2. Rasa Sakit yang Begitu Baik

77 10 3
                                    

“Kamu baik-baik saja?”

“Ya, aku baik-baik saja.”

 ***

Selasa, hari kedua di bulan kedua. Di tahun yang berbeda tatkala ia merasakan sakit yang tak ada penawarnya. Tahun lalu tepatnya, ketika semua itu terjadi. Sungguh, sebenarnya ia tidak ingin mengingatnya kembali, tapi karena saat ini ia sedang mencoba untuk menuliskan semua luka itu di sebuah cerita panjang yang tak menjanjikan kebahagiaan, mau tak mau ia harus merasakan sakit itu kembali.

Pengkhianatan. Satu kata yang ada di benaknya saat ini. Ia menatap laptop di hadapannya, beserta secangkir kopi panas di sisinya. Ia fokus merangkai kata. Memutar ulang semua kejadian yang pada saat lalu ia rasakan. Dipatahkan oleh harapan dan berujung pengkhianatan.

Tepat, di usianya ke tujuh belas tahun, pertama kalinya ia merasakan jatuh dan patah hati dalam waktu yang sama. Saat itu, dunianya benar-benar runtuh. Semua kebaikan yang ia sebarkan tak ada gunanya sama sekali.

Saat lima tahun menjalin persahabatan, yang ia terima hanya kepalsuan. Kala itu, mereka jatuh cinta pada orang yang sama. Ironis terdengarnya, tapi semua itu di luar kendalinya. Ia tak tahu, kalau sahabatnya itu juga menyukai pria yang sama. Dan pada saat rasa sakit itu tercipta, ia hanya bisa menerima dengan lapang dada. Cinta pertama yang tak dapat digapainya. Pria itu memilih sahabatnya, daripada dia. Semenjak kapan ia dibodohi begini? Semenjak mengenal rasa yang tak ada gunanya itu.

Setiap kali ia mencurahkan isi hati pada sahabatnya kala itu, sejak itu ia menjadi orang paling bodoh sedunia, hanya karena satu hal yang bernama: cinta. Dan pada ujungnya, ia kehilangan keduanya. Seorang sahabat yang melupakannya dan ia yang tak mendapatkan cinta pertamanya.

Detik ini, tangannya bergerak lincah menyuarakan rasa sakitnya. Tak disadari air mata berurai tanpa diminta. Cukup. Cukup sudah, sampai di akhir paragraf, ia menuliskan:

“Nanti, kalau kamu suka sama seseorang, bilang, ya. Bukannya menjadikan aku bodoh dengan kamu yang berpura-pura tidak tahu. Saat itu kalian sedang dekat, aku baru tahu, sampai akhirnya kalian memilih bersama. Tidak, aku tidak begitu kecewa. Tapi, yang menyakitkan adalah ketika kamu, sahabatku. Kamu mungkin lupa, aku masih ada di bumi atau tidak. Kamu ikut serta menghilang, bersama pria yang kuanggap cinta pertama. Kusebut hal itu sebagai: pengkhianatan.

Sejak saat itu, ia memutuskan untuk menjadi seseorang yang kuat dengan cara mengabadikan semua rasa sakit itu pada tulisan. Meskipun sebenarnya ia tak bisa. Ia terlalu lemah untuk berbicara dan itu pun kepada siapa. Semua orang sibuk dengan dunianya, sementara ia yang sibuk dengan rasa sakit yang tak kunjung ada obatnya.

Rasa sakit yang begitu baik. Sampai-sampai ia lupa kalau dirinya serapuh itu. Ia menjadikan semua luka itu sebagai inspirasinya. Karena kalau ia hanya merasakan bahagia, egois kelihatannya. Kendati demikian, ia menahan luka di dadanya. Yang setiap harinya kian terbuka seiring ia menuliskannya.

Setiap orang yang menanyakan kabarnya, ia jawab dengan hal yang serupa.

“Kamu baik-baik saja?”

Sambil tersenyum, ia mengangguk, “ya, aku baik-baik saja.”

Jawa Barat, 02 Februari 2021.

Are You Okay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang