“Kenapa kamu tidak ada lelah-lelahnya berulah, Annabelle?” Suara bariton datang dari seorang pria setengah baya yang sedang duduk santai di sofa ruang utama, menginterupsi langkah Abelle yang hendak menaiki tangga.
Terdengar hembusan napas kasar. Tanpa menoleh Abelle menjawab, “Karena Abelle senang.”
“Senang menyusahkan ayah kamu?”
Abelle tidak menjawab. Gadis cantik itu melangkah kembali, hendak membawa tubuh bak modelnya menuju kamar. Namun belum sempat ia meraih daun pintu, terdengar kembali suara ayahnya.
“Apa susahnya menjadi anak baik-baik, Annabelle? Apa susahnya kamu menjadi seperti Arrabella?”
Kedua mata Abelle terpejam sesaat. Menahan hawa panas yang perlahan menjalar munuju hati dan matanya. Lagi-lagi kata-kata itu yang terlontar dari mulut ayahnya. Lagi-lagi tersebut nama Arrabella. Lagi-lagi ia dibandingkan dengan saudara kembarnya sendiri yang bahkan sudah tiada.
“Susah,” balas Abelle dengan suara datar. “Karena aku Abelle bukan Bella.”
Pria yang masih dalam balutan kemeja kerja itu mendengus kasar sebelum akhirnya bangkit berdiri. Ditatapnya Abelle yang masih mematung di depan pintu cokelat bercorak relief berbahan dari kayu jati itu.
“Begini cara kamu berbicara dengan orang yang selama ini membesarkan kamu?” sindir ayah Abelle sinis. “Tatap ayah kamu.”
Abelle mendelik. “Abelle capek, mau istirahat.”
Ayah Abelle murka. “Annabelle!” Guratan amarah tercetak jelas di wajah penuh wibawanya. Pria yang usianya sudah berkepala empat itu mengeratkan rahang dengan kedua tangan terkepal.
“Dasar anak nggak berguna! Kenapa harus istri saya dan Arrabella yang mati? Kenapa bukan kamu saja?!” Suara ayah Abelle kembali terdengar, menyakiti perasaan anaknya lagi lewat kata-kata tajamnya.
Buru-buru Abelle mengunci rapat pintu kamar. Detik berikutnya gadis itu jatuh terduduk di balik pintu. Mulai menangis tanpa suara. Gadis berkulit seputih susu itu meringkuk sambil memeluk tubuh. Kata-kata menyakitkan yang pernah terlontar dari mulut orang-orang mulai menggerayangi kepalanya tanpa ampun, seperti slide film yang terputar tanpa jeda. Membuat lubang kesedihannya terbuka semakin dalam.
“Kalau bisa, gue juga akan dengan sukarela menukar nyawa gue dengan Arrabella, anak kesayangan ayah sama bunda.” Gadis itu mulai membatin dengan perasaan tersayat.
“Biar nggak ada lagi Abelle, anak nggak berguna seperti yang sering kalian bilang, seperti yang sering orang-orang pikirkan.”
“Gue juga nggak mau hidup kayak gini. Kehidupan yang gelap. Sampai gue bahkan nggak mampu melihat apa-apa selain penderitaan yang gue dapat.”
“Hhh ....” Abelle menghembuskan napas panjang dengan hati yang terasa berat.
“Tuhan ....”
Mata Abelle terpejam erat, mengalirkan bulir air mata lebih deras dari sudut matanya. Gadis itu terus membatin sambil mati-matian menahan isak tangis.
“... gue juga mau mati ....”
Abelle, gadis yang terlihat 'kuat' di sekolah, kini mulai mendambakan kematian.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGILE || StarBe✧
Fiksi Penggemar❝Masing-masing dari kita memang saling rapuh, tapi kerapuhan ini yang menyatukan kita hingga menjadi utuh.❞