Dua Puluh Empat: Runtuhnya Tembok

290 74 10
                                    

Now Playing:  Dibalas dengan Dusta - Audy

***
"Siapapun akan merasa tidak berguna ketika mengetahui bahwa orang yang terkasih menyimpan rasa sakit seorang diri."

***

Tiga tahun lalu.

Illio yakin sekali 3 tahun lalu adalah kali terakhir ia melihat Vina menangis. Berteman dekat dengan sahabat kembarannya sendiri, membuat Illio belajar tentang wanita dan perasaan lembutnya dari mereka. Bukan sekali dua kali, teman-teman Rayna akan datang padanya untuk curhat hingga menangis. Biasanya ia akan mengangguk sok paham bahkan meledek hingga dihadiahi satu atau dua jitakan ketika mereka menangis.

Namun, selalu ada pengecualian akan sesuatu.

Setiap Vina menangis, Illio akan duduk diam di sampingnya. Tak mengatakan apa-apa, hanya duduk di sana. Ketika tangisan gadis itu sudah mulai menenang, barulah Illio akan menawarkan kukis ataupun susu coklat. Tentunya sesekali diselingi candaan yang akan membuat Vina tertawa hingga lupa penyebab menangisnya tadi. Sayangnya Vina jarang sekali menangis, itulah mengapa tak ada yang menyadari perlakuan berbeda Illio.

Kasus Vina, menjadi kali pertama dan terakhir bagi Illio melihat Vina menangis sepedih itu. Ia melihat sendiri bagaimana Vina ikut menangis di depan kamar Rayna bersama teman-temannya yang lain, ketika Rayna mengurung diri untuk kali kesekian di kamarnya. Ia juga yang menjadi saksi bisu, kala Vina kerap menangis di pekarangan rumah ketika menyadari tubuh Rayna yang semakin mengurus akibat rasa stressnya.

Hari itu, Vina sendiri yang berjanji pada Illio bahwa ia takkan membiarkan Rayna jatuh lagi. Ia akan memastikan dirinya menjadi orang yang memilah, siapa saja yang pantas untuk dipercayai sang sahabat meski itu artinya dia harus merubah sifatnya menjadi tak mudah di dekati. Itu juga menjadi kali terakhir Illio melihat Vina sebagai dirinya sendiri.

Sekarang Illio melihat lagi ekspresi mendung di wajah Vina. Gadis itu duduk termenung di salah satu kursi. Sendirian. Tak ada Irfan disana, karena pemuda itu sempat memberitahunya bahwa ia harus pergi lebih cepat karena jadwal bimbelnya. Sementara, kedua orang tua Adrian mungkin sibuk mengurusi prosedur administrasi Adrian ataupun mengurus anak bungsu mereka. Meninggalkan Vina yang hanya duduk termenung, sejak Ibu Adrian memberi tau kondisi pemuda tersebut.

"Vin."

Suara Illio sedikit serak, ketika akhirnya dia memberanikan diri mendekat setelah cukup lama hanya mengamati dari jauh. Vina yang memang terlihat kehilangan fokus, segera menoleh lantas menatap Illio tenang. Mulutnya tak mengatakan apa-apa, hanya menatap Illio dalam keheneningan.

"Ayo pulang," ajak Illio kini berjongkok di hadapan Vina agar dapat bersitatap. "Udah malam, lagipula Adrian di ruang IGD kan? Lo nggak bisa jenguk."

"Rayna udah bisa dihubungin?" tanya Vina sembari membuka ponselnya, berharap ada pesan dari sang sahabat setelah sekian lama. Namun, hasilnya nihil.

"Gue dikasih tau, Rayna sama Hanan langsung tidur habis sampai disana. Jadi baru beberapa jam lagi, sampai dia bisa dihubungin." Illio mengeluarkan sebuah jaket abu-abu dari dalam tasnya, lantas menyampirkannya di pundak Vina. "Udah malam juga, jadi ayo pulang."

"Tapi-"

"Ayo pulang."

Tangan Illio langsung menarik tangan Vina lembut, memaksa gadis itu bergegas berdiri. Layar di salah satu sudut dinding lobi menunjukkan hari sudah malam, untungnya ia sempat mengirim pesan ke orang tua Vina mengabari kalau gadis itu pulang telat dan apa yang terjadi hari ini. Tau bahwa Vina akan lupa mengabari keluarganya.

A+ [JUM'AT - SABTU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang