Yuhuuu! Udah pada tidur belom? Cuz lah baca. Btw, Bukan Simpanan tersedia juga di Karya Karsa. Boleh banget dibeli kalo ada rezeki lebih ya. Makasih.
❤️❤️❤️
"Bang Vano emang ramah sama siapa aja, itu kenapa banyak perempuan salah paham sama dia dan patah hati."
Aretha menoleh ke samping saat mendengar kata-kata Tata. Wanita itu berdiri tak jauh darinya yang tengah menyaksikan Vano memanggang daging dibantu Veeya. Karena undangan Veeya pula ia datang ke kediaman Vano. Sejujurnya ia malas datang dan harus melihat tingkah Tata kepada kekasihnya tapi ia juga penasaran, apakah ucapan pria itu benar adanya.
Tata menoleh ke arah Aretha yang menatapnya diam. "Mbak juga jangan terlalu berharap karena Bang Vano udah terikat sama yang lain."
"Benarkah? Tapi tidak seperti itu yang dia katakan padaku." Aretha tidak tahu keberanian dari mana yang ia dapat untuk membalas serangan Tata, padahal biasanya ia diamkan saja. Tak peduli dengan hal yang bukan urusannya.
Tata tertawa sumbang mendengar ucapan Aretha yang menurutnya terlalu percaya diri padahal Vano hanya main-main saja dengannya. "Bukankah pria-pria memang seperti itu? Mereka akan memberikan apa yang ingin kita dengar asalkan keinginannya tercapai. Setelahnya ... dia akan menjauh dan menghilang."
Sedikit banyak perkataan Tata benar. Banyak pria mengobral janji manis lalu menghilang setelahnya. Sama seperti ayahnya dulu, tidak bisa ingat berapa wanita yang mencarinya ke rumah mereka. "Ya memang seperti itu walaupun tidak semua. Dan kalaupun itu terjadi, aku tidak masalah. Anggap saja hiburan sementara sampai waktunya habis jadi bukan hal besar untukku."
Benarkah bukan masalah besar? Tanya hati nurani Aretha. Bisakah melepas Vano untuk orang lain sedangkan dirinya mulai mencintai pria itu? Entahlah. Ia tak ingin memikirkan hal itu sekarang yang akan membuat pusing. Aretha ingin mengistirahatkan otaknya agar lebih tenang.
"Baguslah. Kalo Mbak berpikiran begitu, aku tidak perlu susah payah menjauhkan kalian. Mbak nikmati saja selagi bisa, setelahnya kembali dia pada pemiliknya."
"Apa itu kamu?" tanya Aretha hanya untuk memastikan saja.
"Ya. Dan aku datang tidak hanya untuk liburan tapi mempersiapkan pertunangan dan pernikahan kami."
Usai mengatakan hal itu Tata pergi dari sisi Aretha yang terus menatapnya. Ia menyeringai lebar karena berhasil memberi serangan pada wanita itu..Tata mendekat pada Vano dan Veeya dengan hati berbunga-bunga karena mampu menciptakan jarak antara Aretha dan Vano.
Di lain tempat, Aretha memperhatikan interaksi keduanya dan membuat nyaman dirinya. Vano membiarkan Tata bersandar di lengannya, menyuapinya, mengacak-acak rambut Tata. Sebenarnya itu hal yang biasa saja tapi dari awal sudah berkibar bendera perang, jadi bagi Aretha itu hal yang menggangu. Ia tak suka jika diganggu apalagi soalan yang sangat-sangat pribadi seperti percintaannya saat ini. Maka apa pun yang berhubungan dengan Vano ia anggap serangan.
"Ini." Vano datang membawa sepiring makanan yang sudah ia panggang. "Kenapa berdiri terus? Ayo duduk." Ia membawa Aretha duduk di gazebo dekat kolam ikan. "Buka mulutmu." Vano mengangsurkan garpu dengan makanan di ujungnya.
Aretha menerimanya. Matanya langsung terpejam saat merasakan enaknya daging panggang berlumur bumbu buatan Vano. Tekstur yang empuk membuat Aretha tak kesulitan mengunyah.
"Enak?" Vano memperhatikan riak wajah Aretha dengan semringah. Wanita itu mengangguk. "Buka lagi mulutmu." Ia menyuapkan sosis panggang ke mulut kekasihnya. "Re."
"Hmm." Ia meraih piring di tangan Vano. Memakannya satu demi satu. Ia begitu menikmati olahan daging itu sampai mengabaikan Vano yang memperlihatkan dirinya.
"Kalian ngobrol apa tadi?" Pria tinggi itu menatap lekat Aretha tapi wanita itu tak peduli. Dia terus makan dengan lahapnya. "Tata ngomong apa, Re?"
"Ngobrol biasa, kenapa?" tanya balik Aretha seraya melihat Vano sebentar sebelum kembali makan.
"Nggak apa-apa." Syukurlah, batin Vano. Ia tidak mau Tata berkata-kata yang tidak-tidak yang membuat Aretha tak mempercayainya. "Pelan-pelan, Re. Aku ambilin minum dulu." Ia mengelap bumbu di bawah luar sudut bibir kekasihnya.
Usai kepergian Vano, ia meletakkan piringnya. Menyandarkan punggungnya di kayu pembatas gazebo dengan setengah melamun. Ia juga menghirup udara dalam-dalam agar lebih lega. Ya Tuhan, ia tak ingin memikirkan hal-hal di luar jangkauannya dan belum tentu ending-nya, tapi tak ayal kepikiran juga. Aretha berpikir apa yang akan ia perbuat nanti saat Vano sudah terikat pernikahan dengan Tata sedangkan dirinya mulai nyaman pria itu?
"Minumnya, Mbak." Veeya menaruh segelas air putih di depan Aretha. "Bang Vano lagi ke depan. Kebetulan temennya datang," jelas Veeya sebelum Aretha bertanya.
Aretha mengangguk. "Makasih." Ia meneguk sampai separuh. Mendesah lega karena perutnya kenyang. "Ibu sama Bapak ke mana, Vee? Kok nggak kelihatan."
"Ke Semarang ngunjungi saudara Mama. Paling lusa udah balik soalnya mau ngurusi acara Bang Vano." Veeya memperhatikan raut Aretha yang tiba-tiba muram. Walaupun tidak terlalu kentara tapi terlihat perubahannya. "Kenapa, Mbak?" tanya Veeya. Ia mengikuti arah pandangan Aretha, pahamlah dirinya kenapa wajah wanita di sampingnya ini mendung. "Mereka emang deket tapi setahuku nggak ada hubungan apa-apa. Tapi aku nggak tahu lagi soalnya jarang tanya."
Aretha mengangguk tanpa mengeluarkan argumentasi. Rasanya lelah luar biasa untuk terlihat baik-baik saja, tampak tak peduli padahal hatinya tengah terbakar cemburu. Dan hal inilah yang paling ia benci ketika mengenal cinta, dirinya akan jadi pribadi yang lemah, labil, dan menyedihkan juga mudah memaafkan hanya karena ingin berada didekat pasangannya.
###
Pagi itu mendung bergelayut. Mungkin tak lama lagi hujan akan turun membuat aktivitas pagi terasa lambat. Sama halnya dengan Aretha yang lambat beraktivitas. Ia lelah, selain harus segera menyelesaikan gaun pesanan customer yang maju dari jadwal sebelumnya, juga lelah dengan ulah Tata yang seolah memprovokasi dirinya.
Aretha ingin mengabaikan itu semua tapi dasar lemah jadi terus saja teringat. Ia pun berpikir, seperti ini kah perasaan orang-orang yang cemburu? Kacau. Rasanya nelangsa tapi juga ingin marah, meneriakkan semua uneg-uneg bahkan menangis. Uring-uringan tak jelas sampai-sampai menyebabkan masalah. Sungguh menguras energi dan emosi sampai tak bertenaga.
"Lho, Neng ... kok belum siap-siap? Nggak ke butik?" tanya Bik Een sewaktu melihat Aretha keluar dari kamar masih dengan pakaian tidur. "Neng sakit?" Ia meletakkan sepiring tumis kubis dan udang pedas sesuai permintaan Aretha.
"Nggak tapi lagi males aja kok. Tapi tadi udah bilang sama Nisa kalo datang siang." Aretha mulai mengisi piringnya dengan porsi sedikit dari biasanya.
"Den Vano sudah dikasih tahu, Neng?" Bik Een bukannya ingin ikut campur atau ingin tahu tapi ia hafal betul apa yang akan dilakukan majikannya itu bila tak menerima kabar dari Aretha.
Aretha menggeleng. Ia sedang tidak ingin berbicara atau bertemu Vano. Ia sedang ingin istirahat total terlebih lagi perutnya beberapa hari sedikit tak nyaman. "Lagi nggak pengin ketemu, Bik. Pengin tenang." Ia menyesap air putih sebelum mulai menyuap nasinya.
"Iya, Neng," jawab Bik Een. "Bibik ke depan dulu mau belanja di Mamang sayur."
"Lho, Bibik nggak sekalian sarapan?"
Bik Een menggeleng sebab beliau tidak terbiasa sarapan. Aretha mengangguk. Sebetulnya ia sudah tahu tapi saat ini dirinya ingin sekali ditemani. Aretha pun meneruskan makan tapi baru beberapa suap perutnya mual. Ia berdiri, mendorong kursi makan ke belakang lalu ke kamar mandi di dapur untuk memuntahkan makanan yang masuk.
Astaga. Kalau begini terus bisa-bisa tubuhnya lemah tak bertenaga—tiga hari ini—dan memperjelas kondisinya. Tidak. Kondisinya tidak boleh diketahui siapa pun sebelum dirinya siap. Lagipula jika ketahuan bisa-bisa dia memaksanya untuk segara menikah dengannya.
Te ha er.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catch Me if You Dare
RomanceCinta. Apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata cinta? Mungkin hal-hal yang membuat kita bahagia. Namun, tidak bagi Aretha. Baginya cinta hanya pembodohan serta duka, dan ia berjanji tidak akan pernah mau mengenal cinta.