"Kamu tahu kehidupan? iya kehidupan, kehidupan ini, kehidupan kita, fana" Beni berucap kepada bayangannya di cermin, bercermin di kamarnya yang sengaja dibuat gelap. Saat ini dia hanya ingin sendiri, bergelap ria, berkontemplasi setelah banyak membaca buku yang dia pinjam dari temannya. Jam dinding bersenandung, menunjukkan pukul setengah 12 malam. Biasanya di kondisi seperti ini, tengah malam yang masih terbangun, ibunya selalu mengetuk pintu kamarnya dan berkata :"Been, hey Ben, daripada kamu melamun, mending solat tahajud gih", terkadang dia menurut, tapi lebih sering dia berkata :"iya mah, Beni mau tidur saja".
Teriakan ibunya yang terkadang membuat dia merasa terganggu kini dia rindukan, setelah berkuliah di Yogyakarta mengambil jurusan sastra, dia tinggal sendiri di tempat kost sekitaran kampus. Tak pernah dia dengar lagi ajakan ibunya untuk beribadah, makan malam, dan memberinya obat ketika dia sakit. Ibunya tinggal di Bandung, bersama ayah dan adiknya, tepatnya di Riung Bandung, terpaut jarak ibunya masih tetap selalu mengkhawatirkan putra sulungnya, dia masih selalu menelpon anaknya pada semester 1 dan 2, beranjak semester 3, 4 Beni jarang mengangkat telpon dari ibunya, karena kesibukan tugas dan terutama kesibukan dalam pergaulannya.
Iya, Beni memiliki banyak teman di sini, terutama karena dia bebas memiliki kunci kamarnya sendiri, dia tak peduli jam berapa pun dia pulang. Di semester 1 dan 2, dia lebih rajin pergi ke perpustakaan kampus bersama seorang sahabatnya, Pleheng, orang Yogya asli, teman sekelasnya di kampus. Dia rajin mengerjakan tugas-tugas, dan sisa harinya lebih banyak dia habiskan membaca novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, dan banyak artikel tentang karya seni.
Pleheng menjadi sahabatnya sejak perkenalan kelas, ketertarikannya terhadap karya sastra membuatnya akrab, mendiskusikan tentang buku bersama para penyuka karya sastra yang lain menjadi aktivitas tambahan. Bagi Beni dan Pleheng buku menjadi kudapan bergizi bagi otak mereka, buku selalu menemaninya kemanapun, dalam ranselnya selalu ada minimalnya 2 buku yang dia bawa.
Di taman kampus sebelum masuk jam perkuliahan, menjadi rutinitas untuk saling menunggu dan masuk kelas bersama, kali ini Beni yang menunggu Pleheng. Suasana taman saat ini sangat bersahabat, angin sejuk Februari membawa banyak burung-burung bermain di taman, dengan bunga-bunga yang bermekaran melukis nyata pemandangan, ditambah dengan adanya gadis cantik asal Jakarta yang mengambil jurusan tari duduk di pinggir kolam. Dalam hatinya Beni bergumam, "ah Februari, seandainya semua bulan seperti kamu, betah euy." Ya, namanya Sari, gadis cantik dengan rambut hitam panjang, dengan tata letak wajah yang betah untuk dilihat, bagai Nina Zatulini, aktris cantik favorit Beni sejak di bangku SMA.
Keasikan memandang Sari, membuat Beni lupa bahwa dia sedang menunggu Pleheng, sampai akhirnya pesan WA membangunkannya dari lamunan.
Pleheng
"Bro, saya ndak bakalan masuk, ada keperluan keluarga"
Pesan dari Pleheng yang mengatakan dia tak akan masuk kelas, setelah mendapat pesan itu Beni segera beranjak dari surga imajinasi, meninggalkan suasana taman yang cocok dijadikan tempat untuk mencari inspirasi. Dalam hatinya Beni berkata :"Babay Sari, sampai juga lagi," sambil tersenyum genit dan melambaykan tangan, lalu segera menyembunyikannya karena Sari tiba-tiba melihat ke arahnya.
*****
Pleheng, sebelum hari di mana Beni menunggu dan Pleheng tak masuk kelas, di kantin kampus saat Beni pergi ke toilet, Pleheng didatangi 2 temannya, Oloy dan Tengek, teman sepergaulan pada saat di SMA. "Heng, lu berdua mulu sama si Beni, lu jadi gay sekarang?," tanya Oloy sinis, sembari menaiki kursi kantin dihadapannya. "Ih apaan ndak lah, saya masih normal, suka sama perempuan, ngawur kamu kalau ngomong," sangkal Pleheng pada Oloy. "Habisnya kamu kemana-mana selaluuu saja berdua dengan Beni, kamu jadi beda, gak sering ngumpul sama kita," tambah Tengek menambahkan, membuat Pleheng terdiam. Suasana menjadi hening, tak lama kemudian Pleheng bertanya, "memangnya saya jadi gimana? jadi beda gimana? dengan saya yang jarang ngumpul bareng kalian bukan berati saya jadi beda, saya hanya sedang ingin memperdalam ilmu saya dengan membaca, dan Beni, dia sama dengan saya suka membaca, jika kalian senang baca saya juga bakal selalu ngumpul bareng kalian." Hening kembali, setelah menyeruput nutrisari dingin milik Pleheng, Oloy menjawabnya, "beda Heng beda, lu kaya yang pacaran, kemana-mana berdua." Pleheng menggigit bibir bawahnya, dia memikirkan apa yang Oloy katakan padanya, "emang iya gitu? emang saya kaya gitu ?" kata Pleheng pada 2 temannya. "Iya Heng gitu, saya takut kamu jadi gay, ayo ngumpul bareng kita lagi lah," ajakan Tengek pada Pleheng. "Yowis gitulah, pikirin lagi apa yang gua bilang. Gua, Tengek dan yang lainnya selalu nunggu lu gabung lagi bareng kita," pamit Oloy dan Tengek pada Pleheng karena dari kejauhan sudah terlihat Beni kembali, dan Pleheng pun tak bisa berhenti memikirkan apa yang dikatakan oleh kedua temannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinding Kokoh di Kepala
Teen FictionSebuah cerita singkat dari sebuah kehidupan yang penat, beragam ekspektasi yang tak sesuai dengan harapan, kenyataan yang membingungkan dan pahit. Tentang ego dan ambisi anak muda, berjuang mendapat sebuah pengakuan dan keinginan. . "Apa yang kau pi...