Ponsel Ignacio bergetar, menandakan ada notif baru di sela obrolannya dengan Jeje dan Heksa.
Kening Cio berkerut samar. Papa memasukkan kontaknya ke dalam grup baru. Anggotanya hanya Papa, Cio, dan Coral. Nama grupnya juga mengherankan.
Hadiah Untuk Mama.
Perasaan ulang tahun Mama masih lama deh. Hari Ibu juga bukan, heran Cio.
"Napa, Yo?" Heksa menyenggol lengannya, sejenak mengabaikan mie ayam yang sedang dilahapnya di jam istirahat. Sementara bekal Cio yang dibawa dari rumah sedang dirampok Jeje.
"Papa bikin grup baru. Katanya sih buat rembukan nyari hadiah untuk Mama."
"Bagus dong,, biar makin kompak keluarga lo," sahut Jeje cuek.
"Ya masalahnya,, buat apa coba? Mama ulang tahun masih lama, Hari Ibu juga bukan, Je."
"Ngasih hadiah kan ngga butuh momen khusus, Yo. Apalagi Papa Dante kan romantis tuh."
Jeje menendang kaki Heksa dari bawah meja. "Sok tau lo."
"Emang bener. Gue tau dari Ayah, katanya pernah makan malem bareng Papa Dante terus orangnya muterin mall demi nyari kalung buat Mama Embun. Pas ditanya dalam rangka apa, jawabnya tuh persis kayak gue barusan. Ngasih hadiah ngga butuh momen khusus," jelas Heksa rada ngotot karena Jeje menatapnya tidak selow.
Cio lantas mengingat-ingat lagi perihal kalung baru Mama bulan lalu yang berinisial nama Papa tapi hanya bertahan 2 hari karena ditarik-tarik Cissy. Jadi sama Mama disimpan lagi biar katanya dipakai buat momen tertentu.
"Terus Papa Dante mau beliin hadiah apa, Yo?"
Cio menatap temannya ragu. "Iphone."
"Tapi gue ngga ngerti kenapa muka lo kayak orang bego," komentar Jeje, kembali melahap bekal Cio sebelum melanjutkan, "Jangan bilang pengen juga. Hape lo udah bagus, buneng!"
Cio menunduk menatap lagi ponselnya, iPhone SE second generation yang dibeli Papa waktu di Singapura. Ya memang lumayan untuk ukuran remaja 14 tahun sepertinya. Apalagi Cio sedang minat bikin video pakai ponsel karena sudah setahun ini bergabung dengan klub fotografi sekolah. Tapi bukan itu masalahnya.
"Kenapa sih, Yo? Gue jadi ikutan bingung dah," heran Heksa, sekaligus kepo.
Ignacio Ocean Amadeo menggaruk bingung belakang kepalanya yang tidak gatal. "Masalahnya, Mama pake Blackberry jadul aja masih bingung biar gue ajarin berkali-kali juga. Apalagi iPhone?!"
Jeje melotot. "Demi apa Mama Embun yang baik hati kayak peri masih pake Blackberry jadul?!!"
Cio mengendikkan bahu. "Gue lulus sd aja masih pake Nokia lempar anjing."
"Emang hape kayak gitu masih ada?!!"
"Papa beli waktu dari London. Katanya masih banyak disana."
Heksa menggaruk kepalanya, ikut bingung. "Itu juga masih lo ajarin berkali-kali, Yo?"
Cio mengangguk.
"Yo, sori nih ya, bukannya gue gimana," ujar Jeje tiba-tiba dengan wajah (sok) serius. "Tapi Mama Embun tuh kelahiran tahun berapa sih? Oma gue perasaan jago banget pake Blackberry. Umurnya udah hampir seabad loh."
Sekarang, Cio jadi tertegun sendiri. Baru sadar, ia selama ini cuma tau tanggal ulang tahun Mama, tapi tidak benar-benar tau kapan tahun kelahirannya.
Paling-paling kalau disuruh sekolah mengisi data keluarga atau semacamnya, pasti Papa yang isi.
Lah iya, baru nyadar juga gue, batin Cio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embun Ketiga
Fanfiction"Kita bisa ikut kamu. Asal kamu jangan ninggalin saya sama anak-anak. Embun, kita semua butuh kamu." Masih tentang harapan untuk menetap. Dante yang tau kalau ia telah mengawali segalanya dari kesalahan.