1

86 20 11
                                    

"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, jika Allah sudah berkehendak. Segala sesuatu pasti terjadi, meski itu mustahil menurut pemikiran manusia."

• • •

Kedua pipi chubby Rana, mendadak menampilkan semburat merah. Ia merasa malu atas apa yang terjadi beberapa menit yang lalu, sungguh dirinya merasa tidak tenang akibat telah melakukan dosa tanpa disengaja.

"Selamat pagi!" sapa Raya seraya menyenggol-nyenggol bahu Rana supaya lekas berbalik badan.

Rana yang sedikit terganggu atas aksi Raya, lantas berbalik dengan sorot mata yang terus menatap ujung sepatunya. Ini lebih baik. Daripada membuat dosa lagi karena tidak sengaja saling bertatapan.

Raya yang keheranan melihat tingkah Rana, hanya bisa mengrejap-rejapkan mata. "Kenapa nggak di sapa?" bisiknya.

"Emangnya harus ya?" bingung Rana dengan suara sangat pelan.

"Harus banget!" desak Raya.

"As-Assalamualaikum," sapa Rana terbata-bata. Ia merasa gugup, sampai-sampai tidak bisa berbicara lancar.

"Waalaikumussalam. Kamu murid baru kan? Ayo ikut Ibu," ajaknya memasuki ruang Kepala Sekolah yang tepat di samping kiri Rana.

Membekap mulutnya, Raya mati-matian menahan tawa. "Aduh... perut aku sakit...."

"Kamu ngerjain aku ya?!" kesal Rana, padahal tadi ia gugup luar biasa, tapi ini salahnya juga yang tidak melihat dulu siapa orang di depannya.

"Siapa yang ngerjain?" bingung Raya yang telah berhasil menguasai tawanya. "Sudah sana masuk. Ah ya!"

Seruan Raya, membuat Rana tidak jadi membuka pintu. "Ada apa?"

"Aku harap. Semoga kita satu kelas! Sampai Jumpa Rana!"

------

"Aku nggak nyangka kita satu kelas!" oceh Raya. "Hooo, apalagi kita satu bangku."

Binar bahagia terlihat sangat jelas di kedua mata hitam Raya. Entah kebetulan atau apa, mereka dipertemukan kembali.

Memang, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika Allah sudah berkehendak. Segala sesuatu pasti terjadi, meski itu mustahil menurut pemikiran manusia.

Rana hanya tersenyum tipis menanggapi segala ocehan Raya di sampingnya. Ia juga merasa senang, tapi ia tidak bisa seheboh Raya untuk mengungkapkan kebahagiaannya.

"Raya, nanti kamu bisa di tegur loh kalau berisik terus."

Teguran halus yang keluar dari mulut Rana, sukses membungkam mulut Raya. "Hehe habisnya aku senang banget! Pake bangettttt!"

"Ehem. Tolong yang sedari tadi berisik, maju kedepan dan kerjakan soal ini!" titah sang Guru.

Semua pasang mata yang ada di kelas IPA 2, langsung tertuju kepada Raya. Suasana pun mendadak hening, sangat hening, tidak seperti tadi yang masih agak sedikit ribut. Memang di banding yang lain, suara Rayalah yang paling cempreng.

"Eh?"

-----

Kantin sangat ramai, penuh dengan murid-murid yang ingin mengisi perut. Mereka bahkan saling berebut karena ingin menjadi yang pertama.

Rana dan Raya tampak asik berbincang-bincang, di sela-sela mereka berjalan menuju kantin. Beberapa murid yang tengah hilir mudik di koridor, terang-terangan menatap Rana dengan tatapan aneh.

Rana mengerti dan paham tatapan yang di berikan para murid kepadanya. Tidak ada yang salah dalam dirinya, hanya yang membedakan. Rana menggunakan hijab, itu saja.

"Kenapa ke kantin aja harus bawa buku segala? Kamu kaya emak-emak penagih hutang tau," heran Raya.

Mengeratkan pelukan bukunya, Rana menjawab seadanya. "Ini buku selalu aku bawa kemana-mana ko. Aku suka nulis kegiatanku disini."

"Hai Ray!" sapa salah satu teman Raya yang tak sengaja berpapasan di koridor.

"Oh, Hai Ci!" sapa balik Raya.

Merasa di perhatikan, Rana membalas tatapan Cici dengan seulas senyum tipis.

"Ko lo mau si temenan sama dia?" tanya Cici sambil melirik Rana tidak suka.

"Emang kenapa kalau aku temanan sama Rana? Aku suka ko temanan sama Rana," decak Raya menahan emosi.

"Lo emang polos? Apa gimana si Ray? Orang yang kaya Dia, penampilan luarnya aja yang sok alim, padahal kelakuannya buruk," tutur Cici.

Rana yang melihat emosi Raya meletup-letup, langsung menyuruh Raya untuk beristigfar. Ia tidak mau Raya di kuasai emosi, karena segala sesuatu yang di kuasai emosi itu tidak baik.

"Kita mau ke kantin. Apa Cici juga mau ikut kita ke kantin?" tawar Rana.

"Apa?" teriak Raya tidak terima. "Kenapa harus ajak dia segala si Ran? Padahal udah jelas-jelas dia ngehina kamu!"

Cici melengos pergi begitu saja, membuat Rana membuang napas pelan. Tersenyum tipis, Rana segera menarik tangan Raya untuk membeli makanan.

"Kenapa kamu baik banget si Ran? Kalau aku jadi kamu, udah aku jambak tuh orang!" dumel Raya.

"Bukankah Islam mengajarkan kita untuk membalas keburukan dengan kebaikan?" tanya Rana.

"Iya sih! Tapi ini tuh nggak bisa di toleransi, itu orang udah mencemarkan nama baik kamu loh Ran," keukeuh Raya.

Selama Raya terus mengoceh, Rana terus bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia teringat salah satu kisah antara Nabi Muhammad saw dengan sahabatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq.

"Kamu mau dengar salah satu kisah menarik nggak?" pancing Rana.

"Kisah apa?" tanya Raya antusias.

Kini mereka duduk berhadapan di salah satu meja kantin. Ditemani makanan yang mereka beli tadi.

"Pada suatu hari, Rasulullah saw bertamu ke rumah Abu Bakar Ash-Shidiq. Tiba-tiba, datang seorang Arab Badui bergaya preman dan langsung mencela Abu Bakar," Rana memulai pembukaan dan terdiam beberapa detik untuk melihat ekspresi Raya.

Seakan mendapat sinyal untuk melanjutkan, Rana lantas kembali melanjutkan ceritanya

"Mereka terus memaki Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga dua kali, tetapi Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak pernah menanggapi makian mereka. Sampai..."

Raya yang tidak mendapat kelanjutannya, refleks menghentikan kunyahan basonya. "Sampai? Sampai apa? Jangan setengah-setengah dong ceritanya. Aku penasaran tau!"

"Sampai apa? Gue juga kepo, lanjutin ceritanya jangan setengah-setengah," pinta seseorang dengan suara bas maskulinnya.

Refleks Rana berdiri dari duduknya. Sebab laki-laki tersebut, duduk di sampingnya tanpa permisi. Sedangkan Raya menyemburkan potongan baso di mulutnya dan tepat mengenai wajah laki-laki tersebut.

"Eh buset! Kalau mau hujan kaya gini! Nggak ke muka gue juga kali!" gerutu laki-laki tersebut.

"Salah sendiri kenapa nggak bilang-bilang duduk disitu!" perotes Raya tidak terima.

"Ehem," Rana berdehem sedikit keras untuk mengehentikan aksi debat mereka. "Ayo kita ke kelas Ray. Bel masuk sebentar lagi bunyi."

"Tunggu!"

Rana dengan gesit menjauhkan tangan dari jangkauan laki-laki misterius itu, hampir saja kulit mereka bersentuhan.

"Ada apa?" tanya Rana tak sabaran.

"Nama gue Adam. Adam Firdaus," kenalnya. "Tadi kita sempet pan-"

"Rana!" sela Rana tanpa melihat wajah Adam.

Keringat dingin keluar di sela-sela jari Rana, hampir saja Adam mengatakan sesuatu yang memalukan untuknya dan tidak pantas untuk di bahas.

"Apaansih? Pan apaan?" tanya Raya yang kepo dengan kelanjutan kalimat Adam.

Adam tersenyum lebar saat mengetahui nama perempuan yang membuat 3 jamnya tidak tenang. Iya, dia adalah Adam Firdaus, orang yang duduk di bawah pohon beringin, samping lapangan basket.

Spam Next!

Jangan lupa vote!!

Cinta yang sebenarnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang