3. Ruang Kesedihan dan Tahun Kesepian

40 9 5
                                    

“Kamu tidak apa-apa?”

“Ya, begitulah kenyataannya.”


***


Lantunan musik hurts so good yang dibawakan oleh Astrid S itu menggema di kota mati yang selama ini ia tempati. Tujuan yang berbelok, membuatnya mengalami kebingungan luar biasa. Dirinya berjalan terlalu cepat, hingga ia tersesat. Semuanya hilang, tertelan oleh kenyataan yang memilukan.

Saat orang-orang bertanya, “kamu mau ke mana?” yang dijawabnya dengan menggelengkan kepala. Di benaknya ia berpikir mereka hanya penasaran, terlalu ikut campur yang bukan urusannya. Orang-orang seperti itulah yang mengesalkan.

Rongga langit kamar ditatapnya nanar. Dibayangnya hanya ada pertanyaan-pertanyaan yang sukar untuk mendapatkan jawaban. Semuanya terasa mustahil. Kerap ia berharap dan tak kunjung tergarap. Semuanya menggantung. Di hiruk pikuk udara dan semesta yang hampir putus asa.

Tahun ini adalah tahun paling membingungkan. Titik penentuan di mana ia menjalani kehidupan. Ruang kesedihan itu semakin menggelora. Menyentak alam lamunannya. Semakin hari semakin samar untuk terlihat.

Ia membuka tirai jendela yang dibiarkannya selama satu tahun terakhir ini. Tampak usang dan berdebu. Cahaya matahari masuk lewat celah yang tersisa. Ia merasa pengap di sini sendirian. Memikirkan kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.

Tahun ini adalah tahun kesepian. Bersama buku-buku sastra yang berjajar di setiap penepian serta musik yang mengalun seiring waktu berjalan. Hatinya terlalu kuat untuk mengeluarkan suara. Kendati dibicarakan sedemikian rupa pun mereka selalu segan untuk percaya. Itulah bukti, kalau mereka tidak peduli.

Ia membuka lembar buku yang sedang dibacanya, kumpulan puisi karya Boy Candra: Dongeng-dongeng yang Tak Utuh. Tepat di halaman ke seratus, sajak itu berbunyi:

Setiap pagi pukul tujuh lewat

Aku selalu tinggal sendiri di rumah

Aku memilih masuk ke dalam lembar demi lembar buku

Lalu menghilang dan tak muncul

Kau tak akan mencariku

Atau jika pun kau ingin

Barangkali kau tak akan menemukan apa pun.

 
Sajak-sajak itu menjadi teman setia baginya. Sakit yang ia rasa perlahan pudar seiring waktu berputar. Menjalani kehidupan tanpa harapan. Hanya karena ia tak ingin lagi dipatahkan. Kendati demikian, keraguan yang mula-mula menerpa itu akhirnya tersingkap juga. Secercah keyakinan yang tak pernah ia ungkapkan ada di bagian perencanaannya.

Orang-orang banyak mengetahuinya, tapi tidak mengenalnya. Tidak sampai delapan puluh persen dari mereka yang mengetahui fakta tentangnya. Yang mereka tahu hanya luarnya saja. Itu cukup membuat ia tertekan. Ditatap dan dihakimi tanpa kenyataan yang pasti adalah hal yang sangat ia hindari. Maka dari itu, tak ada lagi hiruk pikuk manusia yang saling melempar canda atau sekumpulan orang-orang yang sedang berbagi duka. Ia memilih memendam itu semua. Sendirian, dan itulah kesenangan.

Ketika orang-orang cenayang menyadari raut wajahnya yang murung, mereka berusaha menegur, “kamu tidak apa-apa?”

Sambil terkekeh ia menjawab, “ya, begitulah kenyataannya.”

Jawa Barat, 03 Februari 2021

Are You Okay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang