Dalam waktu sekejap ruangan dingin serba putih yang biasa didominasi dengan aroma obat-obatan itu kini disulap menjadi ruangan hangat yang didominasi oleh aroma lezat makanan yang mampu membuat siapa saja yang menciumnya merasakan cacing-cacing di perut mereka meronta meminta asupan.
Shella dan Kezia meletakkan masing-masing baki berisi hidangan cafetaria yang mereka bawa ke meja berkaki pendek yang ada di sana dan mulai mengaturnya.
“Chelsea,” panggil Shella.
Chelsea yang tengah berbincang ringan dengan Abelle sontak menoleh. Namun sebelum menyahut ia lebih dulu melirik sebaris nama yang terpasang di seragam kakak kelasnya itu. “Iya, Kak Shella?”
“Benar kan nama kamu Chelsea?” tanya Shella memastikan seraya mencuri-curi pandang pada name tag milik Chelsea. “Chelsea Van Meijr,” gumamnya saat membaca sederet huruf itu. “Wih, keren namanya.”
“Makasih, Kak.”
“Ini kamu mau makan di bangkar aja atau mau di bawah sini sama kita?” Shella spontan menepuk dahinya sendiri saat tahu ada sesuatu yang salah dalam kalimatnya. “Eh, Belle, kamu bisa makan goleran di lantai, kan? Atau mau aku ambilin kursi dan meja aja dari cafetaria?” tanyanya skeptis pada Abelle.
Abelle segera mengibaskan tangannya. “Gak usah. Gue bisa kok merakyat.”
Sedetik setelah Abelle berkata demikian, suara tawa terdengar dan berasal dari seseorang yang tak disangka-sangka akan melakukan hal itu.
Kezia Lizina, dalam sepersekian detik saja gadis itu sukses membuat seluruh pasang mata di sana menatap ke arahnya secara kompak.
Ditatap sebegitu anehnya, Kezia sontak berdehem singkat seraya mengangkat sendok yang sejak tadi dipegangnya. “Ini bentuk sendoknya lucu,” ujarnya datar memberi alasan.
“Mana ada lucu. Orang sama aja kayak sendok pada umumnya,” batinnya merasa bodoh sendiri.
Shella ikut tertawa kecil melihat Kezia yang tampak berusaha bersikap kembali normal seperti biasanya.
Abelle yang menghabiskan waktu lima belas detiknya hanya untuk menatap penuh Kezia, mengerutkan kening. “Siapa sih dia?” tanyanya pada siapa saja.
“Iya, ya, siapa?” Chelsea ikut bertanya. “Kayaknya baru ngelihat mukanya sekarang ini deh.”
Ditanya begitu Kezia terdiam kikuk. Ia memang sengaja menarik diri dari lingkungan sekitar agar mencegah masalah datang padanya. Tapi ia tak tahu kalau gara-gara hal itu ia bisa jadi sebegitu tak terlihatnya di sekolah.
“Astaga.” Shella memegang dahinya tak habis pikir. “Ini Kezia teman sekelas kita, Belle.”
“Oh?” Abelle menggedikan bahu. “I dunno, but hai.”
Chelsea yang sejak tadi sibuk mengamati wajah Kezia yang datar abis itu membuka mulutnya. “Kak Kezia ini ada turunan Chinese, ya? Matanya minimalis gitu lucu,” ujarnya menggebu-gebu. “Gimana kalau aku panggilnya Ci aja? Ci Kezia. Ci Kez. Ih, lucuuu. Boleh nggak, Kak?”
Kezia menghela napas panjang. “Apa aja terserah.”
Chelsea mengacungkan jempolnya. “Okeee, Ci.”
“Udah buruan sini makan.”
Ke empat gadis itu duduk di lantai, berhadapan langsung dengan meja minimalis yang penuh dengan piring berisikan makanan.
“Ayamnya cuma satu?” gumam Chelsea saat melihat sepotong paha ayam goreng di piring Abelle.
“Kenapa? Lo suka fried chicken juga?” Abelle segera memindahkan paha ayam itu ke piring Chelsea. “Makan aja nih.”
Mata Chelsea langsung berbinar cerah, senyumnya tercetak lebih lebar lagi hingga menampakan giginya. “Makasih, Kak—eh Ci Abelle aja deh panggilnya. Ternyata Ci Abelle ini baik banget ya, nggak kayak yang orang-orang bilang.”
Abelle langsung terdiam. Benar juga, kenapa hari ini ia banyak bersikap aneh seperti sekarang?
“Hidup itu nggak melulu tentang apa kata orang, Chel,” ujar Shella lalu memasukan segulung noodle ke mulutnya. “Terkadang, apa yang tampak dan apa yang terdengar belum tentu itu kebenarannya.” Kalimat itu kembali terlontar oleh Shella. Kalimat favoritnya. “Karena yang paling tahu itu bukan hanya sebatas mata dan telinga, melainkan juga hati.”
Kezia, Abelle, dan Chelsea dibuat terperangah selama beberapa detik oleh kebijaksanaan Shella.
“Keren, Ci,” kata Chelsea sebelum menyendokan pasta ke mulutnya. Mata Chelsea langsung melotot seketika saat rasa pedas membakar lidahnya dengan cepat. Gadis berambut pendek itu segera mencari air dengan wajah dan mata memerah.
“Ini.” Kezia menyodorkan segelas jus jambu pada Chelsea yang langsung diterima gadis itu.
“Nggak bisa makan pedas, Chel?” tanya Shella menatap Chelsea prihatin.
Chelsea meletakkan gelas berisi jus yang tersisa setengah itu lalu menggeleng lemah.
“Duh, ini pedas semua.”
Chelsea mengangkat paha ayam di tangannya. “Gapapa. Masih ada paha seksi ayam ini kan untuk dimakan?”
Tanpa banyak bicara, Kezia menukar piringnya dengan milik Chelsea. “Ini nggak pedas, rasa cheddar cheese.” Lalu gadis itu memakan spicy pasta milik Chelsea tanpa keberatan.
“Makasih banyak, Ci,” ucap Chelsea tulus dengan senyum mengembang kecil sebelum akhirnya ruangan bernuansa putih itu benar-benar hanya diisi oleh suara denting sendok yang saling beradu dengan piring. Sedangkan penghuninya sibuk dengan isi kepalanya masing-masing.
Entahlah, hari ini Chelsea merasa begitu berbeda. Perasaan hangat yang aneh, yang baru ia rasakan di hari ini setelah sekian lama. Entah sampai kapan perasaan ini berlangsung. Yang jelas, Chelsea akan menikmati momen kebersamaan ini dengan sebaik mungkin.
Namun bukan hanya Chelsea yang merasakan perasaan itu. Mereka juga sama. Ini nyaris seperti hal baru bagi mereka yang sudah sejak lama mendambakan perasaan hangat luar biasa. Sesaat bahkan mereka dapat melupakan masalah yang mereka punya. Kebersamaan di tengah keheningan ini begitu menenangkan jiwa sampai rasanya tak rela jika berakhir begitu saja.
Karena tanpa saling tahu, masing-masing dari mereka sebenarnya rapuh. Dan entah ini harapan atau bukan, yang jelas mereka menginginkan perasaan ini terus hadir secara utuh.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGILE || StarBe✧
Fanfiction❝Masing-masing dari kita memang saling rapuh, tapi kerapuhan ini yang menyatukan kita hingga menjadi utuh.❞