Wanita Angkuh (bagian 2)

93 6 0
                                    

Pria itu terhenyak. Tangannya gemetar. Ia memang miskin, namun dalam hatinya ia masih mempunyai harga diri sebagai seorang manusia.

“Maaf Nona, saya-”

Pria itu ingin menolak, namun tatapan Amelia sudah terlebih dahulu mengintimidasinya. Membuat pria itu langsung menjatuhkan pandangannya.

Beberapa orang yang ada di luar, bahkan penjaga kafe, sampai berhenti dan melihat ke arah Amelia dan pria itu. Mereka bergumam, bertanya apa yang sedang terjadi. Kerumunan orang makin banyak. Membuat Erlita dan Gita merasa tak tenang.

“Eh, sudah biarin saja. Dia kan enggak sengaja nabrak kamu juga,” ucap Erlita sambil menarik kecil kain baju Amelia.

Amelia menepis tangan Erlita.

“Jangan ikut campur. Dia menabrak ku. Bukan menabrak mu!” tegas Amelia. Membuat dua temannya itu pasrah. Dan hanya bisa berharap agar pria itu segera menuruti perintah Amelia, agar tontonan ini cepat berakhir.

Dengan terpaksa, pria itu patuh. Ia menundukkan badannya hingga mulutnya hampir menyentuh tanah. Dengan penuh rasa hina. Ia mengambil sekeping demi sekeping recehan yang tercecer itu.

Beberapa orang yang tidak tahu apa yang sedang terjadi, jadi terlihat marah dan geram pada Amelia. Gumaman berisi kebencian terlontar ke padanya. Bahkan ada yang sampai meneriaki sikap Amelia yang keterlaluan. Namun Amelia terlihat enggan peduli.

Seorang pria yang merasa iba menghampiri Amelia sekaligus menghentikan pria berbaju lusuh itu. Ia meminta penjelasan pada dua belah pihak yang bersangkutan.

Dengan nada kesal, Amelia menjelaskan kronologi kejadian yang menimpanya.
Pria itu menghela nafas sebelum berlanjut pada pria lusuh itu.

“Apa benar begitu, Pak?” dengan bijak pria itu bertanya. Ia tidak langsung membenarkan tindakan Amelia. Ia bertanya pada pria lusuh itu terlebih dahulu.

“Ini memang salah saya. Saya sudah membuat Nona ini celaka,” terangnya dengan wajah tertunduk takut. Ia masih cemas jika sampai wanita itu meminta pertanggung jawaban yang berat baginya.

Pria dengan sedikit uban di kepalanya, yang menunjukkan jika dirinya sudah cukup berusia untuk bersikap dan berperilaku bijak itu membantu pria lusuh itu untuk bangkit. Dia membawa pria lusuh itu untuk meminta maaf pada Amelia. Namun baru selangkah ia mendekat, Amelia sudah menyuruh keduanya untuk tidak mendekat.

“Tetap di situ. Aku alergi dengan orang miskin itu.” Amelia menuding pria yang sudah mencari gara-gara padanya.

Pria yang berusaha menengahi keadaan itu menghela nafas panjang. Kini ia tahu kenapa masalah sekecil ini bisa menjadi rumit. Wanita yang sudah di tabrak pria berpenampilan lusuh itu merupakan wanita high-class yang begitu sombong dan angkuh.

“Apa Nona terluka?” tanya pria itu. Untuk memastikan seberapa parah tabrakan itu terjadi.

“Hanya tergores sedikit akibat terjatuh dari tangga tadi,” jawab Amelia tanpa menunjukkan luka yang ia alami.

“Apa tidak ada yang terkilir?” tanya pria itu lagi.

“Tidak!” jawab Anita sengol. Ia tak suka ditanya seperti itu.

“Maaf Nona, bukan maksudku untuk ikut campur tapi alangkah baiknya, jika Nona bersikap lebih dewasa untuk masalah ini? Apa anda tidak bisa memaafkan dan memaklumi kesalahannya. Bapak ini terlihat begitu letih dan susah. Mungkin dia sedang terburu-buru. Jadi saya mohon agar masalah kecil ini bisa di selesaikan dengan baik. Anda wanita terhormat pasti menjaga dengan benar martabat anda, bukan?”

Kata-kata pria itu membuat Amelia makin naik pitam. Selama ini tak ada yang berani berkata sok mengajari kepadanya. Namun ucapan pria itu sungguh sudah membuat harga dirinya jatuh. Dan memaksanya untuk menaikkan level emosi dalam dirinya.

Gita dan Erlita yang menyadari Amelia semakin emosi, bergegas membawanya pergi. Keduanya sadar, jika masalah ini di teruskan, mereka bertiga akan berakhir dengan tidak baik. Jadi mereka memutuskan untuk menghentikan kegilaan Amelia sebelum semua menjadi jauh lebih rumit.

“Sudah jangan di teruskan, biarkan saja,” kata Gita. Ia bersiap menggeret Amelia.

Sedangkan Erlita meminta maaf sekaligus berterima kasih pada pria yang sudah membantu menengahi masalah ini. Jujur saja, tanpa ada orang yang mau menengahi masalah sepele ini, sulit bagi keduanya menghentikan Amelia. Meski mereka sudah kenal cukup lama dengan Amelia. Akan tetapi keduanya mengakui bahwa mereka belum bisa menghentikan sikap keras kepala temannya itu. Sekali marah, maka tak akan ada yang bisa menghentikannya.

Beberapa orang hanya berani mencibir saat ketiga wanita itu pergi menghilang dari pandangan mereka. Sedang pria yang menjadi penengah tadi mencoba untuk menenangkan hati pria berpenampilan lusuh itu, sambil memberi nasehat untuk lebih berhati-hati lagi kedepannya.

“Dunia ini kejam. Melihat bagaimana ekspresi anda, tentu anda menyadarinya bukan? Oleh karena itu, Bapak harus lebih berhati-hati lagi.”

“Iya, Pak. Terima kasih sudah menolong saya. Jasa Bapak akan selalu saya ingat. Jika ada sesuatu yang bisa saya lakukan, Bapak katakan saja. Ini bentuk rasa terima kasih saya atas kebaikan Bapak.”

Pria itu menepuk bahu pria berbaju lusuh. “Tidak perlu. Saya senang bisa membantu.”

Pria berbaju lusuh itu begitu bahagia mendengar perkataan pria yang sudah menolongnya.

“Ya sudah, karena sudah selesai, saya mau pamit.”

“Ah iya, Pak. Terima kasih banyak. Sekali lagi terima kasih.”

☕☕☕

Amelia melempar tas yang baru dia beli pada kursi kosong, di sampingnya. Ia lalu duduk dengan muka masam. Menanti segelas milkshake datang untuk meredam emosinya yang masih berkemelut bagai gunung merapi.

“Sudah dong jangan marah-marah, nanti kulit mukamu keriput baru tahu lho,” kata Gita bermaksud memberi gurauan agar temannya itu mau tenang.

Namun Amelia masih terlihat cemberut. Tatapan kesalnya masih melekat erat di pelupuk matanya. Erlita dan Gita yang melihat wajah jutek Amelia hanya menghela nafas sambil berusaha menenangkan hati temannya itu. Namun tetap saja mereka masih belum bisa menenagkan hati Amelia dengan benar. Amelia masih membisu dengan wajah juteknya.

“Mimpi apa sih aku semalam. Bisa dapat masalah seperti ini. Apalagi sampai dilihat banyak orang,” gerutu Amelia setelah membisu cukup lama.

“Sudah tahu di lihat banyak orang, masih saja kau terusin,” timpal Erlita. Dirinya sedikit karena merasa malu saat Amelia menjadi pusat perhatian banyak orang.

“Sudah jangan di bahas. Yang sudah lewat biarkan berlalu,” kata Gita. Ia sudah tak ingin masalah yang sudah berlalu dibahas kembali.
Amelia mendengus kesal. Tak lama milkshake yang ia pesan datang.

“Silahkan Kak,” kata pelayan itu.

Amelia hanya diam, tak menyahut apalagi berkata terima kasih. Dan selepas pelayan itu pergi usai mengantar milkshake nya, Amelia langsung meneguk segelas penuh milkshake itu tanpa jeda. Membuat  Erlita dan Gita menatap Amelia tercengang sekaligus takjub.

“Hei, Mel, itu kan dingin, awas kena brain freeze lho!” Gita memperingati. Di susul Erlita yang memberi peringatan yang tak jauh beda.

Namun Amelia tidak peduli akan peringatan dua temannya itu. Ia terus meminum milkshake itu sampai tandas. Hanya menyisakan remahan es batu yang tak larut dengan susu.

Usai meneguk habis millkshake nya, Amelia langsung meraih kepalanya. Sebelah tangannya memegang erat kepalanya. Ia mengalami brain freeze. Kondisi di mana otak terasa membeku setelah meminum minuman dingin.

“Ya kan,,, kita sudah kasih tahu lho ya,,,” kata Erlita.

“Sudah diam.” Amelia menyahut sambil masih memegang kepalanya yang masih terasa membeku.

Gita mengambil segelas air mineral dan menyerahkannya pada Amelia. Berharap air itu bisa meredam brain freeze nya.

“Kamu itu kenapa sih? Marah itu boleh. Tapi jangan menyiksa diri sendiri,” kata Gita.

Namun Amelia hanya diam. Ia tahu dirinya juga salah. Namun rasa kesal dalam hatinya sulit untuk di padamkan. Sehingga ia kesulitan untuk mengontrol emosinya sendiri.

Setelah merasa lebih baik. Amelia pamit untuk pulang duluan. Dia merasa, pertemuan dengan dua temannya sudah cukup untuk hari ini.

Mencintai Duda Miskin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang