Part 9

446 66 12
                                    

Jika mengingat masa sulitnya dulu waktu berani berlibur dengan Chika ke Wae Rebo dengan low Budget, Vito masih harus berusaha mencari tumpangan truk kayu seharga 30 ribu yang dapat dijumpai di terminal Mena menuju desa Denge, desa terakhir sebelum ke Wae Rebo.

Sebenarnya menaiki truk kayu itu sangat seru, walaupun duduk berdesak-desakan dengan penumpang lain berjam-jam lamanya. Tapi perjalan tidak akan terasa karena mata akan dengan bebasnya menatap pemandangan sepanjang jalan Ruteng hingga Denge. Mulai dari bukit, persawahan, hingga pantai cantik dengan karang-karang besar di tepi jalannya.

Namun itu dulu, dulu dan sekarang tak sama. Dulu Vito pergi dengan orang yang berbeda, menggenggam tangan yang berbeda, tersenyum untuk orang yang berbeda. Begitupun Labuan Bajo. 9 tahun tak mendatanginya, banyak perubahan yang terjadi. Dari segi prasarana jalannya yang sudah lebih maju daripada dulu.
Jalan yang dulu rusak dan berbatu atau masih berupa tanah kini berubah menjadi aspal. Jalan yang dulu kecil kini diperluas, sudah banyak memiliki akses, tidak sedikit seperti dulu. Namun pesona alamnya masih sama sedari dulu, cantik.

Denge adalah desa terakhir sebelum menuju Wae Rebo. Ketika sore hari tiba, mobil sewa milik Vito berhenti di desa ini. Mereka memutuskan untuk beristirahat di salah satu homestay di Denge semalaman, lalu besok pagi melanjutkan perjalanan kembali. Lagi pula Vito tak mau memaksakan Indah dan Ashel mendaki dalam keadaan hari sebentar lagi mulai gelap.

Vito baru saja selesai membasuh badannya setelah tadi berganti dengan Ashel dan Indah, dia menjadi yang terakhir mandi. Indah tidur dengan Ashel, sementara dia dapat kamar sendiri. Dengan handuk kecil yang menggantung dileher, Vito mengeringkan rambut basahnya. Seketika atensinya teralihkan dengan pemadangan diluar.

Sejuk, itu yang Vito rasakan. Homestay ini dikelilingi oleh bukit tinggi dan hutan hijau di sekitar. Disini hening, tak ada kebisingan suara kendaraan karena tempatnya di pedalaman. Suasana seperti inilah yang Vito rindukan. Dulu dia pernah berniat, hanya berniat, berniat untuk tinggal menetap di Labuan Bajo bersama Chika, membangun rumah sederhana di ibu kota Manggarai ini. Itu dulu, dulu saat semuanya belum hancur, sebelum hatinya patah dan kecewa pada perempuan itu.

"Minum kopi dulu, Kak"

Vito menoleh, Indah datang membawa segelas kopi dan sepiring pisang goreng.

Wanita itu tampak cantik dengan daster motif bunga, jika seperti ini, Indah seperti-- ah lupakan. Vito tak ingin mengingatnya.

"Tadi aku habis bantuin istrinya Pak Martin masak di dapur" Indah meletakannya diatas tikar yang digelar di depan teras homestay. "Katanya kamu suka kopi khas flores, yaudah aku buatin"

Vito mengulas senyumnya, dia ikut duduk bersila bersama Indah disana. "Makasih, ya." seruputan kopi di kala cuaca dingin seperti ini memang nikmat, apalagi kopi hitam khas tanah flores ini, sudah lama Vito tak merasakannya. "Ah, mantap buatanmu, Ndah."

"Iya dong, siapa dulu? Indah" ujarnya sambil menyelipkan surai hitamnya ke belakang telinga, cantik. Vito kerap melihat Indah melakukan itu, mungkin itu adalah caranya menarik atensi laki-laki-- termasuk Vito.

"Wae Rebo itu dimana, sih, Kak?"

"Masih diatas, masih jauh" sebuah pisang goreng hangat Vito gigit lalu menyodorkan ke mulut Indah untuk dinikmati sepotong bersama. "Kamu kuat hiking gak? Soalnya butuh waktu 3 sampai 4 jam untuk sampai Wae Rebo."

"Kuat, kok. Dulu waktu di Jambi aku juga sering naik gunung, gunung kerinci"

"Oh ya? Berarti aku gak salah ngajak kamu kesini. Tinggal Ashel aja sih ini paling yang belum pernah hiking, jadi kita siap-siap aja kalau dia suka ngeluh nanti."

If I Could Turn Back TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang