Pulang sekolah. Rana mengajak Raya untuk mampir ke rumahnya yang dibalas anggukan semangat dari Raya.
Rana memasukan semua peralatan tulisnya ke dalam tas dengan cekatan. "Iya sabar dong Ray. Ini aku juga udah mau selesai ko."
Raya yang tidak sabar, terus mengoceh panjang lebar di samping Rana. Salah satunya, meminta Rana untuk segera cepat membereskan alat tulisnya. "Buruan dong Ran. Aku nggak sabar banget, pengen liat rumah kamu,"
Melihat Keantusiasan Raya, membuat Rana tersenyum lebar. "Iya, ini udah ko. Ayo kita berangkat."
Selama perjalan pulang, Raya tak henti-henti berdecak kagum melihat pemandangan menuju rumah Rana yang begitu asri. Banyak pepohonan menjulang tinggi samping kanan-kirinya. Berbeda dengan jalan menuju rumah Raya, yang terlihat sepanjang jalan hanya ada bangunan-bangunan rumah yang padat.
"Ran. Aku jadi pengen tinggal disekitaran sini," celetuk Raya.
Rana yang tengah fokus melihat keluar jendela angkot, menoleh pada Raya. "Kenapa? Ko tiba-tiba pengen pindah rumah?"
"Habisnya disini seru banget!" ceria Raya.
Orang-orang yang berada di dalam mobil. Diam-diam mentertawakan tingkah Raya yang seperti anak kecil.
"Ray. Kita udah mau nyampe, siap-siap turun nih kita," ujar Rana.
Mereka keluar dari angkot dan berjalan beberapa menit untuk sampai ke rumah Rana. Sebuah rumah sederhana bertingkat dua lantai yang dilapisi cat berwarna gading. Terdapat taman mini serta sebuah garasi di sampingnya yang bisa menampung 1 mobil dan 2 motor.
Rana membuka pagar rumahnya. "Assalammualaikum Bunda! Rana pulang!" teriak Rana.
Raya tercengang mendengar Rana berteriak nyaring seperti itu. Pasalnya, Rana di sekolah terkenal pendiam dan sedikit ceria. Tapi ia tidak menyangka Rana bisa berteriak seperti gadis pada umumnya.
Sintia keluar dari ruang dapur dengan celemek pink yang tersemat di badannya. "Wa'alaikumussalam. Rana kan Bunda udah ingetin kamu berkali-kali. Kalo seorang wanita itu nggak baik buat teriak-teriak gitu. Karena suara kamu termasuk aurat," omelnya.
Rana nyengir, ia lupa akan nasihat sang Bunda setiap hari tentang teriakan. "Maaf Bunda. Kebiasaan."
Sintia menggeleng, lalu tersenyum hangat menyambut Raya yang berdiri dibelakang Rana. "Kamu ngajak siapa Rana? Ko nggak dikenalin sama Bunda temennya?"
Rana menepuk keningnya. Ia segera menggeser tubuhnya agar berdampingan Dengan Raya. "Ini temen aku Bunda. Namanya Raya. Nah Raya, ini Bunda aku."
"Hallo Tante," sapa Raya sambil menundukkan kepalanya.
Sintia berjalan menghampiri Raya, ia mengusap pucuk kepala Raya dengan penuh kasih sayang. "Wah kamu cantik banget dan nggak usah panggil Tante. Kamu panggil Bunda aja ya."
Raya tersentuh dan terharu. Ia seperti mendapat kasih sayang seorang Ibu yang selama ini ia idam-idamkan. Menggangguk sopan, Raya tersenyum lebar. "Eh, iya Tan. Eum maksudku Bunda."
"Ajak gih temennya ke kamar. Nanti Bunda bawain cemilan ke kamarmu," titah Sintia yang pergi dari hadapan mereka, setelah mencium kening putrinya.
"Bunda kamu baik banget ya," ungkap Raya.
Rana mengrejapkan matanya beberapa kali. Ia sedikit bingung maksud dari perkataan Raya barusan. "Pasti Bunda kamu juga baik karena kamunya aja baik."
Raya tertegun mendengarnya. Ia tersenyum miris dan cepat-cepat mengembalikan ekspresinya seperti biasa.
"Maaf ya kalo kamar aku sedikit berantakan," ujar Rana.
Raya menggeleng, membantah perkataan Rana. "kamar kamu rapi banget loh. Nggak kaya aku yang berantakan kaya kapal pecah."
"Anggap aja kamar sendiri. Aku ijin ganti baju dulu yah Ray," pamit Rana.
Raya mengedarkan matanya, melihat sekeliling kamar Rana yang terbilang luas. Terdapat meja belajar samping jendela, kasur besar di tengah ruangan, lemari baju dan meja rias.
Rana berjalan mendekat untuk melihat-lihat foto yang terpanjang di atas meja panjang dekat meja rias. Ia dapat melihat foto-foto Rana, dimulai dari dia kecil hingga tumbuh dewasa.
Raya terkekeh melihat wajah imut Rana ketika masih kecil. Pipi gembulnya membuat Raya gemes ingin mencubitnya. Raya terpaku melihat salah satu foto yang terdapat sebuah keluarga lengkap dan terlihat bahagia. Tangannya terulur mengambilnya, lalu mengusap-ngusap permukaan kaca itu dengan lembut. "Kamu beruntung banget ya Ran."
"Ray maaf lama," celetuk Rana yang baru keluar dari toilet yang ada di kamarnya.
Raya segera meletakan foto itu kembali sebelum berbalik menghadap Rana yang sudah berganti pakaian menggunakan gamis dan jilbab hitam. "Nggak ko Ran. Nggak sama sekali."
Rana hanya mengangguk lalu duduk di atas karpet tebal. Raya duduk di sampingnya. Mereka mulai bercerita banyak hal tentang film kesukaan, bacaan buku, hingga hal-hal terkecil yang mereka sukai.
Rana tersenyum melihat wajah ceria Raya. Tadi tak sengaja ia sempat mendengar gumaman lirih serta ekspresi sendu Raya. Rana mengerti, Raya tidak sedang baik-baik saja dan hanya sedang menutupi perasaannya. Agar terlihat baik-baik saja di depan orang lain.
------
"Ran. Terima kasih untuk hari ini. Aku bener-bener seneng banget loh bisa main ke rumah kamu," sahut Raya.
Kini mereka berdua tengah menuruni anak tangga. Hari sudah sore, membuat Raya terpaksa harus pulang.
"Kamu bisa ko dateng kesini kapanpun kamu mau," balas Rana.
"Loh. Raya mau kemana?" bingung Sintia.
Raya segera menghampiri Sintia yang sedang duduk di ruang keluarga untuk berpamitan. "Aku mau pulang Bunda. Ini udah sore."
"Nggak mau makan bareng dulu sama kita disini?" tawar Sintia.
Raya menggeleng sopan. "Nggak usah Bunda. Ngerepotin, ini juga udah sore. Takut kemalaman juga."
Sintia menggangguk paham. "Kamu dianter siapa pulangnya?"
"Aku diantar sopir Bunda. Sopir aku udah ada di depan," jawab Raya.
"Ya sudah hati-hati di jalan dan semoga selamat sampai tujuan," doa Sintia serata tersenyum.
"Aamiin. Aku pamit dulu ya Bunda, Assalammualaikum," pamit Raya.
"Waalaikumussalam. Lain kali main lagi kesini ya. Nanti Bunda buatin kue buat kamu."
"Hehe iya Bunda. Insya allah."
Rana mengantar kepergian Raya sampai depan gerbang rumahnya. "Sampai besok Ray!"
"Sampai besok juga di sekolah Ran. Aku pamit ya! Assalammualaikum!" Raya melambaikan tangannya di dalam mobil dengan kaca jendela yang terbuka lebar.
"Waalaikumussalam," jawab Rana melambaikan yang juga tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang sebenarnya
RomanceApa kau tau cinta yang sebenarnya seperti apa? Apa kau tau seseorang yang mencintaimu saat ini, mencintaimu karena tulus atau hanya nafsu semata? Inilah yang di rasakan oleh Rana Aqila Humaira. Gadis yang tengah dilema oleh kasih cinta seorang pemu...