan marah-marah dulu. Gue punya alasan, Ran!" Demi apapun dada Chika juga sama sesaknya seperti Aran. Dia juga masih belum tahu untuk bercerita mulai dari mana.

"Hal sebesar ini bisa-bisanya gue gak tahu, Chik. Lo anggap gue sebagai sahabat lo apa nggak sih, Chik?! Gue memang gak pantes untuk lo kasih tahu apa gimana?"

Chika menggeleng kepanya bersaman dengan tarikan napas yang semakin menghimpit dada. "Ran... Gak gitu"

Aran melengoskan wajahnya kala Chika mulai menatapnya dalam.

"Lihat gue. Dengerin penjelasan gue, boleh?"

"Aran..."

Ah, suara lirih Chika. Aran benci mendengarnya. Apalagi tatapan memohon itu. Aran tak akan pernah tega pada wanita itu. Wanita yang selalu dijaganya mati-matiin sejak 9 tahun terakhir ini.

"Pertama-tama gue minta maaf. Maaf karena gak cerita ke lo. Gue ngerasa--untuk apa gue cerita tentang apa yang sedang gue alamin ini? Ini cuma hal sepele yang gak perlu semua orang tahu 'kan?"

"Lo sakit, Chika! Dan lo bilang sepele? Gue gak ngerti lagi sama lo, Chik"

"Justru dari itu, Ran--Gak semua orang peduli sama gue, mau paham tentang gue, tentang sifat gue yang memang begini. Gue gak sesempurna seperti kata-kata orang, gue buruk, Ran. Buruk banget. Gue kira, hadirnya Marsha diwaktu yang gak tepat adalah titik dinamika kehidupan gue ya paling berat, tapi ternyata nggak. Sampai akhirnya Tuhan ngasih penyakit ini. Tuhan masih ngehukum gue, Ran. Kadang gue selalu mikir, apa salah gue, ya? Kenapa rasanya hidup gue gak pernah happy gitu. Orang yang gue cintai--dia pergi, dia benci sama gue. Bahkan sampai anak gue sendiri juga harus jauh sama gue. Cuma sekadar megang tangan anak gue aja sekarang gak bisa, Ran." Ada jeda yang Chika ambil kala himpitan di dadanya semakin menyesakan.

"Di sana kadang gue ngerasa sedih, Ran. Gue ngerasa hidup ini gak adil. Gue selalu berdoa, dalam doa gue, gue tanya sama Tuhan. Apa kurangnya gue? Dimana letak kesalahan gue? Kapan gue bahagiannya?Sampai suatu hari gue ngerasa capek, Ran. Gue mau nyerah aja dengan takdir Tuhan, dengan apa yang akan terjadi selanjutnya--mungkin mati lebih baik daripada harus hidup terus-terusan kayak gini"

If I Could Turn Back TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang