3

4.3K 732 135
                                    

Pagi dunia halu. Kabar baik? Cuz, mari kita baca 😁

💔💔💔

"Dasar keras kepala. Bikin pusing orang aja," dumelnya sembari mengaplikasikan warna pada gambar sketsa gaun yang diminta pelanggan.

Pagi tadi-bisa dikatakan subuh. Pintu rumahnya diketuk tanpa henti, untung saja tidak menggangu tetangga, jika tidak, bisa-bisa pria itu sudah di kantor polisi dengan tuduhan mengganggu kepentingan umum-Evano membawa salah satu pekerja rumahnya ke tempat Aretha. Perempuan setengah baya bernama Bik Een itu segera membuat sarapan setelah memperkenalkan diri.

Sepeninggalan ART barunya, Aretha dibuat bingung Evano. Pria itu bukannya pergi malah duduk anteng sambil memainkan gawai. Ah, ia lupa jika Evano akan mengantar ke butik. Aretha sudah menolak tapi bukan Evano namanya jika tidak mendebatnya. Keputusan pria itu sukar ditolak sekalipun badai menerjang, tetap ia lanjutkan. 

"Mbak Re," panggil Nisa. Aku mengangkat pandangan pada dia. "Kami pulang dulu, ya. Tadi kata Ibu jangan pulang malam-malam," berita Nisa dari celah pintu yang terbuka selebar kepala dia.

Aretha mengiakan. "Hati-hati. Jangan ngebut kalian. Bawa mantel? Takutnya hujan di tengah jalan, Nis."

"Bawa, Mbak," jawabnya.

Nisa terdiam, menarik perhatian Aretha. "Kenapa, Nis?" ucapnya penasaran. Mungkinkah ada pesan lain yang belum dia sampaikan?

Nisa meringis. "Mbak nggak mau pulang aja? Kadang aku khawatir kalo Mbak sendiri gitu. Iya, sih, sekitaran rame cuma gimana, ya ... apa nggak bisa dibawa pulang aja, Mbak?" ujarnya menatap atasannya itu dengan raut khawatir.

Perempuan memakai blus hijau lembut berbahan rayon chiffon tersebut mencetak senyum simpul akan perhatian Nisa. Keharuan menyeruak kuat hingga menyebar ke seluruh tubuh. "Iya, bentar lagi pulang. Nanggung soalnya. Makasih, ya, Nis." Ucapan itu tulus keluar dari hatinya. "Dah, buruan pulang. Itu bocil nungguin." Aretha menggerakkan tangan mengusir Nisa.

Wanita tiga tahun di bawahnya tersebut tampak enggan meninggalkan Aretha. Ia sering kali berpikir, apakah wakil dari pemilik butik itu tidak kesepian jika sendirian? Maskipun tidak banyak senyum tapi Nisa menyayanginya. Mungkin Aretha terlihat dingin tapi terhadap semua karyawan ia ramah dan tidak segan-segan membantu jika ada kesulitan. "Beneran, ya, habis ini pulang. Aku tuh nggak tenang kalo Mbak lembur gini."

"Iya! Udah sana keburu hujan kasian Deo," titah Aretha yang diangguki oleh Nisa.

Setelah pintu ditutup, Aretha melanjutkan mewarnai gambar gaun yang akan dipakai salah satu keluarga artis ternama dalam acara aqiqah anak pasangan muda tersebut. Sebuah gamis berbahan sutra warna tosca kombinasi putih dengan aksen bordir dan mutiara. Ia angkat kertas gambar tersebut dan tersenyum kecil melihat hasilnya. Memuaskan. Sesudahnya ia masukan map khusus desain siap jahit.

Aretha berdiri, menggerakkan kaki ke jendela kaca yang memanjang dari atas ke bawah, memeluk diri sendiri, juga menatap ke arah jalan dengan orang-orang berlarian menghindari hujan. Pandangan Aretha jatuh pada sepasang muda-mudi di teras toko baju terkenal untuk berteduh. Sang pria berdiri di sisi kiri melindungi wanitanya dari desakan orang-orang di sekitarnya.

Romantis. Namun, kata itu tidak tercantum dalam kamus hidupnya. Ia tidak suka hal-hal konyol seperti itu dan akan merusak ketenangan hidup yang sudah ia susun rapi. Ia juga tak suka terikat yang akan menjadikan dirinya bodoh ....

"Sorry telat." Rupanya ucapan Evano tidak menembus lamunan Aretha. Ia mendekat, berdiri di sisi wanita itu, mengikuti arah pandang Aretha. Evano tak mengeluarkan kata karena tak ingin merusak lamunan wanita di sebelah ini. Mereka berdiri dalam keheningan.

Lama tanpa suara, Evano memutuskan memecah kesunyian. "Izinkan aku jadi tempatmu bercerita. Berbagi semua gundahmu. Ketakutan ataupun bahagiamu, Re. Aku pengin menjadi penopangmu saat kamu terjatuh," tuturnya menoleh ke Aretha.

Wanita pemilik alis rapi itu sedikit kaget, refleks menoleh kemudian bergeser memberi jarak antara mereka. "Kamu tahu itu nggak mungkin. Jangan berharap." Ia memutar kaki, menghampiri meja, meraih semua benda penting miliknya lalu dimasukan ke tas jinjing  hitam Aretha. "Aku bisa memesan taksi online, jadi kamu nggak perlu antarkan aku." Ia pun mulai mendekati pintu tapi tubuhnya diputar hingga membentur Evano.

Pria itu mengeratkan lingkaran tangannya di pinggang dan punggung Aretha. Menekan kuat hingga tubuh mereka melekat, mengabaikan rontaan wanita keras kepala itu.

"Lepas!"

Evano semakin menarik Aretha sampai berjinjit, mereka saling tatap. Racauan Aretha terbungkam bibir Avano. Mencium kasar serta merayu, melemahkan rontaan Aretha yang mulai hanyut dalam godaan Evano.

Tanpa wanita itu sadari, mereka bergerak ke sofa panjang. Pakaian yang ia pakai pun sudah lepas dari badannya. Saat ia dibaringkan oleh Evano, kewarasan Aretha sudah hilang digempur gairah. Ia sadar ini salah dan berisiko tapi bisikan setan terlalu besar dan membuatnya melawan akal sehatnya.

***

Embusan hangat dari belakang tubuhnya, menampar kesadaran Aretha bahwa ia masuk jerat Evano. Hanya ada penyesalan dan harapan agar tak ada efek dari perbutan mereka. Ia belum dan tak akan siap jika harus tunduk di bawah kuasa Evano. Ini semua di luar agenda hidupnya dan ia merutuki kebodohannya.

"Mulai detik ini kamu nggak bisa mundur lagi, Re, dan aku juga nggak bakal lepasin kamu."

Ia mengurai belitan tangan Evano di dada. Menghindari kecupan di kepala yang pria itu labuhkan. Ia benci dan merasa kotor. "Lepas. Kamu udah dapetin yang kamu mau. Sekarang lepasin aku," desisnya geram.

Evano tak akan begitu saja menuruti permintaan Aretha. Ia membeli kaki wanita itu agar tak bisa bergerak. "Belum. Aku masih dapet seperempatnya, belum semua. Menikahimu ujung dari segalanya."

"Aku nggak mau nikah sama kamu! Apa penolakanku selama ini kurang jelas? Aku nggak mau, Vano!"

"Akan aku buat mau. Dan kamu nggak ada alasan nolak aku lagi."

"Gila. Lepas!"

"Aku bisa lebih gila dari ini, Re."

Menggigit bibir, memejamkan mata meskipun air matanya tetap keluar tapi otaknya tak berhenti berpikir. Ia harus mencari strategi lain agar lepas dari pria ini. "Van, please lepas. Aku mau ke kamar mandi. Dan tolong lupakan kejadian malam ini. Anggap semua ini nggak pernah terjadi," pinta Aretha tetap.dengan posisi membelakangi Evano.

"Aku nggak bisa." Tapi tak urung ia menarik tangannya dari tubuh Aretha. Mengurai lilitan kaki, menjejakan di lantai. Berengsek. Sebutan itu cocok untuknya walaupun ini semua tidak ada dalam skenarionya. Ia berdiri, memunguti baju mereka yang tercecer. Meraih kain pantai di kursi Aretha kemudian menyelimuti wanita itu.

Ia sendiri mengenakan kemeja sebelum ke toilet. Tak berapa lama ia kembali dalam keadaan segar. "Aku bantu ke kamar mandi?" tawar Evano, sebab ia yakin pasti tidak nyaman untuk Aretha.

Wanita itu menggeleng, ia malu padahal Evano sudah melihat bahkan sudah merasakan tubuhnya. "Aku ... aku bisa sendiri."

"Yakin?"

Aretha mengangguk. Dengan malu-malu ia duduk mengapit kain pantai miliknya hadiah dari salah satu pelanggan. Nyeri di sana membuatnya mengernyit, menggerang lirih, dan tubuh Aretha sakit semua. Jauh berbeda dengan cerita orang-orang. Baru saja kakinya menyentuh lantai, tubuh dengan berat 54 kilogram itu melayang. Ia memekik, refleks mengalungkan tangan di leher Evano.

"Turunin, Vano! Aku bisa sendiri."

Perintahnya tak digubris Evano. Langkah lebar pria itu membawanya hanya dalam hitungan detik sampai di kamar mandi. Setelah mendudukkan di closet, Evano keluar memberinya waktu guna bersih-bersih.

Air mata Aretha kembali luruh. Kehilangan yang ia rasakan sungguh besar, seolah meteor jatuh dan ciptakan lubang besar dan dalam. Selama 29 tahun ia menjaganya tapi dalam hitungan menit buyar tak bersisa.

'Bu, maafin aku.'

💔💔💔

Vano mintak digorok emang. Anak orang dibikin nangis. Gila lo, Ndro!

Catch Me if You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang