|34☄

638 86 10
                                    

"bertahan, Fin..." Air mata Alda terus saja jatuh dan membasahi wajah Erick.

"Pak? Bisa makin di percepat?!" Pengemudi taksi itu mengangguk lalu semakin mempercepat laju mobilnya.

"Al... Gu-gue mau jujur" suara Erick yang hampir tidak terdengar membuat rasa bersalah semakin menggerogoti perasaannya.

"Gu-gue...takut te-terlambat, Al"

"Gak! Jangan ngomong gini, Fin. Mana Efin yang gue kenal? Mana?!"

Darah segar terus saja mengalir dari kepala Erick. Paha Alda yang dijadikan bantal oleh Erick, sudah penuh dengan darah.

"Gue mohon bertahan, Fin. Cuma lo yang gue punya"

Erick menggeleng dengan susah payah. "Ja-jangan sia-siain perjuangan gue, Al. Gu-gue sayang sama lo..."

"Gue lebih sayang sama, lo! Kalau lo pergi, gue ikut!"

Senyum tipis Erick membuat hati Alda semakin terhenyak. Siapa yang akan menjadi penyemangat hidupnya? Kenapa semesta ini seperti tidak adil?!

........

"Erick kenapa, Al?" Keluarga Erick berlari mendekati Alda. Jantung Alda berdetak tak karuan saat melihat wajah ibu Erick yang sangat lemah. Air mata ibunya turun membasahi wajahnya dengan sangat deras.

"Semua karena Alda, ma"

Ibu Erick menggeleng cepat. Menutup mulutnya dan menatap Alda tak percaya. "Padahal mama udah percaya sama kamu. Tapi ini balasan kamu?"

Vano datang mendekat ke arah Alda dengan wajah datar. "Balikin bang Erick! Kakak jahat! Kakak gak punya hati!"

Alda sesenggukan dengan suara yang tertahan. Ini semua salahnya. Keluarganya benar. Kenapa seorang gadis pembawa sial sepertinya harus dilahirkan ke dunia ini? Kenapa hidup Alda selalu mempersulit orang-orang?

"Semesta... kali ini aja berpihak padaku. Kali ini saja... Biarkan Erick hidup. Aku ikhlas jika penggantinya adalah nyawa ku sendiri,"

Miris sekali kau Lea! Miris! Bahkan untuk melanjutkan hidupnya saja, Lea merasa takut. Takut untuk melangkah dan takut untuk memandang ke depan.

"Apakah ayah dan ibumu mengajarkan ini padamu?" Pertanyaan itu begitu menyayat hati Alda.

"Aku gak pernah diajarkan, ma"

"Jangan panggil mama!"

Ayah Erick merangkul pundak ibu Erick lalu menariknya agar sedikit menjauh dari Alda. Dia tahu bahwa Alda butuh sedikit ruang.

"Maaf" Alda tersenyum kecut lalu berlari tak tau arah. Apakah dia harus bunuh diri juga?

Alda berlari dengan berulang kali mengelap air matanya yang tak henti-hentinya jatuh. Alda menghiraukan kepalanya yang sangat sakit dan juga dada yang sesak.

"Bentar lagi sampai, Al" semangat Alda pada dirinya. Alda tersenyum miris ketika kakinya sudah menginjak lantai paling atas di rumah sakit ini. Dia takut ketinggian, tapi Alda akan tetap melawan ketakutannya itu.

"Gue bakalan ikut, Fin," batin Alda.

Jantung Alda semakin berdetak tak karuan ketika melihat kebawah gedung ini. Tinggi. Bahkan sangat tinggi. Mungkin jika Alda jatuh, dia akan hancur pikir Alda.

Kaki Alda semakin berjalan mendekat. Ketika ujung kaki kanan Alda tidak menyentuh apa-apa lagi, Alda langsung tersadar. Dia mundur beberapa langkah lalu menjatuhkan tubuhnya ke lantai.

"Erick!" Teriak Alda keras. Alda sangat berharap tiba-tiba Erick datang dan memeluknya dari belakang. Tapi itu tidak akan terjadi, bukan?

"Ja-jangan pergi" gumam Alda sambil menjambak rambutnya.

"Gue bakalan ikut kalau lo pergi" tubuh Alda bergetar hebat. Keringat dingin memenuhi wajahnya.

"Kenapa lo mau ikut gue?" Alda tersadar dan langsung melihat ke sekelilingnya. Tidak ada orang selain dirinya disini.

"Lo dimana Erick?!" Alda mengedarkan pandangannya, mencari suara itu.

"Gue disini, Al," suara lembut itu, membuat Alda mencarinya seperti orang gila.

"Mana?!"

"Di hati lo"

"Gak usah gombal disaat-saat gini?!"

Suara kekehan itu membuat Alda semakin merasa dirinya gila dan bodoh. "Jangan tinggalin gue, Fin..." Alda menghapus air matanya kasar.

"Gue yakin lo kuat, Al. Gue pamit..."

"Gak! Jangan!"

Alda berlari menuruni tangga. "Aww" tanpa sengaja kakinya menginjak sebuah paku. Alda menghiraukannya dan semakin mempercepat langkahnya. Paku itu semakin menancap lebih dalam. Sakit dikakinya tidak sebanding dengan sesak di dadanya.

"Mana yang bernama Alda?"

"Saya, dok" semua orang langsung menoleh pada Alda. Alda berjalan dengan tertatih-tatih. Lantai dipenuhi dengan darah ketika kakinya menginjak lantai.

Pandangan semua keluarga Erick teralihkan pada Alda. Antara sedih, marah dan prihatin memenuhi perasaan mereka saat melihat Alda.

"Kaki a—"

"Gak papa, dok. Erick gimana? Dia sadar? Dia baik-baik aja 'kan?"

Dokter itu terdiam sebentar, kembali menatap wajah Alda dengan senyum kecut. "Sekarang giliran kamu kedalam ruangan. Erick mencarimu..."

Alda mengangguk lalu menerobos masuk kedalam ruangan. Penyesalan dan juga rasa bersalah menggerogotinya. Erick terlihat tersenyum tipis dengan banyak alat rumah sakit yang terpasang pada tubuhnya. Alda tidak tau alat apa itu dan apa kegunaannya, tapi rasanya Alda ingin menarik dan melepas itu secara paksa.

"Hey?"

"Lo gak bakalan pergi 'kan?"

"Akan"

"Ha?! Jangan bercanda!"

"Gue akan pergi, Al. Gue mau jujur dulu tapinya. Gue sayang sama lo, melebihi apa yang lo sangka"

"Iya lo sayang sama gue karena sahabatan 'kan"

"Enggak. Lebih. Gue capek, Al"

"Capek kenapa?" Alda duduk di kursi yang ada di sana. Menarik tangan Erick dan menggenggamnya dengan erat. Jantung Erick berdesir pelan.

"Gue capek berjuang sendiri. Gantian yok. Lo yang berjuang, gue yang ngejar orang"

Alda terbungkam oleh ucapan Erick. "Jangan bohong!"

"Gue gak bohong. Lo gadis yang bisa buat gue nyaman. Lo bisa buat jantung gue berdegup kencang. Lihat senyum lo, gue ngerasa senang"

"Ya udah, ayo berjuang bareng" refleks Alda mengucapkan itu.

"Gak bisa, Al. Udah terlambat. Gue yakin, lo bisa dapatin Adit. Berjuang! Nanti kalau udah capek, istirahat ya... masih banyak waktu. Masih banyak laki-laki yang bahkan bisa jaga lo dan memperlakukan lo itu kayak ratu. Jangan mau sama orang yang memperlakukan lo itu kayak gak berguna dan gak penting, ya?"

"Gak. Gue mutusin buat sama lo aja,"

"Kata semesta udah selesai"

"Gak! Semesta gak adil!"

Tiba-tiba nafas Erick putus-putus. Dia merasa sulit untuk bernafas. "Gu-gue cinta sama lo... Gue se-nang karena... perasaan ini bi-sa gu-e bawa ma-mati..."

Suara elektrokardiograf (EKG) membuat Alda kaget. Mata Erick perlahan-lahan tertutup dengan senyum menghiasi bibirnya.

"Erick! Jangan tinggalin gue!" Alda menggoyang-goyangkan tubuh Erick dan tidak ada reaksi Erick. Garis lurus di EKG itu membuktikan bahwa hidup Erick hanya sampai disini.

"Gue nyesal!"

Belum ending!🤰😭👍

Ratu Penggosip (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang