“Kenapa ia tak pernah menanyakan kabarku?”“Karena ia sudah tahu.”
***
Sabtu adalah bumi. Pendiriannya selalu penuh ambisi, kendati tak pernah ada yang benar-benar peduli. Ditatapnya langit sore tanpa senja yang menyisakan rintik-rintik hujan yang pada mulanya begitu deras. Memorinya berputar, mengenang peristiwa yang selalu membuatnya segan kalau bumi adalah tempatnya menjalani kehidupan.
Langit kelabu mengingatkannya pada hari itu. Di mana ia mendapat kebahagiaan sekaligus kesedihan dalam satu waktu. Namun, akhirnya tetap saja pilu. Pria itu pergi pasca dalam satu hari mereka habiskan bersama. Mengelilingi kota, mencari buku-buku sastra yang melegenda dan bercerita lalu tertawa sampai mereka lupa akan lara.
“Aku Jumat, kamu Sabtu,” ujarnya kala itu.
“Kamu air, aku bumi,” ia menjawab sambil terkekeh. Bersama rintik hujan serta pemandangan langit yang tak lagi berwarna jingga ataupun biru. Sesaat mereka seperti orang yang paling bahagia sedunia. Dengan percakapan-percakapan klise yang mengundang tawa. Serta berangan-angan tentang masa yang penuh suka cita.
“Kira-kira lima tahun ke depan aku sedang apa, ya?” Gadis itu bertanya pada pria di sisinya. Seraya menikmati angin sore, di tepi danau mereka berhenti. Duduk bersisian layaknya sepasang kekasih.
“Mengira-ngira? Kalau perkiraan itu salah bagaimana?”
Gadis itu hanya mengedikan bahunya, ia selalu merasa kalah tatkala berbincang dengan pria itu. Lantas ia mengambil kerikil kecil di sekitarnya. Sambil mempertahankan senyum, ia memberikan sebagian batu-batu itu pada orang di sisinya.
Seakan tahu melihat raut kebingungan dari pria itu, ia berujar, “lempar!
“Untuk apa?”
“Untuk mengenang.”
“Mengenang?”
Gadis itu mengangguk kegirangan, layaknya anak kecil yang menikmati wahana bermain, ia melempari satu persatu batu itu. Pria di sisinya hanya menggelengkan kepala, tidak tahu apa tujuan dan apa faedahnya, ia juga sama-sama melempar batu-batu itu.
“Kamu janji?”
Pria itu menggeleng, “janji itu bukan suatu hal yang pasti, aku tidak ingin mengambil risiko kalau janji itu diingkari.”
“Menolak! Padahal aku belum sebutkan apa-apa.” Ia memberengut sebal.
“Bukan begitu, anak manis,” ujarnya seraya mengacak rambut gadis itu.
“Lalu?”
“Yang terpenting adalah bukti. Janji itu hanya ilusi.”
“Puitis, ya?”
“Tapi, karena ada janji, maka harus ada bukti. Bukan begitu, anak nakal?” lanjutnya seraya memicingkan mata.
“Aku anak baik-baik, ya!” sergah pria itu tak terima.
Ia tertawa lepas, hari itu adalah hari terakhir. Hari terakhir mereka bersama. Seperti hujan yang jatuh tanpa diminta, serta pelangi yang datang setelahnya. Tapi, yang ia rasakan malah sebaliknya. Pelangi itu telah pergi, digantikan dengan badai yang menyuruhnya untuk menepi.
Tidak ada janji, tidak ada bukti. Karena pria itu memilih pergi. Sebelum dirinya meminta apa-apa, sebelum mengungkap rasa yang ada di benaknya. Benar, ia tidak kembali. Tepat, hari ini. Sabtu dan langit yang kelabu. Ia tak meratap pilu, hanya saja ...
Rindu.
Tapi, mustahil untuk mereka bisa bertemu.
Jawa Barat, 04 Februari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You Okay?
Short StoryKetika setiap luka tertutupi hanya dengan kata: baik-baik saja.