Delapan: Jalan Mana?

408 107 13
                                    

Now playing: That's Okay - D.O

***
"Kamu tau apa yang paling diinginkan setiap orang di muka bumi ini? Kebebasan mereka untuk bermimpi setinggi-tingginya, dan kesempatan untuk mewujudkannya."

***

Ada resah yang pasti diresahkan hampir semua murid tingkat akhir belakangan ini. Apalagi kalau bukan, menentukan jalan apa yang mereka pilih selepas SMA nanti. Tak terkecuali Rayna dan Illio. Sama seperti bagaimana mereka menentukan sekolah mana yang mereka ingin masuki seperti sebelumnya. Hari ini, mereka bergantian masuk ke dalam kantor sang ayah. Meminta saran, ataupun memberi keputusan jalan apa yang ingin mereka pilih.

"Lo udah isi angket?" tanya Illio kepada Rayna yang sama-sama menunggu sang ayah, membolehkan mereka masuk ke dalam ruang kerja.

"Udah," jawab Rayna santai, menunjukkan lembaran angket yang berisi jurusan dan universitas apa yang ia pilih untuk melanjutkan kuliah. "Terakhir ngomong sama ayah, dia bilang selama gue yakin sama pilihan gue ya dia dukung. Makanya gue nggak ragu lagi."

"Jadi lo cuman mau kasih tau keputusannya?"

Sebuah anggukan diberi oleh sang kembaran. Alih-alih tenang, Illio justru merasa makin gugup. Ia melirik angket dari kesiswaan yang diberikan padanya sejak awal masuk. Kertas itu masih bersih, kosong tanpa ada satupun jawaban yang terisi di tiap pertanyaan selain data diri. Seminggu setelah menerima angketnya, Ia sudah diminta untuk memikirkan secara serius kemana tujuannya setelah lulus nanti. Namun ini sudah 3 minggu semenjak ia menerima angket, dan tersisa seminggu lagi untuk dikumpulkan.

Illio tetap tak bisa memutuskan apapun.

"Besok lo lowong nggak?" tanya Illio mengalihkan pembicaraan, ketika ia rasa atmosfir sekitarnya menjadi terasa begitu serius. "Temenin gue nyari kado yuk, buat ulang tahun Syahla."

"Kenapa nggak ngajak Airin? Kali ini lo nggak lupa punya pacar kan?" sindir Rayna, mengingatkan Illio beberapa kali ia kelupaan janji temu atau sekedar kencan bersama Airin. Salah satunya ketika ia lupa menjemput Airin di bandara, yang kerap dijadikan bahak olok-olokkan Rayna hingga sekarang. "Gue nggak bisa, udah ada janji."

"Yaudah besok gue sendiri aja," gumam Illio seraya menghela napas. Ia melirik ke ruang tengah, menemukan Hanan sedang membantu Mamanya memilih paduan roti dan minuman yang tepat untuk dipromosikan besok. Kebetulan besok adalah hari Sabtu, itu tandanya kafe akan lebih ramai dari biasanya karena bertepatan dengan malam minggu.

"Oh iya, gue mendadak penasaran. Airin tuh berapa bersaudara sih?"

"Airin tuh-"

Ucapan Illio langsung terhenti ketika ia sadar, bahwa dirinya tak pernah menanyakan tentang keluarga Airin sama sekali. Ia sempat melihat foto ibunya beberapa kali melalui postingan sosial medianya, namun selebihnya Illio tak tau. Bahkan ketika ia bermain ke rumah gadis itu Illio hanya berbicara dengan ibunya beberapa kali, itupun tak lama karena biasanya mereka akan langsung pergi jalan-jalan.

Rayna memasang raut wajah tak percaya, "Gila lo nggak tau keluarga dia gimana? Bahkan berapa saudaranya aja nggak tau? Lo tuh beneran pacaran sama dia?"

Pertanyaan itu lagi. Jujur saja Illio sudah muak ditanyakan hal tersebut oleh Rayna, apalagi dengan nada bicaranya yang seolah menghakimi. Wajar bukan kalau Illio tak tau, dia dan Airin memang tak begitu dekat sejak awal meski ia berteman dekat dengan Rehan. Mereka hanyalah teman sekelas, dan baru mulai lebih dekat ketika datang ke pentas seni sekolah Rayna.

Mendadak suara dering ponsel terdengar, sebuah lagu kpop yang belakangan ini kerap Illio dengar dari dalam kamar Rayna. Benar saja, sang kembaran merogoh ponsel dari dalam saku celana lantas menjauh dari depan pintu. Menjawab telpon yang mungkin dari editor novelnya.

A+ [JUM'AT - SABTU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang