Amara melanjutkan rebahan di kamarnya sendiri. Dari kamarnya masih terdengar suara hair dryer Dea yang cukup bising bercampur dengan suara azan magrib dari luar. Tower apartemennya yang memang berselebahan dengan perkampungan padat itu membuat suara azan selalu terdengar. Amara menjadikannya sebagai penanda waktu tanpa harus melihat jam.
Kekesalan masih menderu di hati Amara membuatnya tidak segera ingin bebersih bahkan sekadar mengganti baju. Padahal dia tahu, di masa pandemi seperti sekarang, bepergian keluar itu berarti berisiko ditempeli virus yang tak tampak mata. Amara merasa penat dengan sikap teman-teman di tempat kerjanya sekaligus sikap bosnya, Aditya. Sejak putus dengan pacarnya semasa SMU dulu dua tahun lalu, Bagas, Amara belum membuka diri hingga sekarang. Meski dia rindu mempunyai tempat untuk berbagi dan bermanja, tetapi trauma yang ditinggalkan Bagas saat itu terasa masih meninggalkan sakit yang mendalam.
Sulit bagi Amara untuk percaya dengan hubungan yang namanya LDR, setelah pengkhianatan yang dilakukan Bagas itu. Setelah berpacaran sejak kelas dua SMU, Bagas dan Amara berjauhan karena Bagas harus melanjutkan kuliah di Jogjakarta, sedangkan Amara melanjutkan kuliah di Jakarta sambil bekerja. Ternyata jarak membuat Bagas bisa mengambil keputusan untuk menghamili teman kuliahnya. Sejak itu Amara berkesimpulan bahwa laki-laki memang sulit menjalani hubungan jarak jauh.
Sambil rebahan Amara masih berandai-andai, mungkin bila dia ikut kuliah di Jogjakarta bersama Bagas saat itu, hubungan mereka mungkin masih terjaga dengan baik. Andai usaha orang tua Amara masih terus bagus hingga lulus kuliah, mungkin Amara dapat merengek ke papanya untuk kuliah di Jogjakarta untuk bisa terus bersama Bagas. Andai kakak pertamanya mampu mengatur usaha peninggalan turun temurun keluarganya itum tentu saja Amara tidak harus bersusah payah kuliah sambil kerja seperti sekarang ini.
Amara masih terus berandai-andai….Sambil membayangkan betapa nyamannya bila mempunyai kekasih yang dapat dicurhati dan diajak berbagi rasa serta masalah sambil bermanja. Tetapi nyatanya hingga kini Amara masih saja jomlo. Belum memiliki pacar baru. Sedangkan Bagas sudah menikah dengan pacar yang dihamilinya itu. Mengharapkan Bagas kembali rasanya tidak mungkin. Itu sama saja merusak hubungan Bagas dengan pasangannya yang baru.
Suara desing hair dryer dari kamar Dea memberi tanda pada Amara bahwa Dea telah selesai mengeringkan rambutnya. Kemungkinan sekarang mulai mencatok rambutnya dan membentuknya agak curly di bagian bawah. Amara sangat hafal dengan kebiasaan Dea dan gaya Dea saat akan berkencan.
“Kamu bakalan pulang engga malem ini, Deot?” teriak Amara dari kamarnya.
Dinding apartemen murah yang mereka tinggali memungkinkan teriakan antar kamar pun dapat didengar.“Belum tahu, Nyak. Liat ntar. Kenapa emang?” sahut Dea setengah berteriak pula dari kamarnya.
“Ga papa, nanya doang. Kalau kamu pulang kan aku bisa minta diajarin main Finder,” kembali Amara berteriak masih sambil rebahan.
“Ah elah…. Install aja dulu, Nyak. Susah beud dah suruh install aja, sini aku ajarin bentar,” nada Dea mulai terdengar tinggi.
Dengan malas Amara akhirnya memaksa tubuhnya untuk bangun berjalan keluar kamarnya untuk menuju kamar Dea yang berada di sebelah kamarnya. Rambutnya masai akibat rebahan, bajunya masih baju yang tadi dipakainya bekerja. Amara hanya melepas boleronya saja. Rok setengah paha dan kemeja satin putihnya masih menempel. Amara masih sangat malas untuk segera bebersih.
“Ini aplikasinya yang warnanya fuschia ini kan ya, Mak?” Amara bertanya sambil berdiri menyandar pada kusen pintu kamar Dea. Amara dan Dea memang memiliki panggilan sekenanya bila mereka ngobrol. Mereka tidak pernah punya panggilan paten yang dipakai sepanjang hari.
“Mana coba lihat?”
“Nih,” kata Amara sambil menjulurkan ponselnya ke hadapan Dea.
“Iya betul, Mpok. Tumben pinter,” Dea mengomentari sambil terkekeh. Berbeda dengan Dea yang selalu mengikuti perkembangan media sosial dan gossip-gosipnya, Amara tidak demikian. Amara kurang update untuk mengikuti perkembangan media sosial. Meskipun dia juga memiliki semua jenis media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter. Dea lebih mengikuti perkembangan media sosial karena sebagai influencer dan beauty vlogger, menurutnya itu kebutuhan mutlak untuk terus mendapatkan job dari sana.
Amara kembali merebahkan badannya di kasur Dea.
KAMU SEDANG MEMBACA
Virtual Love
RomanceSebagian orang tidak mempercayai cinta yang secara virtual. Sebab di dalamnya terasa hanya berkencan dengan bayang-bayang belaka. Tidak real. Amara juga berpendapat demikian. Menjalani hubungan jarak jauh menurutnya mustahil dilakukan. Namun, kepena...