6

3.7K 657 96
                                    

Hulaaa ....
Lamo tak jumpo. Rindu ke?
Kagak! 🤣

Dahlan baca sajo nggak pake lama. ❤️❤️❤️

Tak ada kata maupun musik mengalun merdu dalam mobil SUV hitam mengkilap itu, saat melaju kencang di tol Jagorawi. Aretha dan Vano masih sama-sama diliputi kemarahan sisa-sisa obrolan mereka tadi pagi. Obrolan yang dianggap main-main oleh wanita itu.

Wanita itu memilih menatap jalanan yang mereka lewati, sesekali panorama di luar tol terhalang mobil lain yang melintas. Kepalanya pusing dan cukup mengganggunya, mungkin ini akibat pertengkarannya dengan Vano, pria keras kepala yang ingin sekali Aretha pukul sekuat tenaga. Apakah permintaannya untuk menjauhi dirinya terlalu sukar untuk dikabulkan Vano? Ia yakin tidak sulit tapi entah mengapa Vano seolah-olah membuat sulit. Bagaimana lagi caranya? Apakah pergi dari kota ini solusinya? Aretha tak yakin, sebab ada keluarga yang bergantung padanya.

Meskipun tangan dan tatapan Vano fokus ke depan, tapi beberapa kali ia melirik dan menangkap kesedihan di wajah ayu Aretha. Rasa ingin tahunya semakin besar kala wanita itu kembali menolaknya dan itu bukan karena ego, tapi ada hal yang lebih besar serta kuat menjadi dasar sikap Aretha. Karena itu, ia bertekad menggalinya sebanyak mungkin melalui orang-orang terdekat Aretha.

Mobil hitam Vano berbelok ke daerah rumah Aretha, berhenti persis di depan pagar. Keduanya turun, langkah wanita penyuka gambar tersebut cepat saat ia menangkap sosok orang yang paling ia rindukan di teras. Wanita paruh baya dengan hijab dan gamis warna lembut itu tersenyum kepada Aretha.

"Ibu! Aku kangen banget." Ia memeluk kuat tubuh ringkih ibunya. Air mata meluncur karena rindu yang ia rasakan. Untuk beberapa lama tak ada kata yang terucap dari mereka. Aretha benar-benar rindu hingga sesak rasanya. Ia ingin pulang tapi deadline pekerjaan di butik tak memberinya izin.

Vano bersandar miring di pilar teras rumah. Kedua tangan masuk kantung jin navy yang ia kenakan. Tatapannya lekat disertai senyuman. Temu kangen keduanya membuat Vano terenyuh. Bongkahan amarah dalam hatinya pecah berkeping-keping berganti haru. Melihat Aretha menangis tersedu begitu, menimbulkan nyeri di ruang hatinya. Ia tak suka melihat Aretha menitikkan air mata, walaupun karena rindu. Namun, entah mengapa feeling-nya berkata lain. Bukan tangisan haru tapi sesuatu yang lebih dalam.

"Sudah, malu itu dilihat Mas ganteng," goda Arni sambil mengurai pelukan Aretha.

Ah, Aretha lupa jika ada Vano tapi sudah terlanjur, jadi biarkan saja. "Ibu kapan datang? Kok nggak kasih kabar kalo mau ke sini? Kan bisa aku jemput, Bu." Ia kembali memeluk Arni.

Wanita yang usianya setengah abad lebih itu tersenyum, tangannya menepuk-nepuk lengan Aretha yang melingkari bahunya. "Kalo kasih kabar namanya nggak kejutan, Re. Lagian Ibu nggak mau repotin kamu."

"Aku nggak repot, Bu. Sudah tugasku. Ayo masuk." Langkah Aretha terhenti. "Kenapa, Bu?" tanya bingung.

"Itu mas gantengnya nggak disuruh masuk?"

Duh! Aretha lupa jika ada pria. "Oh, nggak. Dia ada urusan mendesak," elak Aretha. "Ayo."

Arni melangkah tapi kepalanya menoleh pada Vano. Tak enak hati, ia pun menyuruh putrinya masuk duluan. Dengan langkah dibentak, Aretha masuk. Arni menghampiri pria itu. "Mari masuk dulu," tawarnya. Meski tersenyum tetapi mata tuanya memindai gestur dan penampilan Vano secara keseluruhan. "Saya Arni, ibunya Aretha." Tangan Arni terulur dan disambut baik oleh Vano.

"Vano, Bu," balasnya sambil mencium tangan Arni.

"Ayo duduk dulu. Biar dibikinkan minum sama Bibik."

####

Malam ini Aretha tidur memeluk ibunya. Rindu yang membuncah membuat tak ingin lepas sedikitpun dari Arni. Ia merindukan sentuhan lembut nan hangat ibunya, sentuhan yang menenangkan dia di saat ketakutan melanda atau kala mimpi-mimpi buruk itu menghantuinya. Sungguh masa-masa yang ingin sekali ia lupakan.

"Ibu lama di sini?" Aretha menciumi rambut Arni dengan harum shampo yang biasa dipakai ibunya.

Tangan lembut Arni membelai  puncak kepala putrinya. "Kenapa? Nggak suka Ibu di sini?"

Sontak Aretha duduk dari tidurnya. Menggeleng keras. "Nggak, Bu, bukan itu ...."

"Sudah. Ibu cuma bercanda," sela Arni cepat yang juga sudah bangun dari berbaringya. "Ibu pengin ke makam ayahmu," akunya. "Kamu sering ke sana? Masih sering ke rumah Nenek?"

Decakan kecil juga lirih terlontar begitu saja dari Aretha. Ekspresi malas jelas-jelas terlihat. "Harus?"

Tepat seperti dugaan Arni, putrinya tidak mungkin menginjakkan kaki di makam suaminya maupun berkunjung ke rumah keluarga Harno —ayah Aretha. "Ndak harus tapi nggak baik mutusin silaturahmi itu. Gimana pun dia nenek kamu,  keluarga kita juga."

Topik pembicaraan yang sangat-sangat Aretha atau jika boleh minta tak perlu dibahas. Pembicaraan yang membuat luka lama kembali mengangga. "Bu, bisa kita nggak usah bahas hal ini? Bukan hal penting yang perlu kita bicarakan."

Tarikan napas Arni terdengar meskipun hanya tarikan kecil dan halus. Ia meraih tangan putrinya, menggenggam erat. Netra Arni melekat pada wajah Aretha dan ia bisa mengerti jika wanita 29 tahun itu benar-benar tak ingin berurusan dengan mereka. "Re, semua sudah berlalu. Jangan terus-terusan menyimpan kebencian pada mereka," punya Arni.

Akhirnya pokok bahasan ini tak bisa Aretha hindari lagi. Berulang kali ia berhasil mengelak, tapi saat ini tidak bisa lagi. Jalannya untuk meloloskan diri sudah tertutup dan ia benci hal itu. Andai membentak Ibunya tidak dosa, mungkin Aretha akan menghardik Arni agar tak mengungkit hal itu. "Bu, kita nggak harus bahas ini kalo akhirnya bikin kita berantem. Aku udah nggak mau tahu apa pun tentang mereka."

"Re, mereka tetap keluarga kita. Mau nggak mau kita ...."

Geraman halus Aretha menghentikan perkataan Arni. Wanita itu bersyukur ibunya mengerti jika ia tak suka membahas hal ini. "Bu, aku keluar dulu, ada kerjaan yang besok harus selesai. Ibu tidur duluan." Ia mencium kening Arni sebelum turun dari kasur dan keluar kamar.

Sampai di dapur, ia mengambil pisau dan menusukkan ujungnya ke buah yang tersedia di keranjang. Ia marah dan ingin sekali berteriak tapi itu tak mungkin, sebab tak ingin membuat ibunya dan Bik E'en kaget.

Tak puas hanya menusuk buah-buah tak bersalah itu, Aretha memotong-motong buah-buah itu hingga menjadi kecil sampai amarahnya padam. Kalau saja pria bajingan masih hidup, mungki Aretha tak segan-segan akan menghajarnya walaupun jeruji besi ganjaran untuknya.

Buliran bening mengaliri pipi bersih dara lulusan sekolah desain milik salah satu desainer tersohor Indonesia itu. Kemarahan akan ketidakberdayaannya membuat Aretha membenci dirinya sendiri. Membenci ibunya yang menutup mata kelakuan Harno, pria yang sangat-sangat ia benci. Pria yang ingin sekali ia bunuh dengan tangannya sendiri.

Aretha tersedu meski lirih. Kesakitan yang ia singkirkan kembali. Frustrasi, luka, dan dendam di dirinya bergejolak kuat. Ia lelah tapi tak mudah baginya untuk melepas beban yang terus menekannya. Ia ingin tenang tanpa merasa takut tapi tak bisa, bayangan itu terpatri kuat dalam ingatan, dan hal itulah dasar dari ketidakpercayaan Aretha terhadap komitmen. Hubungan yang akan membuatnya bodoh dan lemah.

Tbc.
😣😣🤭 Ntah ya apa yang bikin dia gini. Bapaknya ngapain coba.


Catch Me if You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang