Part 15

579 63 24
                                    

Chika terbangun dengan kepala yang sedikit berat, tubuhnyapun masih terasa sedikit melayang. Samar-samar lagu-lagu yang beberapa saat lalu didengarnya kini masih mengalun, namun kali ini volumenya lebih kecil. Mata beratnya langsung mengerjap, mencoba mengamati sekelilingnya. Cahaya remang, botol-botol alkohol yang telah kosong itu tampak berjejer di atas meja bar, cukup banyak. Astaga, sudah berapa botol yang ia habiskan? Lalu kemana sang bartender tadi? 

Ah, miris sekali, ia tertidur di bar tanpa ada orang yang membanguninya hingga sudah selarut ini. Tapi masih untung ia tidak tergeletak di lantai, sofa hitam empuk di dekat jendela besar ini masih manusiawi untuk ditiduri. Begitu hendak bangun dari sofa sempit itu, Chika terkesiap saat mendengar ada hembusan napas halus tepat di samping telinganya. Butuh waktu 10 detik untuk mengamati siapa orang itu.

Dan... Betapa terkesiapnya dia lagi--Vito? Vito Narendra? Kenapa bisa?!

Oh my god, apa yang terjadi? Sudah berapa lama ia tertidur di tempat ini dengan Si Narendra brengsek ini? Demi apapun jantungnya seketika berdebar hebat. Kepalanya berat untuk mencoba mengingat. Bahkan tangan kekar Vito kini berada di lengan kirinya, menyangga tubuhnya agar tidak terjatuh dari sofa sempit ini.

Tanpa berpikir lama lagi, tangannya dengan cepat mencoba meraba, mencari letak keberadaan ponselnya. Senter ponsel sebagai penerangan dinyalakan, semoga saja tidak ada kebodohan yang ia dan Vito lakukan tadi. Begitu senter menyala, Chika langsung bernapas lega, dress cantiknya masih melekat, kaos dan celana Vito pun masih ada, hanya jaket laki-laki itu yang kini entah terlempar kemana.

"Aku kangen, Babe"

What?! Demi apa Chika kembali mendengar panggilan itu lagi? Babe? Tubuhnya sekarang membeku, walau itu hanya igauan semata.

Bahkan bukan hanya itu, beberapa detik selanjutnya Vito justru memeluknya, sangat erat. Astaga, bagaimana ini cara melepasnya? Chika benar-benar belum terbiasa dipeluk kembali oleh Vito walau sejujurnya ada yang hangat di relung dadanya saat ini.

"Semuanya kenapa begini, Chik"

Lirihan dari igauan Vito barusan entah kenapa membuat hati Chika teriris, seolah kata-kata tadi seperti gambaran dari isi hati Vito saat ini. Apalagi menatap Vito sedekat dan selama ini hanya membuat dadanya semakin sesak, napasnya tercekat. Sebenarnya kalau boleh jujur, sampai detik ini Chika masih meraba-raba seperti apa sisa perasaannya untuk Vito. Kata benci dan tuduhan egois yang selalu terapalkan dari mulut Vito masih membekas di dalam dadanya, enggan rasanya bagi Chika jika ia mengaku menginginkan adanya kesempatan kedua.

Dengan terburu-buru Chika langsung mencari keberadaan sepatu heelsnya yang terlempar jauh. Sebelum benar-benar tungkainya melangkah pergi, Chika menoleh lagi pada Vito yang masih tampak pulas di sofa kecil itu. Sejujurnya ada rasa tidak tega meninggalkan laki-laki itu di sini seorang diri. Apalagi tidurnya yang meringkuk memegang kedua lengannya, dia kedinginan.

Chika segera mencoba mencari sesuatu, tidak ada penghangat layaknya jaket yang ia bawa. Tapi, setelah mengubek tas slempangnya, ada sebuah syall rajut berwarna coklat, ini setidaknya membantu, pikirnya. Lantas Chika kembali mendekati Vito. Sebuah simpul di bibirnya terbingkai begitu syall itu terpasang di leher Vito. Sebenci apapun mengingat sikap Vito padanya, namun tetap pada akhirnya Chika tak sungguh tega pada Vito, pada seorang laki-laki yang menjadi ayah anak-anaknya.

....

Indah mengambil handuk kecil saat melihat Vito kembali memuntahkan isi perutnya di kamar mandi. Sudah sejak pagi tadi rutinitasnya diganggu dengan Vito yang muntah berkali-kali sejak pagi tadi. Dengan jalan yang masih sempoyongan Vito menghampirinya yang menunggu di ambang pintu kamar mandi.

If I Could Turn Back TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang