5. Diskriminatif yang Bervariatif

15 3 0
                                    

“Kamu pernah menemukannya?”

“Ya, di barisan sajak, terselip kata-kata. Aku menemukannya.”


***

Aku ingin keluar dari lingkungan yang menghakimi setelah selama ini terjebak bersama mereka yang pura-pura mengasihani. Ketika diskriminasi semakin menjadi-jadi, lantas aku harus bagaimana? Berkeluh kesah di media sosial? Atau melakukan unjuk rasa, tapi siapa orang yang merasakan hal yang sama?

Sesaat aku memikirkan, ketimpangan itu sulit untuk disuarakan. Pernah suatu saat aku berkumpul dengan kedua temanku. Kami berkumpul pasca setelah hampir tiga tahun tidak bertemu. Awalnya kami satu SMP, tapi setelah lulus kami berbeda arah. Di usia kami yang menuju tahap dewasa ini, tak mudah untuk memahami makna kehidupan sebenarnya, ditambah dengan masalah asmara yang hanya itu-itu saja serta masa depan yang awalnya terencana, berakhir dengan kata: “entah bagaimana.”

“Kenapa orang bahagia enggak selamanya bahagia?”

“Kenapa juga orang yang sedih harus selamanya sedih?”

Lantas saat seperangkat pertanyaan dan jawaban itu dilontarkan, kami tertawa bersama. Selera humor yang berbeda dari orang-orang kebanyakan. Padahal, jika dibicarakan lebih dalam itu bukan lawakan. Atau mungkin, kami berusaha untuk mengusir kecanggungan.

“Porsi setiap manusia dalam bahagia itu berbeda-beda,” ujarku menengahi.

“Kalau yang bahagia seterusnya bahagia, berarti yang sedih pun harus selamanya sedih?” Aku bertanya seperti mengintimidasi. Kedua temanku saling tatap.

“Enggak adil namanya!” Mereka berujar bersamaan. Lantas aku terkekeh seraya membenarkan posisi kacamataku.

“Adil menurut pandangan kalian itu, bagaimana?”

“Sama rata, mungkin,” salah satu temanku menjawab dengan ragu.

“Tapi, apa keadilan selalu menjanjikan kebahagiaan?”

Mereka tampak berpikir keras dengan pertanyaanku yang menyimpang dari tujuan awal pertemuan ini diadakan. Kami bertemu setelah sekian lama dan pada akhirnya yang dibicarakan itu-itu saja. Sama sekali tidak berubah. Seperti tiga tahun yang lalu, kami menyuarakan keadilan yang berujung penindasan. Ujung-ujungnya kami pula yang menanggung semua beban.

Satu kata: keadilan. Selama ini kita menjunjung perbedaan yang mengacu untuk persatuan, tapi, pada akhirnya akan selalu ada yang merasa didiamkan. Suaranya, pemikirannya, tingkah laku serta pendapatnya tentang semua yang terjadi di bumi ini. Diskriminatif yang begitu variatif. Pun dengan kebahagiaan. Pernahkah kalian mengira, kenapa selalu ada dua hal yang berbeda. Baik, buruk. Sedih, senang. Dan semua perasaan manusia pada umumnya.

Bagaimana keadilan tercipta, jika yang dilakukan hanya diam saja? Kenapa tidak sama rata? Kenapa sulit untuk melakukan persatuan tanpa harus ada perbedaan? Jawabannya hanya satu, guruku pernah berkata, “mustahil jika persamaan bisa menjadikan persatuan. Mustahil, benar-benar tidak mungkin.”

Tapi, apa pernah kalian berpikir, kalau semua ini tidak adil. Kenapa harus ada golongan? Kenapa harus ada perbedaan, jika keadilan saja sulit untuk ditegakkan.

“Keadilan yang mana dulu?” ujarnya.

“Hidup itu jangan mengacu pada kebahagiaan. Ujung-ujungnya malah kalian yang tertekan.”

Aku hanya diam.

Pada akhirnya, apa yang kita lakukan, itulah yang akan kita dapatkan.

Jawa Barat, 08 Februari 2021

Are You Okay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang