Semilir angin meniup pelan helai rambut panjang milik seorang gadis manis yang kini tengah memarkirkan sepeda tuanya agak jauh dari tempat parkir seharusnya yang hanya boleh diisi oleh kendaraan bermesin—kendaraan mewah maksudnya.
Peraturan tak masuk akal itu dibuat oleh kalangan murid kelas atas yang tak sudi kalau kendaraan mewahnya berdekatan dengan sepeda butut—kalau kata mereka— milik gadis dengan name tag bertuliskan Shella Fernanda.
Gadis kelas duabelas itu meraih empat buku paket dari keranjang sepeda yang kemudian dipeluknya. Murid-murid di sekitar parkiran mulai menatap remeh ke arah Shella; sebab hanya dia satu-satunya murid yang datang ke sekolah dengan menaiki sepeda—bukan mobil atau motor mahal.
Berbagai suara mengganggu, seperti: “Seharusnya anak kayak dia nggak pantas sekolah di tempat elit ini.” Sudah sering Shella dengar. Dirinya bahkan sudah kebal dengan kalimat yang seharusnya menyinggung itu. Shella sama sekali tidak keberatan saat orang-orang berpikir gadis miskin sepertinya tidak layak berada di SMA Candradimuka. Sebab Shella bisa sekolah di sana pun dengan hal yang membanggakan. Karena prestasinya. Dan hal itu sama sekali bukan hal yang memalukan atau pun membuat rugi orang lain.
Gadis pemilik sepatu converse berwarna hitam lusuh itu selalu lebih memilih menapaki hamparan rumput hijau muda di sepanjang gedung belakang sekolah yang sepi daripada harus melewati koridor utama—bisa habis dibully dia kalau betulan lewat sana, dan hal itu akan membuatnya lama sampai di kelas XII IPA 1.
Langkah kecil Shella terhenti tatkala mata besarnya menangkap suatu hal yang tak pernah disangkanya akan terjadi di gedung belakang sekolah yang rutin ia lewati.
Pada jarak beberapa meter di depan sana, tepat di dekat pohon beringin besar yang sudah lama ada itu, berdiri seorang gadis berseragam dengan rambut hitam panjang yang menutupi sebagian wajahnya tengah menggenggam sebuah tali tambang putih yang ujungnya sudah terikat di salah satu batang pohon yang tampak kokoh.
Tali. Pohon. Tempat sepi. Sendirian. Otak cerdas Shella sontak langsung merujuk ke satu hal:
Apalagi yang akan dilakukan gadis itu di sana pagi-pagi kalau bukan ... bunuh diri?
“Eh, tunggu!” Suara Shella menginterupsi gadis itu.
Sesaat pupil mata gadis itu melebar saat mendapati Shella yang kelihatan ribet—karena membawa buku-buku—berlari tergopoh-gopoh ke arahnya.
Kenapa harus ada yang lewat sini?
“Kezia?” Alis Shella berkerut saat mengenali gadis yang diduga hendak bunuh diri itu. Kezia Lizina Alexandra, anak pindahan setahun lalu yang kini menyandang status sebagai teman sekelasnya.
“Kamu mau ... suicide?” tanya Shella dengan suara pelan. Ia sangat yakin kalau Kezia baru saja hendak mengakhiri hidupnya.
Gadis berlensa mata hitam bernama Kezia itu membuang muka. “Urus aja urusan lo,” jawabnya dingin. Ia sama sekali tidak menyangkal.
Shella tersentak. Ini dialog pertamanya dengan Kezia selama mereka berada di sekolah yang sama, bahkan satu kelas. Kezia memang kelihatannya tak ramah. Tidak pernah Shella melihat gadis itu tersenyum sedikit pun, selalu raut datar yang tampak. Bahkan gadis itu selalu terlihat sendirian—seperti tidak memiliki teman. Juga tidak banyak bicara.
Jadi wajar saja kalau kalimat pertama yang dilontarkan Kezia terkesan ketus. Mungkin memang sudah begitu karakternya.
“Jangan bunuh diri.” Suara Shella kembali mengudara.
Kezia menatap tajam Shella. “Lo dengar yang gue bilang tadi?” tanyanya penuh penekanan.
“Aku dengar, tapi aku nggak mau ada orang yang mengakhiri hidupnya begitu.”
“Apa peduli lo, ha?”
Shella menatap tepat ke dalam mata gelap Kezia yang kelihatan redup. Ia dapat menemukan rasa sakit di sana. “Kezia ....”
Kezia mendengus. “Gue akan membatalkan rencana gue di sekolah. Sekolah ini nggak akan menemukan jasad siapa pun, kalau itu yang lo khawatirkan,” terang Kezia dengan nada datar. “Gue bisa cari tempat lain.”
Pernyataan Kezia sama sekali tidak menenangkan Shella. “Stop it!” Nada suara Shella meninggi.
Kezia menatap Shella lekat. Kenapa jadi gadis itu yang marah?
“Aku tau tujuan kamu begini itu karena kamu mau menghilangkan hal buruk yang ada di dalam diri kamu. Kamu nggak benar-benar pingin mati, Kez.”
“Sok tau lo!” teriak Kezia. “Lo nggak tau apa-apa!”
“Kamu yang sok tau!” Shella balas berteriak. “Tau apa kamu tentang kematian, ha?”
Kezia terdiam. Cukup lama, hingga tubuhnya mulai gemetaran.
“Kamu pikir dengan melawan takdir masalah kamu akan selesai gitu aja?” Shella menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir. “Enggak, Kez, yang ada kamu malah menyesal saat sadar mati bukanlah solusi.”
Kezia jatuh terduduk di atas rumput. Pandangan matanya kosong, menatap lurus pada sepatu lusuh milik Shella.
Shella menghela napas panjang seraya mengeratkan pelukannya pada buku-buku pelajaran. Ia tak pernah bertengkar sebelumnya, dan rasanya sekarang tenaganya lumayan banyak terkuras karena emosi.
“Kezia ....” Shella berjongkok. Menatap Kezia dengan tatapannya yang teduh. “Kamu tahu? Bercerita bisa meringankan beban yang sedang orang pikul. Kamu bisa berbagi cerita sama aku kalau kamu mau.”
Tanpa menoleh, Kezia menjawab, “Lo bukan siapa-siapa gue. Gue nggak akan cerita apa pun.”
“Kalau begitu kita bisa jadi teman. Sampai kamu nyaman, baru kamu bisa mencurahkan segala hal yang ada di hati dan pikiran kamu,” ujar Shella seraya tersenyum tulus. Bukan memaksa, maksud Shella baik. Setidaknya bukan jalan suicide yang Kezia pilih.
Kezia tersenyum sinis. “Persetan! Gue nggak percaya teman. Gue nggak percaya hubungan apa pun.”
Shella cukup terkejut mendengar respon gadis manis berwajah Asia kental itu. Shella tahu itu perasaan kecewa, tapi apa yang telah dialami Kezia hingga gadis itu kehilangan kepercayaan pada sebuah hubungan? Shella mendadak ingin tahu.
“Oke ....” Shella perlahan bangkit berdiri. Ia masih belum melunturkan senyumannya. “Sekedar info aja, kita satu kelas. Nama aku Shella Fernanda. Absen urutan ke dua puluh tiga. Kamu bisa datengin aku kalau butuh sesuatu, dan aku akan bantu kamu semampuku.”
Sedetik setelah berkata demikian, Shella berlalu. Meninggalkan Kezia yang mulai goyah saat kata-kata yang terlontar dari mulut Shella kembali terputar di otaknya tanpa intruksi.
Rumput hijau di bawahnya menjadi sasaran tinju Kezia. “Bodoh,” umpatnya saat menyadari Shella masih bisa bicara sebaik itu padanya. “Cewek bodoh!”
Kezia menghembuskan napas kasar. Ia bangkit berdiri di menit ke empat usai bel tanda kegiatan ajar-mengajar berbunyi nyaring.
Satu fakta baru: pagi itu Kezia tidak jadi bunuh diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGILE || StarBe✧
Fanfiction❝Masing-masing dari kita memang saling rapuh, tapi kerapuhan ini yang menyatukan kita hingga menjadi utuh.❞